70 Tahun Konferensi Asia Afrika: Relevansi Dasasila Bandung dan Rekonstruksi Tatanan Dunia
- Penulis : Abriyanto
- Jumat, 18 April 2025 13:00 WIB

ORBITINDONESIA.COM - Konferensi Asia Afrika (KAA), yang digelar 70 tahun lalu, merupakan hasil dari tanggapan tegas dan kepemimpinan transformatif para pemimpin negara-negara Asia dan Afrika yang memperjuangkan dunia yang lebih baik dan adil.
Pada 18 April 1955, pemimpin dari 29 negara di Asia dan Afrika berkumpul di Bandung, Jawa Barat, untuk mengikuti KAA dan berhasil mewujudkan perubahan dunia walaupun harus menghadapi bermacam masalah dan tantangan domestik.
Salah satu hasil penting dari Konferensi tersebut adalah Dasasila Bandung, yakni 10 prinsip yang menjadi dasar normatif bagi negara-negara peserta KAA dalam menavigasi hubungan antarnegara di dunia.
Dasasila Bandung menawarkan prinsip-prinsip --seperti penentuan nasib sendiri, saling menghormati kedaulatan, non-agresi, dan non-intervensi-- yang sangat diperlukan bagi negara-negara di dunia untuk dapat hidup secara berdampingan dengan damai, adil, dan setara.
Akan tetapi, kondisi dunia saat ini tengah diwarnai banyaknya gesekan dan konflik antara negara-negara dan bangsa-bangsa, antara lain perang Ukraina-Rusia dan konflik Israel-Palestina yang masih berlangsung.
Selain itu, dunia sekarang sedang mengalami krisis kepercayaan terhadap sistem internasional berbasis aturan, yang ditandai dengan munculnya berbagai aksi sepihak negara tertentu serta pelanggaran aturan dan hukum internasional.
Baca Juga: Mantan Pelapor PBB, Richard Falk: Mobilisasi Gaza Bisa Sebabkan Perubahan Fundamental
"Apa yang kita jalani saat ini adalah dunia yang mengalami krisis kepercayaan terhadap sistem internasional berbasis aturan," kata Dino Patti Djalal, pendiri organisasi non-partisan kebijakan luar negeri Indonesia Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI).
Dia menyoroti perilaku-perilaku yang melanggar Piagam PBB, yang salah satu isi utamanya adalah menghormati kedaulatan dan integritas teritorial negara-bangsa, yang sesuai dengan isi Dasasila Bandung.
"Misalnya ada satu negara, Amerika (Serikat), bilang saya mau klaim Greenland, dan saya mau Kanada jadi negara bagian ke-51 AS," tutur Dino merujuk pada pernyataan Presiden AS Donald Trump.
Baca Juga: Elon Musk Sepakat dengan Gagasan Agar AS Keluar dari PBB dan NATO
Selanjutnya, krisis kepercayaan terhadap sistem internasional itu juga tercermin dari sudah tidak efektifnya Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam menjalankan perannya dalam mendorong penegakan hukum dan tatanan dunia internasional, di mana sejumlah pihak seringkali tidak menghiraukan imbauan bahkan resolusi yang dikeluarkan oleh badan dunia itu.
"Kita lihat ya, PBB efektif tidak di Gaza? Tidak. Efektif tidak di Ukraina? Tidak. Kan semua orang sudah mengambil kesimpulan bahwa PBB sudah tidak lagi fit for purpose, sudah tidak lagi dihiraukan dan tidak bisa berfungsi dengan baik. Ini sudah keputusan," kata Dino.
Perang, konflik dan berbagai pelanggaran hukum dan aturan internasional tersebut menjadi pengingat kuat bahwa tatanan dunia saat ini perlu dikalibrasi ulang. Dengan demikian, dunia kini tengah memasuki fase di mana kebutuhan akan norma dan prinsip yang meyakinkan dalam hubungan internasional sangat mendesak.
Baca Juga: Survei Global PBB 2024: Mayoritas Perempuan Indonesia Optimistis Terhadap Masa Depan
Dengan kondisi dunia yang seperti itu, Dasasila dan Semangat Bandung dipandang menjadi semakin relevan untuk digaungkan kembali guna merekonstruksi tatanan dunia di tengah perubahan sistemik tatanan internasional saat ini.
Menurut Kepala Badan Strategi Kebijakan Luar Negeri (BSKLN) Kementerian Luar Negeri RI Yayan Ganda Hayat Mulyana, setidaknya ada enam alasan mengapa Dasasila Bandung adalah yang paling penting dan relevan saat ini untuk merekonstruksi tatanan dunia yang ada menjadi suatu tatanan di mana norma-norma dan prinsip menjadi kekuatan pendorong untuk kesatuan serta penerimaan dan ketaatan penuh oleh para aktornya, .
Alasan pertama, prinsip perdamaian di atas perang dan dialog di atas keengganan atau penolakan untuk berdiskusi. Tatanan dunia yang layak membutuhkan kebiasaan para aktornya untuk selalu menggunakan cara-cara damai ketika perselisihan muncul. Kebijakan dan strategi yang mengutamakan perdamaian membutuhkan komitmen tanpa henti untuk berbagai format diplomatik.
Baca Juga: Mesir Usulkan Kehadiran Internasional di Jalur Gaza dan Tepi Barat ke Dewan Keamanan PBB
"Di sinilah Prinsip 8 dari Dasasila Bandung sangat relevan ... semua perselisihan internasional diselesaikan dengan cara damai, seperti negosiasi, konsiliasi, arbitrase atau penyelesaian peradilan serta cara damai lainnya berdasarkan pilihan dari pihak-pihak yang terlibat, sesuai dengan Piagam PBB," ujar Yayan.
Alasan kedua, inti dari rekonstruksi tatanan dunia adalah penegasan dan jaminan oleh negara-bangsa sebagai aktor utama dalam tatanan global, yang sejalan dengan Prinsip 2 Dasasila Bandung, yakni penghormatan terhadap kedaulatan dan integritas teritorial semua bangsa. Kedaulatan dan integritas teritorial adalah elemen sakral yang mendefinisikan keberadaan suatu negara.
Alasan ketiga, dalam upaya menghidupkan kembali tatanan global, negara-negara harus menaati komitmen teguh terhadap Prinsip 7 Dasasila Bandung, yakni tidak melakukan tindakan atau ancaman agresi atau penggunaan kekuatan terhadap integritas teritorial atau kemerdekaan politik negara mana pun.
Baca Juga: Philippe Lazzarini: Lima Staf UNRWA Tewas Dalam Serangan Udara Israel di Jalur Gaza
Sejak berakhirnya Perang Dunia Kedua, tatanan internasional telah dipenuhi dengan berbagai insiden agresi dan penggunaan kekuatan militer, baik dalam konfrontasi langsung maupun tidak langsung. "Meskipun keseimbangan kekuatan dapat dipertahankan dalam konteks seperti itu, tatanan internasional yang benar-benar damai sulit terwujud," tutur Yayan.
Alasan keempat, adanya prinsip kesetaraan, inklusif, dan nondiskriminatif dalam Dasasila Bandung. Kunci kelangsungan tatanan global adalah kemampuan tatanan itu untuk menggabungkan keberagaman sistem politik, seperti yang dimaksudkan dalam Prinsip 3 Dasasila Bandung, untuk mengakui kesetaraan semua ras dan kesetaraan semua bangsa, baik besar maupun kecil.
Prinsip itu mampu memastikan bahwa setiap bangsa memiliki akses dan kesempatan dalam memainkan peran dan membentuk dinamika tatanan, untuk mencegah hegemoni kekuatan besar menjadi aturan main dalam hubungan antarnegara, dan untuk menghargai koeksistensi damai — suatu kondisi yang memungkinkan sistem politik yang berbeda untuk hidup bersama dalam damai dan harmoni.
Baca Juga: UNRWA Sebut Hanya Punya Persediaan Tepung Selama Enam Hari untuk Warga Palestina di Gaza
Alasan kelima, Prinsip 8 Dasasila Bandung menyerukan untuk memajukan kepentingan bersama dan kerja sama yang dapat menciptakan tatanan dunia yang kokoh dan seimbang.
Tatanan dunia tidak akan bertahan lama jika kerja sama antarpelakunya sedikit atau tidak ada. Untuk itu, memajukan kepentingan bersama sambil memperjuangkan kepentingan nasional sangat penting untuk mewujudkan tatanan dunia yang kokoh dan seimbang, kata Yayan. Selanjutnya, melalui kerja sama itu negara-negara dapat mencapai konvergensi kekayaan dan kemajuan global, kemakmuran bersama, dan memenuhi tanggung jawab bersama mereka.
Alasan keenam, prinsip dalam Dasasila Bandung menawarkan pencapaian perdamaian yang membuat tatanan global bermakna dan langgeng. Hal itu karena Prinsip ke-10 Dasasila Bandung menekankan bahwa negara-bangsa harus menghormati keadilan dan kewajiban internasional.
Baca Juga: PBB: Perintah Evakuasi Israel Kini Mencakup 14 Persen Wilayah Jalur Gaza
Namun, terlepas dari relevansinya untuk mewujudkan rekonstruksi tatanan dunia berdasarkan prinsip-prinsip tersebut, apakah Dasasila Bandung sudah sejalan dengan strategi kebijakan politik luar negeri dan diplomasi para negara anggota KAA, termasuk Indonesia?
Penting untuk memastikan hal itu sejalan karena diperlukan usaha-usaha untuk menanamkan prinsip-prinsip tersebut dengan cara yang lebih terarah, dan bukan dengan cara yang otomatis, guna mengkalibrasi ulang upaya-upaya dalam mengaktualisasikan nilai-nilai yang terkandung dalam prinsip Dasasila Bandung melalui langkah-langkah yang sistematis dan diplomatis.
Artinya, prinsip Dasasila Bandung itu mungkin memang sudah menjadi bagian roh politik luar negeri Indonesia dan anggota KAA lainnya, namun untuk lebih menampakkannya, diperlukan suatu upaya diplomatik yang lebih sistematik, yakni upaya untuk mengaktualisasi kesepuluh prinsip tersebut dalam langkah-langkah diplomasi yang lebih bertujuan.
Baca Juga: PBB Ajukan Hampir 1 Miliar Dolar AS untuk Bantu Pengungsi Rohingya di Bangladesh
Senada dengan Indonesia, Mesir juga memandang Dasasila Bandung sebagai suatu terobosan yang sangat penting yang isinya masih relevan untuk mengatasi berbagai tantangan.
"Prinsip-prinsip ini sangatlah penting. Prinsip-prinsip ini membantu kita mengatasi banyak masalah selama beberapa dekade. Prinsip-prinsip ini membantu kita mendorong dunia, baik timur maupun barat, agar lebih dekat satu sama lain," kata Nabil Fahmy, mantan Menteri Luar Negeri Mesir yang sekarang menjadi akademisi.
Dia pun menilai bahwa pada saat yang sama mekanisme prinsip tersebut harus dibangun agar semua pihak bisa mengikutinya dengan benar. "(Menurut saya), prinsip itu bukan hanya untuk negara anggota KAA, tetapi semua negara dalam tatanan internasional," ujar Fahmy.
Baca Juga: Ketegangan Meningkat, PBB Peringatkan Sudan Selatan di Ambang Kehancuran
"Kita sekarang berada di titik kekacauan. Kita perlu mundur selangkah dan kembali pada prinsip (Dasasila Bandung), tetapi dengan membangun keterlibatan konkret yang menyatukan kita. Jika tidak, orang-orang akan melanggar prinsip tersebut dan tidak saling menghormati," kata dia.
Tentunya diperlukan upaya bersama untuk membangun mekanisme prinsip itu, yakni suatu upaya kolektif yang melembaga, terutama dari negara-negara Gerakan Non-Blok (GNB). Negara-negara yang berpartisipasi dalam KAA 1955 kemudian bergabung sebagai negara anggota GNB, yang sekarang memiliki keanggotaan lebih dari 100 negara.
Di tengah beragam masalah dan tantangan yang menerpa tatanan dunia saat ini, mulai dari perang tarif sampai dengan perang sesungguhnya, komunikasi antara negara-negara GNB tentu menjadi semakin penting dalam rangka mencari solusi bersama.
Baca Juga: Putin Usulkan Penerapan Tata Kelola Eksternal PBB di Ukraina untuk Selenggarakan Pemilu
Untuk itu, para anggota GNB perlu bekerja sama untuk membangun mekanisme prinsip tersebut, di mana upaya-upaya sistematik dan langkah bersama dapat dirancang dengan sengaja dan bertujuan hingga dapat ditawarkan untuk membangun suatu tatanan dunia baru, yang berbasis nilai-nilai dari Dasasila Bandung.
Selanjutnya, tantangan ke depan bagi relevansi KAA, dan tentu bagi GNB, adalah menyediakan saran dan melakukan tindakan nyata untuk mewujudkan nilai-nilai tersebut dalam tatanan internasional berbasis aturan.
Sekarang tatanan internasional berada pada titik kritis di mana negara-negara GNB, negara berkembang, dan negara middle powers memberikan masukan-masukan konkret tentang hal-hal praktis, seperti hal yang perlu diubah dari Dewan Keamanan PBB, apa yang perlu diubah untuk mewujudkan tatanan finansial global yang berkeadilan, dan bagaimana implementasi aturan hukum yang baik.
Baca Juga: Israel Tolak 68 Persen Upaya Akses Bantuan PBB ke Gaza Sejak 18 Maret, Pekerja Kemanusiaan Diserang
"Sudah saatnya untuk menyampaikan usulan yang konkret karena pada waktunya usulan-usulan tersebut dapat menarik lebih banyak orang untuk bergabung dalam aksi," ujar Fahmy.
Dengan demikian, seruan yang perlu digaungkan sekarang adalah tindakan konkret untuk bergerak maju, tidak hanya bagi negara-negara anggota GNB, tetapi juga negara-negara lain.
Peringatan 70 tahun KAA pada tahun ini adalah saat yang tepat menggaungkan seruan untuk lebih banyak tindakan, bukan hanya seruan untuk prinsip lagi. Dasasila Bandung dan GNB belum mencapai potensi penuhnya, perlu ada seruan untuk tindakan lebih lanjut.
Baca Juga: Juru Bicara PBB Stephanie Tremblay Desak Akses Kemanusiaan Tanpa Hambatan di Seluruh Gaza
(Oleh Yuni Arisandy Sinaga) ***