DECEMBER 9, 2022
Kolom

Mengenal Partai Murba yang Reborn

image
Partai Murba mengajak warga negara Indonesia bergabung. (OrbitIndonesia/kiriman)

Oleh Ben Ibratama Tanur*

ORBITINDONESIA.COM - Partai Murba adalah singkatan dari Partai Musyawarah Rakyat Banyak kalau dalam bahasa Inggris disebut Proletariat Indonesian Party. Sebuah partai politik yang pernah ada di Indonesia.

Padahal menurut bahasa Sansekerta Murba itu artinya kaum miskin. Orang tak berpunya. Yang hanya mengandalkan tenaga dan Otak. Kaum dhuafa. Tidak punya alat produksi.

Baca Juga: Inilah Calon PDI Perjuangan yang Akan Menang di Pilkada 2024 di Sumatra dan Jawa Menurut Tan Malaka Institute

Seperti kaum proletar di Eropa. Tapi Proletar Eropa beda dengan Proletar Indonesia. Proletar Indonesia harus sesuai kondisi di Indonesia. Bukan di impor dari Uni Soviet -- bulat-bulat. Mentah-mentah.

Sedangkan Marhaenisme ajaran Soekarno kaum miskin yang masih punya alat produksi --- seperti sawah ladang warung.

Kaum Murba tidak punya apa-apa. Hanya otak dan tenaga.

Baca Juga: Pilkada Riau 2024, Ben Ibratama Tanur dari Tan Malaka Institute: Syamsuar Sulit Merebut Hati Masyarakat

Partai ini pernah menjadi salah satu partai yang  mewarnai dunia politik Indonesia.

Dalam sejarah pembentukannya, Partai Murba didirikan oleh beberapa tokoh penting nasional.

Akan tetapi dalam perjalanannya, partai ini mendapat berbagai tantangan dan juga rintangan.

Baca Juga: Partai Murba Berusia 76 Tahun, Pjs Sekjen Ben Ibratama Tanur Sebar Undangan

Partai Murba didirikan pada 7 November 1948

Sejarah partai ini tidak lepas sosok penting Tan Malaka, Chaerul Saleh, Sukarni, Adam Malik, Maruto Nitimihardjo, Sutan Dawanis, dan Syamsu Harya Hudaya.

Partai Murba adalah gabungan dari Partai Rakyat pimpinan Maroeto Nitimihardjo, Partai Buruh Merdeka dipimpin Syamsu Harya Udaya, dan Partai Rakyat Jelata dipimpin Sutan Dawanis.

Baca Juga: Gugurnya Tan Malaka 21 Februari 76 Tahun Silam Dibedah Dalam Diskusi Publik di Kabupaten Lima Puluh Kota

Di samping tokoh muda Sukarni Kartodiwirjo, Adam Malik Batubara, dan Chairul Saleh, ada tokoh tua seperti Prof. Mr. Iwa Kusumasumantri, Achmad Soebardjo Roestam Effendi, dan Djamaludin Tamim.

Da juga tokoh wanita antara lain Rangkayo Rasuna Said, SK Trimurti, dan Ibu Sri Mangunsarkoro.

Lambang Murba bintang mewakili militer, roda mewakili kaum buruh dan pekerja, bambu mewakili petani dan alat gerilya, serta 17 Agustus 1945 untuk dipertahankan.

Baca Juga: Partai Murba Reborn, Ajak Warga Indonesia Bergabung Jadi Kader atau Pengurus

Partai Murba juga punya tokoh intelektual seperti Prof. Dr. Priyono, Dr. Ahmad Dipodilogo, Prof. Dr. Soetarman, dan arsitek terkenal yang merancang seni bangunan Masjid Istiqlal F. Silaban.

Ketika Partai Murba didirikan di Yogyakarta pengurusnya adalah:

Ketua Umum Sukarni Kartodiwirjo

Ketua 1 Maroeto Nitimihardjo

Ketua 2 Syamsu Harya Hudaya

Ketua 3 Sutan Dawanis

Ketua 4 Adam Malik Batubara

Sekjen Pandu Kartawiguna

Bendahara umum Hasan Sastranegara

Tan Malaka tidak masuk sebagai pengurus. Ia hanya menjadi Dewan Pembina.

Karena setelah mendirikan partai ini, ia bergerak dengan puluhan pengawal menuju Kediri, Jawa Timur -- untuk memimpin perang gerilya.

Oposisi

Partai ini didirikan dengan tujuan untuk menjadi partai oposisi terhadap pemerintahan Soekarno yang dianggap kompromistis dengan Belanda.

Partai Murba mengusung ideologi Murbaisme, yang adalah paham sosialisme sesuai kondisi Indonesia.

Sejak awal pendiriannya, partai ini telah menunjukkan arah politiknya yang bergaris keras, terutama dalam memperjuangkan cita-cita dan gagasan mereka. Hal tersebut sedikit banyak dipengaruhi oleh orang-orang yang ada di belakang partai ini.

Lahir di Tengah Revolusi Kemerdekaan

Partai Murba lahir di tengah kancah revolusi perang kemerdekaan Indonesia periode 1947-1949.

Partai ini dilahirkan untuk mempersatukan kekuatan rakyat setelah Indonesia "terpecah belah" akibat Maklumat X November 1945 yang mana isinya adalah menganjurkan pendirian partai politik yang sangat ditentang Tan Malaka dan Jenderal Sudirman.

Dituduh komunis

Tan Malaka dituduh komunis. Padahal Tan Malaka adalah musuh komunis nomor satu.

Komunis internasional marah kepada Tan Malaka karena ia meninggalkan mereka setelah organisasi itu menolak bekerja sama dengan Islam.

Bukti Tan Malaka tidak terlibat komunis karena setelah keluar dari komunis internasonal, Tan Malaka mendirikan Partai Republik Indonesia (PARI) Juni 1927 dengan Subakat dan Djamaluddin Tamin.

Adam Malik, Sukarni Kartodiwirjo, dan Chairul Saleh adalah kader inti PARI yang didirikan Tan Malaka.

Pesan politik Soekarno untuk Tan Malaka

Soekarno pernah berpesan: bila ia dan Muhammad Hatta dibunuh atau ditangkap Sekutu, Tan Malaka yang menjadi pengganti mereka. Meneruskan perjuangan mereka.

Dari tempat tinggalnya di Banten, Tan Malaka mengendus bakal ada peristiwa penting menyusul kekalahan Jepang dalam Perang Pasifik.

Sejak 15 Agustus 1945, Tan Malaka coba mengontak tokoh-tokoh pemuda di Jakarta. Hasilnya nihil. Ia akhirnya berpaling ke Achmad Soebardjo, tokoh senior yang punya kedudukan penting di masa pendudukan Jepang dan menjadi Menteri Luar Negeri pertama setelah kemerdekaan.

Di salah satu rumah di Jalan Cikini Raya, Jakarta, itulah Tan Malaka menampakkan diri pada 25 Agustus 1945.

Soebardjo telah dia kenal di Belanda ketika menjalani masa pembuangan.

“Wah, kau Tan Malaka. Saya kira kau sudah mati, sebab di surat kabar kau disebut menjadi korban dalam kerusuhan di Burma,” kata Soebardjo seperti diceritakan Harry Poeze dalam Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia Jilid 1.

Tan Malaka menjawab dalam bahasa Belanda sambil tertawa, "Onkruid vergaat toch niet.”

Jika diterjemahkan, begini artinya: ilalang tak dapat musnah jika tak dicabut dengan akar-akarnya.

Soebardjo segera menawarkan paviliun rumahnya ketika mendengar Tan Malaka tak punya tempat berteduh di Jakarta.

Ia penasaran ingin mendengar kisah pelarian sang legenda itu.

Bertemu Soekarno

Tak menunggu lama, Soebardjo mempertemukan Tan Malaka dengan tokoh-tokoh lain seperti Iwa Koesoema Soemantri, Gatot Taroenamihardjo, dan Boentaran Martoatmodjo.

Pada akhirnya, tibalah perjumpaan dengan Soekarno. Ia sendiri telah mendengar desas-desus kehadiran Tan Malaka di Jakarta.

Ia menugaskan sekretarisnya, Sajoeti Melik, untuk mencari tahu.

Pertemuan dengan Tan Malaka berlangsung 9 September 1945, hanya satu hari setelah idulfitri, di rumah dokter pribadi Soekarno, R Soeharto.

Beberapa hari sebelumnya, Soekarno minta Soeharto menyediakan satu kamar untuk tamunya.

“Bung Karno tidak menyebutkan nama tamunya. Dan yang tidak kurang pentingnya: selama berlangsung pembicaraan antara Bung Karno dan tamu itu, seluruh rumah saya di Jalan Kramat Raya harus digelapkan. Pokoknya pertemuan itu harus dirahasiakan,” tutur Soeharto dalam memoarnya, Saksi Sejarah (1984).

Sang tamu datang menjelang waktu isya dan mengaku bernama Abdulrajak dari Kalimantan. Soeharto lalu menuntunnya dalam kegelapan menuju kamar pertemuan.

Soeharto tak bisa mendengar obrolan selama dua jam itu. Tapi, Sajoeti Melik bisa. Dalam pembicaraan itu, kata Sajoeti, Tan Malaka yang lebih aktif bicara, sementara Soekarno lebih banyak menyimak.

Salah satu pernyataan Tan Malaka adalah desakan agar pemerintah Republik dipindah ke pedalaman.

Sebab, Belanda akan segera kembali ke Indonesia menyusul Sekutu dan Jakarta menjadi arena pertempuran.

Di antara cetusan Soekarno yang sedikit itu, ada satu yang bernilai sejarah tinggi: bila Soekarno-Hatta dibunuh atau ditangkap Sekutu, Tan Malaka yang menjadi pengganti, meneruskan perjuangan.

Dalam pikiran Soekarno memang terbersit kecemasan tentang tindakan Sekutu.

Waktu itu ada isu bahwa mereka yang membantu rezim militer Jepang akan ditangkap, bahkan dicap sebagai bagian dari “kejahatan perang.” Soekarno, juga Hatta, kerap disebut kolaborator.

Beberapa hari kemudian, pertemuan rahasia mereka kembali dilangsungkan.

Kali ini pertemuan berlangsung di rumah Dr Moewardi, pemimpin kesatuan paramiliter Barisan Pelopor.

Soekarno mengulangi lagi pernyataannya: jika Soekarno-Hatta dibunuh atau ditangkap Sekutu, Tan Malaka yang menjadi pengganti.

Soebardjo akhirnya mendengar kabar tersebut dari Tan Malaka. Ia lalu meminta Soekarno menerbitkan wasiat tertulis.

Partai Murba kembali hidup

Setelah Tan Malaka dianugerahi sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional, menjelang tahun 1964 awal tahun 1965 atas hasutan PKI, Partai Murba dibekukan lalu beberapa bulan kemudian dibubarkan.

Tokoh-tokoh Murba seperti Sukarni Kartodiwirjo ditangkap Kejaksaan Agung dan ditahan. Sukarni difitnah PKI bekerja sama dengan CIA untuk menggulingkan Presiden Soekarno.

Tahun 1967 setelah Supersemar Presiden Sukarno mengaktifkan kembali Partai Murba.

Sebagian besar kader Murba seperti Adam Malik, Pandu Kartawiguna mendirikan Sekber Golkar yang hari ini menjadi Partai Golkar.

Tahun 1971 Partai Murba ikut Pemilu, namun tidak dapat suara signifikan karena sebagian besar kader intinya sudah pindah ke Golkar.

Kegagalan tersebut memberikan pukulan telak bagi Partai Murba.

Kegagalan tersebut disebabkan karena ada stigma rezim Orde Baru kepada seluruh golongan kiri.

Selain itu, Orde Baru juga menabukan sosok Tan Malaka.

Pada tahun 1973, partai ini dilebur ke dalam Partai Demokrasi Indonesia (PDI) bersama partai-partai lain yang tidak mendukung Golkar.

Kemudian pada tahun 1999 Partai Murba sempat muncul kembali. Dan ikut Pemilu namun karena persiapan yang singkat, tidak mendapat suara signifikan yang tidak lolos ambang batas parlemen.

Dengan dukungan rakyat, Partai Murba akan mendeklarasikan ikut Pemilu 2029.***

*Ben Ibratama Tanur ialah Sekretaris Dewan Politik Partai Murba

Halaman:

Berita Terkait