Catatan Denny JA: Neuroscience, Samudra Spiritualitas Berakar di Saraf Manusia
- Penulis : M. Ulil Albab
- Sabtu, 09 November 2024 14:34 WIB
Davidson membuktikan bahwa kebahagiaan bisa “dilatih” melalui praktik spiritual, serupa dengan latihan fisik yang memperkuat otot-otot kita.
Ini bukan hanya sekadar teori; ia adalah alat praktis untuk mencapai kesejahteraan mental yang lebih baik.
Lisa Miller, dalam bukunya The Spiritual Child, mengungkap bahwa otak anak-anak secara alami terhubung dengan spiritualitas.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Hukum Kedua Hidup Bermakna, Positivity
Anak-anak yang diperkenalkan dengan pengalaman spiritual sejak usia dini menunjukkan ketahanan mental yang lebih kuat dan memiliki kemampuan lebih baik dalam menghadapi tantangan hidup.
Ini menggarisbawahi bahwa spiritualitas, jauh dari sekadar fenomena kebudayaan, adalah kebutuhan biologis yang hadir di setiap manusia, di setiap fase perkembangan hidup.
Spiritualitas dan Otak: Mencari Makna dalam Kedalaman Neuroscience
Baca Juga: Catatan Denny JA: Jokowi dan Prabowo, Hubungan Unik dalam Politik Indonesia
Apa yang dimaksud dengan spiritualitas menurut neuroscience? Ia bukan sekadar doktrin atau ritus, melainkan dorongan alami otak untuk mencari makna yang lebih besar daripada diri kita sendiri.
Maka kita mencari koneksi kepada yang lebih besar, apakah itu melalui Tuhan, alam semesta, atau cinta kepada sesama manusia. Di balik setiap tindakan spiritual, ada mekanisme biologis yang mengarahkan kita menuju keadaan damai dan transendensi.
Dalam dunia yang penuh dengan tekanan, spiritualitas menjadi tempat berlindung batin. Neuroscience menunjukkan bahwa saat kita terhubung dengan aspek spiritual, otak memproduksi serotonin dan dopamin—hormon yang menenangkan dan menyeimbangkan.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Hukum Ketiga Hidup Bermakna, Passion
Pencarian makna ini tidak hanya memuaskan pikiran kita, tetapi juga memperkaya kondisi biologis kita, memberikan stabilitas emosi yang mendalam.