Puisi Esai Denny JA: Surat yang Tak Pernah Dikirim RA Kartini
- Penulis : Krista Riyanto
- Sabtu, 01 Februari 2025 12:20 WIB
Puisi Esai seri “Mereka Yang Mulai Teriakan Merdeka” (10)
ORBITINDONESIA.COM - Tahun 1903, RA Kartini menikah menjadi istri ke-4 seorang bupati.
Apakah ia meninggalkan pesan kesetaraan wanita? (1)
-000-
“Stella, surat ini mungkin tak pernah sampai padamu.
Aku menulis di atas gelombang.
Kata- kataku karam sebelum sampai di pantai.”
Sebuah surat untuk Stella,
tak pernah dikirim RA Kartini.
Ia menulis sehari setelah menerima lamaran bupati.
Hatinya remuk,
menjadi kaca jatuh di lantai batu.
“Stella, aku ingin menjadi burung,
terbang ke langit tanpa sangkar.
Tapi di sini, perempuan adalah ranting kering di musim angin,
dipatahkan, diambil, tanpa tanya, tanpa kata.”
Dulu ia percaya, perempuan bukan jendela yang hanya boleh terbuka saat diminta, bukan langit yang hanya biru jika diizinkan.
Ia membaca De Gids,
mengenal Voltaire dan Multatuli.
Dari halaman ke halaman,
ia menyulam impian,
sekolah untuk perempuan,
tangan-tangan mungil yang menggenggam pena,
bukan hanya dapur dan jarum tenun.
Sudah ratusan suratnya menyeberangi laut,
mendarat di meja sahabatnya,
menyatu dengan angin Eropa.
Begitu jauh,
tapi ia merasa lebih dekat dengan Stella, Rosa Abendanon, Marie Ovink- Soer
dan teman Belanda lain.
-000-
Lalu datang kabar.
Ia dipanggil ke ruang ayahnya.
Tembok tua itu menyimpan banyak rahasia.
Hari itu, Kartini bersedih.
Sangat.
“Anakku, Bupati Rembang ingin meminangmu.”
“Engkau akan menjadi istri keempatnya.”
Hening.
Angin kehilangan arah.
Kartini menggenggam lengan kursi.
Ia rasakan jurang menganga di dada.
Di serambi joglo, dupa masih mengepul.
Harum cendana mengendap di kain lurik.
Wayang kayu bersandar di dinding tua,
menjadi bayangan nasib yang tak bisa memilih.
Di luar, gamelan sayup berdenting,
mengingatkan, saat itu, perempuan hanyalah seruling bambu,
ditiup angin, bersuara indah,
tetapi tak pernah punya lagu sendiri.
Kartini ingin berlari.
Dalam surat terakhir,
ia memohon beasiswa ke Belanda,
meninggalkan segala yang membelenggu.
“Stella, aku ingin pergi dari sini,
melihat Amsterdam dari jendela kereta,
menjadi cahaya yang tak bisa dipadamkan.”_
Tapi tangannya membeku di atas kertas.
Ia melihat wajah ibunya,
melihat adik-adik perempuannya yang masih dalam pingitan,
melihat masa depan yang bisa ia buka,
jika ia tetap di sini.
-000-
Maka ia menerima pinangan,
menjadi istri keempat.
Bukan karena ia kalah,
tetapi karena ia memilih medan perang yang lain.
“Jika aku harus tunduk,
biarlah aku tunduk untuk membangun sekolah.
Jika aku harus jatuh,
biarlah aku jatuh sebagai jembatan agar
berdiri sekolah bagi perempuan lain.”
Dan malam itu,
ketika semua orang tidur,
ia merobek suratnya untuk Stella.
Itu surat yang tak pernah dikirim,
justru surat dari hati,
yang paling gelisah.
Tapi, angin mencuri beberapa kata dari surat itu:
“Aku menikah bukan untuk bahagia,
tapi untuk memecahkan pintu yang telah lama tertutup.”
Maka sejarah pun mencatat:
Kartini memang pernah tunduk,
tetapi tidak pernah menyerah.
Karena dalam tunduknya,
ia bebaskan perempuan setelahnya,
agar sekolah.***
Jakarta 1 Febuari 2025
(1) Surat terakhir RA Kartini ini hanya puisi esai, fiksi yang mencoba menyelami konflik batin ketika ia menjadi istri keempat seorang bupati.