Puisi Esai Denny JA: Derita Saijah dan Adinda untuk Indonesia Merdeka
- Kamis, 30 Januari 2025 09:13 WIB
Puisi esai seri "Mereka Yang Mulai Teriak Merdeka" (8)
ORBITINDONESIA.COM -Tahun 1860, Multatuli menerbitkan novel Max Havelaar, kisah derita pribumi di era kolonial. Novel itu mengubah sejarah.
-000-
1857, di losmen kecil di Belgia,
angin malam mengetuk kaca.
Kertas kosong memeluk pena yang gemetar.
Multatuli, sang pemikir, penulis, duduk dalam sunyi.
Hatinya dipenuhi jerit rakyat yang ditinggalkan.
Masih terngiang gema kerbau-kerbau yang dirampas dari ladang.
“Sebulan penuh Ia menulis,
remuk,
tinta amarah merambat jadi sungai,
mengalirkan gemuruh yang merobek langit.”
Ia kisahkan tanah yang retak.
Setiap celahnya menyimpan luka yang berkarat.
Air mata jatuh,
menjadi hujan di musim kering,
membasahi sawah,
yang hanya panen kehampaan.
Sistem Tanam Paksa,
adalah bara yang membakar ladang,
neraka yang bertahta,
dari istana penjajah.
Emas di tanah pribumi,
diubah untuk menyulap kanal Amsterdam, menjadi mahkota.
Kerbau direnggut.
Tanah dicuri.
Hidup rakyat menjadi dongeng tanpa akhir bahagia.
Mereka menanam,
bukan untuk perut yang lapar,
tapi untuk istana penjajah yang berpesta.
Lihatlah ladang pribumi.
Sawah mereka berubah menjadi kuburan.
-000-
Di tanah yang menangis darah, tumbuh kisah cinta,
bunga yang setia:
Saijah dan Adinda,
sepasang burung kecil yang mencari sarang,
di hutan sunyi penuh jerit dan luka.
Cinta mereka adalah embun pagi,
tapi jatuh di tanah yang dibakar api.
Saijah, anak lelaki yang menanggung takdir,
melihat kerbau keluarganya diambil aparat.
Tanpa kerbau, sawah menjadi sia-sia.
Ayahnya mati dalam putus asa.
Saijah pergi ke Batavia,
membawa janji seperti obor kecil,
untuk kembali dalam tiga tahun:
“Tunggu aku, Adinda.
Kita akan menikah di pohon nangka.”
“Saijah, ku akan di sana,
menunggu dengan kain biru,
di pinggir telaga doa.”
Tapi kerbau-kerbau keluarga Adinda pun dirampas.
Hutan menyembunyikan jerit ayah Adinda.
Perjalanan mereka menuju tempat sepi,
berakhir terbunuh oleh pisau perampok.
Adinda tak sempat merasakan pelukan Saijah.
Lihatlah darahnya,
menyuburkan tanah yang menangis.
Saijah kembali,
menemukan hutan yang bisu,
pohon-pohon berdiri,
memberikan kesaksian pilu,
tentang tragedi.
Kain biru Adinda tergantung di dahan,
menjadi bendera setengah tiang,
di kerajaan sunyi.
Sepi.
Ngilu.
Luka menganga.
Cintanya berubah menjadi bara.
Saijah nyalakan dendam di dada yang rapuh.
Namun baja kolonial adalah badai.
Tubuh kecil Saija hanya daun kering,
jatuh tanpa suara di medan perlawanan.
Saijah gugur.
ibu pertiwi menyerap darahnya,
memeluk dingin pemuda yang celaka.
-000-
Kisah ini ditulis Multatuli.
Dengan pena, ia goreskan kesaksiannya,
Max Havelaar, nama yang menjadi api kecil,
yang menyala di lorong panjang kolonialisme.
Novel itu adalah pedang yang tak terhunus,
tapi tetap melukai.
Ia membuka mata Belanda,
bahwa di bawah kejayaan Amsterdam,
ada tangisan Saijah dan Adinda.
Ada sawah-sawah yang basah
oleh air mata petani yang kehilangan segala.
Luka menganga,
asa merekah.
Lahir janji:
Politik Etis.
Ratu berucap,
"Utang budi!"
Janji terukir, di tanah pertiwi:
membangun irigasi, sekolah, dan jalan.
Dari sana lahir Bung Karno,
yang membawa semangat dari buku ke medan juang.
Ada Hatta, dengan pena diplomasi yang tajam.
Ada Sjahrir, dengan pikiran yang melawan gelap.
Dari losmen sunyi, di Belgia,
lahir sungai kata,
mengairi jiwa para pejuang.
Lahir anak-anak yang bertanya,
“Mengapa tanah kami bukan milik kami?”
-000-
Namun Multatuli?
Ia mati dalam kesepian,
di Jerman, pada 1887,
dengan hutang, depresi, dan dunia yang berpaling.
“Dari batinnya lahir api yang membakar tirani,
tapi di ujung senja, ia sendiri terbakar sepi.
Multatuli mati tanpa tepuk tangan,
sementara karyanya terus mengguncang zaman.”
Di Indonesia,
namanya menjadi monumen.
Saijah dan Adinda tak pernah bersatu.
Mereka tak pernah bertemu di bawah pohon nangka.
Janji mereka hanyut dalam sejarah.
Tapi di setiap kain merah-putih
yang berkibar di tiang tinggi,
ada jejak mereka.
Jakarta, 30 Januari 2025 ***
CATATAN
(1) Puisi esai ini dramatisasi kisah Saijah dan Adinda, dan efeknya bagi politik etis.