DECEMBER 9, 2022
Kolom

Rahman Arge dan Pesan di Balik Kisah Peluru Nyasar

image
Rusdin Tompo, Koordinator SATUPENA Sulsel dan Pegiat Literasi (Foto: Koleksi pribadi)

Oleh Rusdin Tompo*

Kata Ibrahim kepada Izrail yang kan cabut nyawanya:
“Mungkinkah sang Khaliq matikan kekasih-Nya?” Jawab-Nya:
“Apakah kekasih tak mau jumpa kekasihnya?” (Rumi)

Suatu hari di lantai empat gedung Graha Pena, Makassar. Rahman Arge diberi kesempatan berbicara dalam sebuah acara bedah buku. Ia tidak langsung menanggapi materi bedah buku yang tengah dibahas, melainkan berkisah tentang kematian. Diceritakan bahwa ada seseorang yang dikejar polisi. Karena kabur, orang itu ditembak. Rupanya peluru nyasar. Bukan mengenai orang yang ditembak itu, tapi orang lain yang justru tengah bersantai.

Baca Juga: SATUPENA Akan Diskusikan Brain Rot dan Ragam Dampak Negatif Era Digital bagi Anak

Saya menyaksikan lelaki kelahiran Makassar, 17 Juli 1935, itu bercerita dengan mencoba memaknai apa pesan di balik kisah peluru nyasar itu. Saya menangkap hikmah yang hendak diingatkan oleh lelaki bernama lengkap Abdul Rahman Gega bahwa usia seseorang sudah menjadi ketetapan Tuhan. Bila belum ajalnya, maut tidak akan menjemputnya.

Bukan tanpa alasan tema kematian menjadi pembuka kalimatnya. Rahman Arge paham, mata tetamu bedah buku akan juga tertuju padanya. Meski dirinya bukan si empunya buku atau bukan salah satu dari pembedah buku. Bukan semata karena sebagian dari kita lama tak melihatnya. Bukan pula lantaran kita rindu orasi kebudayaannya. Bukan. Saya yakin bukan semua itu. Gegaranya, ia berkursi roda, yang jamak dianggap sebagai alat bantu orang sakit.

Pesan yang hendak dientakkan dalam kesadaran kita adalah, jangan kalian mengira saya yang sakit ini akan meninggal duluan. Jangan-jangan, Andalah yang dijemput malaikat maut lebih dahulu. 

Baca Juga: Diskusi SATUPENA, Satrio Arismunandar: Brain Rot Bikin Anak dan Siswa Sulit Konsentrasi Dalam Waktu Lama

Sebuah pesan spiritual yang kebanyakan dari kita abai mengingatnya. Kita seolah mengira, kematian punya jalur layaknya standar operasional prosedur: sehat-sakit-mati! 

Jika seseorang sakit, itu berarti ia mendekati kematian. Padahal, bisa jadi, kita disakitkan sebagai peringatan agar kita memberi hak tubuh untuk tetirah, agar kita menghargai kesehatan dengan berkarya, dengan berkhidmah pada masyarakat, pada kemanusiaan. Kata Husni Djamaluddin, “Sakit itu sedekah tubuh.”

Kita memang pasti mati, menjemput ajal kita. Itu hukum ketetapan Tuhan. Tapi, tak harus melewati rantai ajal, layaknya birokrasi, sakit dahulu sebelum dimatikan. Tak mustahil, seseorang yang sehat walafiat tiba-tiba mati. 

Baca Juga: SATUPENA SERIBUCINTA Akan Semarakkan Kamis Malam dengan Baca Puisi Cinta, Peserta Bisa Partisipasi

Kita memilih diksi “tiba-tiba” karena—lagi-lagi— lupa bahwa usia kita sudah dijatah, ada batasnya, dan bila sudah tiba akan diambil oleh Sang Maha Pencipta Penguasa Semesta. Maka kita kaget bila ada kabar, teman yang baru kemarin sama-sama bersenda-gurau di warung kopi, pagi ini wafat. Saudara yang kita antar ramai-ramai berangkat ke suatu daerah, dalam perjalanan, tewas.

Halaman:

Berita Terkait