Rahman Arge dan Pesan di Balik Kisah Peluru Nyasar
- Penulis : Satrio Arismunandar
- Sabtu, 15 Maret 2025 13:05 WIB

Oleh Rusdin Tompo*
Kata Ibrahim kepada Izrail yang kan cabut nyawanya:
“Mungkinkah sang Khaliq matikan kekasih-Nya?” Jawab-Nya:
“Apakah kekasih tak mau jumpa kekasihnya?” (Rumi)
Suatu hari di lantai empat gedung Graha Pena, Makassar. Rahman Arge diberi kesempatan berbicara dalam sebuah acara bedah buku. Ia tidak langsung menanggapi materi bedah buku yang tengah dibahas, melainkan berkisah tentang kematian. Diceritakan bahwa ada seseorang yang dikejar polisi. Karena kabur, orang itu ditembak. Rupanya peluru nyasar. Bukan mengenai orang yang ditembak itu, tapi orang lain yang justru tengah bersantai.
Baca Juga: SATUPENA Akan Diskusikan Brain Rot dan Ragam Dampak Negatif Era Digital bagi Anak
Saya menyaksikan lelaki kelahiran Makassar, 17 Juli 1935, itu bercerita dengan mencoba memaknai apa pesan di balik kisah peluru nyasar itu. Saya menangkap hikmah yang hendak diingatkan oleh lelaki bernama lengkap Abdul Rahman Gega bahwa usia seseorang sudah menjadi ketetapan Tuhan. Bila belum ajalnya, maut tidak akan menjemputnya.
Bukan tanpa alasan tema kematian menjadi pembuka kalimatnya. Rahman Arge paham, mata tetamu bedah buku akan juga tertuju padanya. Meski dirinya bukan si empunya buku atau bukan salah satu dari pembedah buku. Bukan semata karena sebagian dari kita lama tak melihatnya. Bukan pula lantaran kita rindu orasi kebudayaannya. Bukan. Saya yakin bukan semua itu. Gegaranya, ia berkursi roda, yang jamak dianggap sebagai alat bantu orang sakit.
Pesan yang hendak dientakkan dalam kesadaran kita adalah, jangan kalian mengira saya yang sakit ini akan meninggal duluan. Jangan-jangan, Andalah yang dijemput malaikat maut lebih dahulu.
Sebuah pesan spiritual yang kebanyakan dari kita abai mengingatnya. Kita seolah mengira, kematian punya jalur layaknya standar operasional prosedur: sehat-sakit-mati!
Jika seseorang sakit, itu berarti ia mendekati kematian. Padahal, bisa jadi, kita disakitkan sebagai peringatan agar kita memberi hak tubuh untuk tetirah, agar kita menghargai kesehatan dengan berkarya, dengan berkhidmah pada masyarakat, pada kemanusiaan. Kata Husni Djamaluddin, “Sakit itu sedekah tubuh.”
Kita memang pasti mati, menjemput ajal kita. Itu hukum ketetapan Tuhan. Tapi, tak harus melewati rantai ajal, layaknya birokrasi, sakit dahulu sebelum dimatikan. Tak mustahil, seseorang yang sehat walafiat tiba-tiba mati.
Baca Juga: SATUPENA SERIBUCINTA Akan Semarakkan Kamis Malam dengan Baca Puisi Cinta, Peserta Bisa Partisipasi
Kita memilih diksi “tiba-tiba” karena—lagi-lagi— lupa bahwa usia kita sudah dijatah, ada batasnya, dan bila sudah tiba akan diambil oleh Sang Maha Pencipta Penguasa Semesta. Maka kita kaget bila ada kabar, teman yang baru kemarin sama-sama bersenda-gurau di warung kopi, pagi ini wafat. Saudara yang kita antar ramai-ramai berangkat ke suatu daerah, dalam perjalanan, tewas.
Padahal, kematian adalah keniscayaan. Tidak satu jiwa pun mampu menghindarinya. Menurut
M. Quraish Shihab, sedikit sekali yang mau menerimanya—kalau enggan berkata bahwa semua orang merasa sangat berat meninggalkan hidup ini.
Seperti ucap penyair Khairil Anwar, “Aku ingin hidup seribu tahun lagi.”
Serupa firman Allah Swt dalam Alquran, “Setiap seorang di antara mereka menginginkan seandainya dia diberi umur seribu tahun…” (QS Al-Baqarah [2]: 96).
Bukan hanya seribu tahun, bahkan manusia maunya hidup kekal. Keinginan itulah, lanjut penulis buku “Membumikan Al-Quran” itu, yang digunakan Iblis ketika menipu Adam dan Hawa, sehingga keduanya memakan buah pohon yang dinamai sang penggoda Syajarat Al-Khuld (Pohon Kekekalan).
Kita takut mati dan menghindari pembicaraan dengan tema “seram” seperti ini. Membahas soal kematian, bisa menimbulkan sebuah pemberontakan yang menyimpan kepedihan pada setiap jiwa manusia. Yaitu kesadaran dan keyakinan bahwa mati pasti akan tiba dan punahlah semua yang dicintai dan dinikmati dalam hidup. Begitu tulis Komaruddin Hidayat dalam bukunya, “Psikologi Kematian” (2007).
Tak heran, katanya, ada segolongan orang yang memandang kematian sebagai sebuah malapetaka yang merampas kenikmatan hidup, sehingga mereka memilih jalan hidup hedonistis sebelum kematian tiba.
Tentu tidak demikian halnya dengan tokoh yang saya tulis ini. Hari ketika ia berkisah tentang peluru nyasar itu, bagai kultum keagamaan yang sarat makna.
Keaktorannya kuat. Ia jadikan kursi rodanya bagai panggung pertunjukan di mana ia memainkan lakon tunggal tentang dirinya dengan melibatkan emosi kita, kesadaran kita.
Baca Juga: Satupena Sumatra Barat Akan Selenggarakan Festival Literasi Minangkabau Internasional IMLF ke-3
Ia memang berkarakter dan memenuhi syarat sebagai representasi lelaki Bugis-Makassar yang macca (pintar), malempu (jujur), warani (berani), magetteng (konsisten), dan tentu saja gagah (magaretta’ [Bugis]/gammara’ [Makassar]). Istilah anak muda sekarang, laki bingiiitz.
Hari itu, saya juga menangkap pesan, seolah ia hendak mengumumkan bahwa dirinya siap kembali pada asalnya, pada ketiadaan, pada Penciptanya.
Ia sendiri pernah menuliskannya dalam buku “Permainan Kekuasaan” (2008). Tulisnya, “Umur Anda, mungkin tinggal hari ini. Maka anggaplah umur Anda tinggal hari ini, atau seakan-akan Anda dilahirkan hari ini, dan akan mati hari ini juga. Dengan begitu, hidup Anda tak akan tercabik-cabik di antara gumpalan keresahan, kesedihan, dan duka masa lalu dengan bayangan masa depan yang penuh ketidakpastian dan acapkali menakutkan.”
Baca Juga: SATUPENA Sumatra Barat Tetapkan Prof. Hamka Sebagai Penulis Hebat
Lalu ia berpesan, “La Tahzan: Penjarakan Kesedihanmu!”
Bagi saya, mereka yang siap menghadapi kematian adalah orang-orang yang telah melaksanakan peran kekhalifahan di muka bumi. Sebagai seniman, budayawan, wartawan, penulis dan sederet lakon lain yang sudah dijalaninya, Rahman Arge telah berbuat, telah paripurna menunaikan tugasnya sebagai manusia pembelajar.
Dalam pandangan Andrias Harefa (2000), sebagai manusia pembelajar, manusia dilahirkan dengan tiga tugas pokok, yakni: Pertama, menjadi manusia pembelajar yang belajar terus-menerus di “sekolah besar” kehidupan nyata untuk semakin memanusiawikan dirinya; Kedua, menjadi pemimpin sejati dengan cara mengambil prakarsa dan menerima tanggung jawab untuk menciptakan masa depan bagi dirinya, lingkungannya, perusahaan atau organisasi di mana ia bekerja; Ketiga, bertumbuh menjadi guru bagi bangsawan, bagi bangsa-bangsa, dan bagi umat manusia di “sekolah besar” kehidupan.
Baca Juga: SATUPENA Akan Diskusikan Hubungan Seni dan Religiositas Dengan Narasumber Ipit Saefidier Dimyati
Dan hari-hari ke depan, kita akan belajar dan terus belajar kehidupan dari warisan karya yang ditinggalkan pemeran film di “Udjung Badik” dan “Sanrego” itu.
Pemikiran-pemikiran kita dijiwai, spirit kita disemangati oleh ide-ide berkaki—meminjam istilah Soedjatmoko—yang terus bergerak maju, berevolusi, berimprovisasi, berkreasi, berinovasi. Kita leluasa menemuinya, kapan saja, di mana saja, karena ia sudah membuat “kuburan” lewat bukunya. Kali ini, saya meminjam istilah sejawatnya, Ishak Ngeljaratan.
Lewat tulisan-tulisan yang sudah dibukukan itu, kita menziarahi pemikiran-pemikirannya yang bernas, segar, kritis, menggelitik. Itulah yang membuat kita teramat sangat selalu merindu padanya, setelah ia berpulang ke rumah-Nya, di pagi 10 Agustus 2015.
Baca Juga: SATUPENA Rayakan Penulis Besar dari Berbagai Provinsi
Jiwaku dari suatu negeri
Di sana Di sana juga kumau berakhir
(Rumi)
*Rusdin Tompo, Koordinator SATUPENA Sulsel dan Pegiat Literasi. ***