Puisi Esai Denny JA: Ketika Revolusi Memakan Anak-anaknya Sendiri
- Penulis : Krista Riyanto
- Sabtu, 15 Februari 2025 18:38 WIB

-000-
Dunia baru yang kami impikan,
ternyata bukan ladang gandum dan anggur merah.
Ia adalah lautan darah,
tanpa pantai untuk berlabuh.
Jean-Baptiste yang dulu lembut,
kini duduk di kursi Komite Keamanan Publik.
Tangannya, yang dulu gemetar saat menulis puisi,
kini menandatangani ratusan surat kematian setiap hari.
“Revolusi harus bertahan,” katanya padaku.
“Demi kebebasan, kita harus mengorbankan segala.”
“Jika seratus kepala harus jatuh agar satu juta bisa bebas, biarlah!”
Aku melihatnya di Place de la Révolution,
di bawah bayangan guillotine yang haus darah.
Hari ini seorang bocah petani dieksekusi,
karena terlihat menangis saat mendengar doa untuk raja.
Ibunya sudah mati kemarin,
ayahnya dieksekusi seminggu lalu.
Aku mencengkeram lengan Jean-Baptiste.
“Kau tahu ini salah!”
“Anak itu tak berdosa!”
Ia menatapku dengan mata yang dulu bersinar cahaya,
kini hanya pecahan kaca yang tak memantulkan langit.
“Tak ada pengkhianatan kecil dalam revolusi.”
“Hari ini ia menangis untuk raja. Besok ia bisa mengangkat pedang.”
Lalu bilah jatuh.
Dan kepala kecil itu terjatuh di tanah,
mata masih terbuka,
seolah bertanya, “Apa salahku?”