DECEMBER 9, 2022
Kolom

Catatan Denny JA: SATUPENA Rayakan 23 Penulis Besar di 23 Provinsi

image
(OrbitIndonesia/kiriman)

Cerpen itu menyoroti ketidakadilan sosial dan pentingnya empati terhadap perjuangan kaum marginal dalam masyarakat.

Sedangkan di Yogyakarta, sebuah renungan mengenai SH Mintardja menyentuh hati para peserta. Novel karyanya, “Api di Bukit Menoreh” (1967), bercerita betapa kepahlawanan itu bukan hanya soal keberanian bertempur, tapi kematangan spiritual.

Novel ini mengajarkan pahlawan sejati tak hanya mengandalkan kekuatan fisik, melainkan juga ketenangan batin, kebijaksanaan, dan rasa tanggung jawab terhadap keadilan sosial.

Semua mereka di 23 provinsi tak sedang melarikan diri dari realitas. Mereka sedang pulang—pulang kepada akar kebudayaan, kepada bahasa ibu yang ditinggikan oleh para penulis besar.

Dalam arus deras zaman, SATUPENA memilih untuk tidak hanya mengikuti derasnya teknologi dan industrialisasi. Para penulis ini memilih untuk menengok ke dalam, mengenang mereka yang telah wafat, namun karyanya masih hidup dalam jiwa bangsa.

Dari Aceh sampai Papua, tahun ini, Perkumpulan Penulis Indonesia SATUPENA merayakan 23 penulis besar dari 23 provinsi. Mereka adalah batu penjuru kesusastraan Indonesia.

Nama para penulis itu barangkali mulai pudar dari media massa, namun tetap menyala dalam kesadaran kultural yang lebih dalam.

Mengapa Kita Perlu Merayakan Mereka? Ada tiga alasan fundamental:

Pertama, penulis besar adalah cermin batin kolektif masyarakatnya. Mereka merekam harapan, luka, cinta, dan kegelisahan bangsanya—dengan bahasa yang tak akan mati.

Kedua, perayaan atas mereka adalah pengingat bahwa kata-kata bisa mengubah dunia. Mereka menulis bukan hanya untuk menjadi abadi, tapi untuk memperbaiki realitas.

Halaman:

Berita Terkait