Catatan Sastri Bakry Mengikuti the World Thinkers n Writers Peace Meet di Kolkata, India
- Penulis : M. Ulil Albab
- Rabu, 11 Desember 2024 13:23 WIB
Oleh Sastri Bakry*
ORBITINDONESIA.COM - Memasuki Universitas Adamas yang luas dan megah, pikiran saya terbang ke Padang. Ini adalah hari kedua agenda the World Thinkers n Writers Meet di Kolkata. Saya membayangkan delegasi the 3rd IMLF 2025 juga bisa melakukan kunjungan ke kampus di Sumbar.
Lalu panitia bisa mengajak kolaborasi Universitas Andalas juga seperti sebelumnya dengan Universitas Negeri Padang. Waw..Tetapi bukan itu catatan saya sekarang di hari kedua acara the World Thinkers and Writers Peace Meet bertempat di Auditorium Universitas Adamas, Kolkata yang dihadiri dosen dan mahasiswa universitas Adamas.
Baca Juga: Sastri Bakry: Anugerah Penyair Prolifik
Kami disuguhkan tarian India dari mahasiswa Adamas. Sungguh menghibur dan mengesankan, gerak lincah mahasiswa Adamas. Setelah itu secara bergiliran para penyair dunia membacakan sajaknya dengan bahasa dan gaya masing- masing.
Pada sesi tanya jawab setelah para penyair dari 15 negara membaca puisi, terutama penyair Indonesia Sastri Bakry, Mira Gusvina dan Eka Teresia yang sangat ekpsresif membaca puisi, ada pertanyaan untuk saya yang cukup menarik . Pertanyaan ini sesungguhnya seringkali muncul di setiap even sastra yang saya ikuti.
Kenapa orang Indonesia jika membaca puisi sering berteriak, ada yang sambil menyanyi, menari dan drama penuh emosi dan energi?
Baca Juga: Diskusi Satupena, Sastri Bakry: Ajang Kesenian dan Budaya Itu Bukan Cuma Mengajukan Proposal
Ini seolah gelombang baru di Indonesia yang menghilangkan cara lama membaca puisi menjadi cara modern dan kontemporer.
Pertanyaan Dr Sudipto Chaterjee yang tiba-tiba tersebut mengagetkan saya. Saya sedikit tergagap dengan pertanyaan yang di luar dugaan. Selain karena keterbatasan bahasa juga pertanyaan ini menjadi hal yang pro kontra, selama saya memunculkan membaca puisi sebagai sebuah pertunjukan seni sejak belasan tahun lalu, terutama untuk kompetisi bakat di Sumbar yang dikenal dengan nama Sumbar Talenta.
Sumbar talenta adalah sebuah ajang lomba di segala talenta. Menyanyi, menari, drama, musik dan membaca puisi. Setiap peserta lomba baca puisi saya selalu meminta mereka untuk tampil dengan memadu semua talenta mereka menjadi sebuah paket pertunjukan.
Baca Juga: Sastri Bakry dan Vani Talenta Tampil pada Pertemuan Para Penulis dan Pemikir Dunia di India
Banyak pro dan kontra, tetapi saya tetap konsisten dengan membuat pertunjukan yang menghibur, agar pesan puisi lebih sampai ke penonton, terutama penonton umum sejak dua puluh tahun lalu.
Namun pertanyaan menarik Dr Sudipto memang harus dijawab. Tapi untuk menjawab secara teori sastra, lebih spesifik lagi puisi kenapa seperti itu, tentu saja saya tidak ahli.
Saya hanya mengatakan bahwa sastra adalah seni mengungkapkan ide, pikiran, gagasan, perasaan dalam permainan kata, simbol, metafora bersifat imajinatif, cermin kenyataan, atau fakta data asli. Salah satunya adalah puisi.
Baca Juga: Sastri Bakry: Beban Berat Ibu dan Anak
Ketika menulis puisi kita berharap orang paham akan makna puisi. Ketika dinikmati publik tentu perlu mencuri perhatian publik. Segala bentuk seni bisa digunakan agar pesan puisinya sampai ke audiens. Apakah dengan puisi saja atau kombinasi berupa tari, nyanyi, teater, musik dan lain-lain.
Jona Burghardt, penyair Argentina, memperkuat pendapat saya dengan mengatakan seni di era sekarang adalah yang penting semua orang memahami, mengerti dengan idea kreatif yang disampaikan. Bukan soal keindahan kata-kata saja tapi pesannya tak dipahami orang.
Penyair Irak, Muniam Alfaker, yang sekarang menetap di Denmark menceritakan tentang keterbatasan penyair Irak. Tapi mereka tetap ingin menyuarakan dan mengekspresikan pikiran dan perasaan mereka di mana pun berada, agar kita peduli dengan sesama
Prof Malachi Edwin penyair dari Universitas Nottingham, Malaysia, menjelaskan puisi bukan bicara diri kita sendiri tetapi bagaimana merefleksikan pikiran kita dan perasaan kita tentang sekeliling kita sebagai bukti kepedulian lingkungan. Kepekaan seniman penyair itulah yang ingin diasuh lewat puisinya.
Diskusi semakin menarik ketika sampai pada pembahasan buku Love n Lost, karya Prof Malachi Edwin Malaysia. Ia mengatakan tidak perlu dalam sebuah karya mengekspresikan hal yang besar. Cukup sederhana saja tapi menyentuh masalah manusia.
Puisi- puisi Kahlil Gibran menjadi perhatian karena sangat menunjukkan eksistensi diri dan ekspresikan emosi. Soal cinta dan kehilangan itu masalah yang selalu menyentuh manusia dan abadi. Tinggal bagaimana kita mengungkapkannya dengan bahasa yang indah.
Baca Juga: Koordinator FKEAI Sumbar, Sastri Bakry: Penggunaan AI Tidak Bisa Dihindari Dalam Kehidupan Sekarang
Seorang dosen di Universitas Adamas, yang juga ahli memainkan 7 alat musik, bertanya dan mengungkapkan rasa senangnya jika puisi dipadu dengan musik. Ia mempertanyakan tentang sebagian penyair yang enggan berkolaborasi dan menutup diri. Hanya mau membaca puisi dengan biasa saja.
Memang penyair, musisi, seniman berkarya sendiri dalam imajinasi kreatifnya. Bahkan bisa disebut dalam sunyi sepi tapi ketika hasilnya dipublikasikan diperlukan kolaborasi. Dan bisa dinikmati banyak orang.
Tobias Burghardt, penyair Jerman, baginya puisi adalah semua kehidupan, dia puncak kehidupan manusia karena puisi penuh imajinasi. Untuk mempromosikan dan mempertunjukan emosi lewat musik, nyanyi, tari akan lebih menyentuh.
Hidup adalah puisi yang memberikan pengalamam intelektual dan emosi yang otentik.
Jangan katakan tidak untuk puisi modern karena puisi itu sendiri terus berkembang sesuai eranya. Menulis dan pertunjukan kreatif itu lebih penting untuk mengekspresikan jiwa.
Tapi bagi Purist, penyair murni pun tak salah, karena membaca puisi dalam sepi, bahkan tak boleh tepuk tangan, meski sesungguhnya yang ada hanya berkarya dalam diam .
Tapi sekarang ada gerakan perubahan. Tetapi tetap menjaga identitas karya masing-masing. Lebih penting berkarya bukan atas tekanan, perintah atau atas desakan dari luar tetapi harus dari dalam diri hasil perenungan yang otentik dan original sebagai manusia.
Baca Juga: SATUPENA Akan Diskusikan Cara Menulis Biografi dengan Narasumber Penulis dan Editor Ayu Arman
Orang Indonesia suka sensitif?
Persepsi yang unik dari semua penyair untuk menyuarakan perdamaian lewat sastra adalah dimungkinkan. Karenanya mari terus berkarya untuk persahabatan dan perdamaian bukan untuk membentuk ego dan kebencian, itulah sesungguhnya puisi.
Berbeda tapi satu adalah kata penutup diskusi.
Yang penting kita mengakui perbedaan dan menghargai karya para seniman sebagaimana kita mengekspresikan perasaan dan pikiran kita dengan benar dan menyentuh jiwa pembacanya.
Ada yang nyeletuk dan berbisik pada saya, kenapa orang Indonesia suka sensitif? Saya terdiam lama, kemudian menjawab sambil tersenyum bahwa kita semua sensitif.
"Inilah kami, memang yang kita tampilkan gaya masing-masing dan tidak saling menghakimi tapi tetap saling mengapresiasi untuk menjaga eksistensi diri."
Pada akhir pertemuan Direktur departemen budaya, Prof Vedananda memberikan ucapan selamat datang dari Universitas Adamas untuk semua yang terlibat. Ia senang dengan antusiasme peserta serta kesempatan tampilnya penyair dari banyak negara di kampus Adamas. Ini sebuah kebanggaan.
*Sastri Bakry adalah penulis, Koordinator SATUPENA Sumatra Barat. ***