Bahkan, masyarakat telah menjadi korban kekerasan. Hal yang sama juga terjadi penguasaan tanah untuk pembangunan PSN PIK 2 yang telah menimbulkan kekhawatiran masyarakat, karena lokasi tanah mereka telah dipagari sampai ke laut sehingga tertutup semua akses jalan ke lokasi.
Dari sini dapat dilihat bahwa betapa hukum tak mampu memberi kepastian, ketertiban, dan rasa aman. Padahal rasa aman yang sama diperlukan dalam berhadapan dengan negara yang sebenarnya harus dilaksanakan oleh aparat negara secara berimbang dalam mengelola kekuasaan.
Tetapi sayang tetap saja kekuasaan selalu mempunyai kecenderungan untuk disalahgunakan, seperti bunyi adagium terkenal dari Lord Acton, "power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely."
Baca Juga: Abustan: Belajar dari Demokrasi Desa?
Maka, kekuasaan yang disalahgunakan dan dieksploitasi secara gamblang kepada masyarakat kecil, tentu saja perbuatan ini, tak bisa dijustifikasi (pembenaran). Sebab negara akan menjadi instrumen represif untuk bertindak penegakan hukum yang keras kepada rakyat kecil.
Sebaliknya penegakan hukum menjadi lentur (kompromi) kepada masyarakat yang tergolong kuat. Tontonan ini, mau tak mau akan memunculkan aparat yang selalu memberi proteksi (kelonggaran) kepada pelanggar hukum yang melakukan tindakan sewenang-wenang (overacting).
Dalam konteks inilah, prinsip negara hukum menjadi melemah atau diperburuk oleh prilaku aparat penegak hukum (polisi). Karena dalam realitas praktik penegakan hukum hanya menjadi bayang-bayang kekuasaan oleh para pemodal (oligarki).
Baca Juga: Abustan: Keprihatinan Kampus Selamatkan Demokrasi
Padahal idealnya, asas demokrasi menandaskan hal otoritas kekuasaan publik dilegitimasi oleh rakyat secara langsung atau merupakan representatif dari rakyat. Pada titik inilah, sekali lagi paradigma negara hukum senantiasa "memperkokoh" implementasi kekuasaan publik harus terikat sepenuhnya pada hukum dalam altar sosial-politik dan dalam bingkai norma aturan.
Supremasi hukum haruslah seirama dan sejalan dengan nilai demokrasi. Itulah sebabnya, kaidah negara hukum ditemukan juga dalam sistem aristokrasi dan sistem monarki. Karena itu, pada tataran negara hukum memerlukan roh demokrasi. Maka efektifitas demokrasi dikonkritkan dalam kerangka legal-konstitusional. Dalam artian, hanya instrumen hukum yang memungkinkan tatanan hidup bersama yang digariskan secara demokratis (berkedaulatan rakyat).
Bagi demokrasi, supremasi hukum adalah kunci pengendalian. Maka tendensi dari berbagai absurditas yang mengarah kepada bayang-bayang kekuasaan. Hal ini hanya menihilkan atau membuat degradasi negara hukum.
Baca Juga: Abustan: Wajah Rakyat di Puncak Pemilu
Akhirnya, di penghujung akhir 2024ini, kita berharap agar hukum dasar (grounwet) bagi negara Indonesia, UUD 1945 haruslah dipedomani dan dilaksanakan oleh seluruh elemen, baik penyelenggara negara, aparatur negara, maupun warga negara dalam menunaikan tugas masing-masing harus dalam koridor "imparsial" agar konstitusi dapat hidup dan tercermin dalam penyelenggaraan negara dalam keseharian hidup selaku warga negara.