Puisi Esai Denny JA: Puisi yang Tak Bisa Dibungkam
- Penulis : Krista Riyanto
- Minggu, 23 Februari 2025 08:01 WIB

Di dinding sel yang lembap, dengan darah dari jarinya yang pecah, Liang Wen menulis:
“Jika dunia membungkam suaraku, biarkan bayang-bayang menyanyikannya.”
Suatu malam, seorang sipir tua datang. Ia meletakkan selembar kertas di lantai sel. “Jangan mati sia-sia.”
Kertas itu Liang Wen genggam erat. Mungkin tubuhnya akan musnah, tetapi kata-katanya akan selamat.
Di luar tembok penjara, seorang pedagang keliling membawa gulungan kecil. Diam-diam menyelundupkannya ke luar negeri.
Tahun berlalu. Namun ingatan tak bisa dikuburkan.
Di Hong Kong, seorang penyair membaca puisi Liang Wen diam-diam. Di Paris, seorang akademisi menerjemahkannya.
Di New York, seorang mahasiswa melantunkannya dengan suara bergetar.
Dan di Beijing, di antara reruntuhan patung Mao yang akhirnya tumbang, di antara buku-buku yang kembali diterbitkan, nama Liang Wen mungkin telah terhapus.
Tetapi puisinya tetap hidup.
Kata- katanya yang bernyawa, yang ditulis dengan darah, menjadi burung yang dilepas, terbang jauh, menembus zaman.