DECEMBER 9, 2022
Buku

Ketika Hidup Ditakar dengan Koin dan Lingkaran Kemiskinan: Pengantar dari Denny JA untuk Buku Puisi Esai Ririe Aiko

image
(OrbitIndonesia/kiriman)

ORBITINDONESIA.COM - Apa rasanya menjadi ayah ketika membawa jenazah anak di pangkuan, hanya dengan naik motor, melintasi jalan sepanjang 70 km di malam hari?

Ini kisah yang sebenarnya, yang dipuisikan. Di Sulawesi Selatan, seorang ayah menyusuri jalanan berdebu, jasad kecil di pangkuannya.

Tidak ada ambulans, tidak ada prosesi. Uang sang ayah kurang untuk membayar ambulans. Hanya roda motor tua yang berderit, membawa pulang kesedihan yang terlalu besar untuk ditanggung seorang diri.

Dalam kasus ini, kemiskinan bukan sekadar soal lapar atau kurangnya uang. Ia adalah penghinaan yang tak terlihat, sistemik, dan kejam.

Seorang ayah kehilangan anaknya, tetapi bertambah dukanya. Dalam dunia yang menimbang nyawa dengan koin, orang miskin tak hanya kehilangan kehidupan, tetapi juga kehilangan martabat.

Di rumah sakit, nyawa bukan lagi urusan kemanusiaan, tetapi transaksi. Jika tidak mampu membayar, pintu tetap tertutup. Jika tidak cukup uang, bahkan kematian pun menjadi urusan yang harus ditanggung sendiri. Bagaimana kita bisa membiarkan dunia seperti ini?

Di sepanjang perjalanan sunyi itu, hutan dan sungai menjadi saksi bisu. Mereka tidak menangis, mereka tidak berbicara. Sama seperti manusia yang terbiasa melihat penderitaan tanpa merasa tergugah. Seorang ayah melaju dengan anaknya yang telah tiada, tetapi dunia hanya diam.

“Rumah sakit berdiri megah,

Tapi pintunya terbuka hanya bagi mereka yang mampu.

Ambulans? Tak ada untukmu, wahai anakku.”

Inilah dunia, yang menimbang nyawa dengan koin-koin,

Membiarkan manusia tak berdaya.

(Ririe Aiko, Duka Yang Ditukar Dengan Koin)

Ini bukan hanya kisah satu orang. Ini adalah kisah jutaan orang dalam bentuk berbeda-beda. Mereka yang lahir tanpa pilihan. Mereka yang kalah bahkan sebelum sempat bertarung.

Di tepi kubur, sang ayah berbisik:

“Jika keadilan ada, hentikan duka yang ditukar dengan koin.”

Tetapi pertanyaannya, siapa yang akan mendengar?

-000-

Membaca puisi esai Ririe Aiko, Duka yang Ditukar dengan Koin, saya teringat novel yang kuat sekali bercerita tentang drama keluarga menghadapi kemiskinan: The Grapes of Wrath.

Novel ini ditulis oleh John Steinbeck, pertama kali diterbitkan tahun 1939. Ia memenangkan Pulitzer Prize for Fiction pada tahun 1940.

Novel ini dianggap sebagai salah satu karya sastra Amerika terbesar dalam menggambarkan dampak Great Depression terhadap keluarga-keluarga petani miskin di Amerika Serikat.

Di tanah tandus Oklahoma, keluarga Joad kehilangan segalanya. Bank merampas rumah mereka. Traktor menggusur tanah pertanian mereka.

Tak ada lagi tempat bagi mereka di negeri sendiri. Mereka mendengar kabar tentang California. Di sana tanah harapan, ladang luas yang membutuhkan pekerja. Mereka percaya, karena tak ada pilihan lain.

Tom Joad, baru saja keluar dari penjara, bergabung dengan keluarganya dalam perjalanan menyusuri Route 66. Mereka melihat mayat di pinggir jalan, anak-anak kelaparan, dan lelaki yang kehilangan harga diri. Harapan mereka terkikis di setiap kilometer perjalanan.

Namun, California bukan surga. Para petani miskin berdesakan di kamp-kamp kumuh, dieksploitasi dengan upah yang tak cukup untuk makan.

Jika mereka menuntut keadilan, mereka dianggap musuh. Jika mereka diam, mereka tenggelam dalam kesengsaraan.

Di tengah kehancuran, Ma Joad tetap teguh. Ia adalah jangkar keluarga, menjaga mereka tetap utuh meski dunia meruntuhkan segalanya.

Rose, yang mengandung anak pertama, bermimpi tentang masa depan yang lebih baik. Tapi kenyataan kejam: bayinya lahir mati, seperti simbol harapan yang dihancurkan oleh kemiskinan.

Namun, dalam keputusasaan, ada satu tindakan yang melampaui tragedi. Rose, dengan air susunya, memberi makan pria kelaparan yang hampir mati. Karena di dunia yang kejam, kemiskinan hanya bisa dilawan dengan kebaikan.

The Grapes of Wrath adalah kisah jutaan orang yang dipaksa hidup tanpa martabat. Steinbeck mengingatkan: kemiskinan bukan kesalahan mereka yang miskin, tetapi kegagalan mereka yang berkuasa.

-000-

Bagaimana kita menjelaskan drama kemiskinan yang mencolok dalam puisi esai Ririe Aiko dan novel John Steinbeck?

Kemiskinan bukan sekadar angka dalam statistik. Ia adalah luka yang menganga. Ia adalah penghinaan yang dilembagakan oleh sistem dan ketidakpedulian yang diwariskan dari generasi ke generasi.

Seorang ayah di Sulawesi Selatan terpaksa membawa jasad anaknya dengan sepeda motor karena tak mampu membayar ambulans. Sebuah keluarga di Amerika kehilangan tanah mereka, terseret dalam arus pengungsian yang tak berujung.

Dua kisah ini, dari puisi Ririe Aiko dan novel The Grapes of Wrath karya John Steinbeck, bukan sekadar narasi individual, tetapi cermin dari kegagalan sosial yang lebih besar.

Pertama: Kemiskinan Sistemik dan Warisan Kelas Sosial

Kemiskinan bukan sekadar nasib buruk. Ia juga diwariskan. Seseorang yang lahir dalam kemiskinan cenderung tetap terjebak di dalamnya.

Seperti keluarga Joad dalam The Grapes of Wrath, mereka tidak miskin karena malas, tetapi karena sistem ekonomi mendorong mereka keluar dari tanah mereka sendiri.

Di sisi lain, dalam kisah ayah di Sulawesi, ia bukan hanya tidak mampu membayar ambulans. Ia terjebak dalam lingkaran kemiskinan yang lebih besar: rendahnya akses pendidikan, keterbatasan pekerjaan, dan tidak adanya jaminan sosial yang melindunginya.

Jika sejak awal ia memiliki pekerjaan yang layak, sistem kesehatan yang inklusif, dan akses terhadap bantuan darurat, mungkin ia tidak perlu mengalami tragedi ini.

Namun, dunia tidak bekerja demikian. Bagi mereka yang miskin, hidup adalah perjuangan tanpa akhir.

Kedua: Sistem Ekonomi Tanpa Pengaman Sosial

Dalam The Grapes of Wrath, keluarga Joad adalah simbol bagaimana sistem ekonomi dapat menjadi lebih kejam daripada perang.

Begitu pula dalam kasus di Sulawesi. Ambulans, yang seharusnya menjadi hak dasar, berubah menjadi layanan berbayar.

Ketiga: Ketidakpedulian Kolektif dan Matinya Nurani Sosial

Mengapa kita membiarkan hal seperti ini terjadi? Karena dunia sudah terbiasa melihat penderitaan tanpa merasa tergugah.

Puisi Ririe Aiko dan The Grapes of Wrath mengingatkan kita pada satu hal: kemiskinan bukan kesalahan mereka yang miskin. Tetapi ia juga kegagalan mereka yang berkuasa.

-000-

Buku Sajak dalam Koin Kehidupan karya Ririe Aiko memuat 15 puisi esai. Masing-masing puisi ini menampilkan potret ketidakadilan, penderitaan, dan perjuangan manusia dalam menghadapi kerasnya hidup.

Buku ini bukan sekadar kumpulan puisi esai, tetapi dokumentasi kemanusiaan yang mengungkap sisi gelap kehidupan yang jarang dibahas dalam karya sastra.

Selain kisah kemiskinan dalam “Duka yang Ditukar dengan Koin”, buku ini juga menyajikan berbagai tema lain yang mengguncang, seperti:

Sejarah yang Tertulis di Tanah Busan” – Tragedi kelam Brothers Home di Korea Selatan, di mana kaum miskin dipaksa bekerja dalam kamp penyiksaan.

“Airmata Sudan yang Mengering” – Kelaparan akibat perang di Sudan, di mana anak-anak mati sebelum sempat tumbuh dewasa.

“Ku Tinggalkan Bebanku di Ubasuteyama” – Legenda Jepang tentang orang tua yang dibuang ke gunung, menggambarkan bagaimana lansia sering dilupakan karena dianggap sebagai beban.

Apakah dunia begitu terbiasa dengan penderitaan hingga menjadi kebal terhadapnya?

Dengan gaya bahasa yang kontemplatif dan menyentuh, Sajak dalam Koin Kehidupan bukan hanya buku yang dibaca, tetapi buku yang dirasakan.

Sebuah pengingat bahwa di balik keseharian kita yang nyaman, ada suara-suara sunyi yang menjerit, menunggu untuk didengar.***

CATATAN:

(1) Oxfam melaporkan bahwa banyak kematian yang seharusnya tidak terjadi jika orang miskin memiliki akses kesehatan yang lebih baik.

https://www.oxfam.org/en/research/inequality-kills

Halaman:

Berita Terkait