DECEMBER 9, 2022
Kolom

Catatan Denny JA: Menyelamlah, Apapun Agama yang Dianut

image

Tulisan Seri Menghidupkan Sisi Spiritual Manusia (9)

ORBITINDONESIA.COM - “Samudra kebenaran ada di kedalaman batin, bukan di permukaan. Setiap agama menyediakan kapal untuk menyelami makna sejati.”

Mengapa banyak orang merasa tergoda untuk meninggalkan agama mereka dalam pencarian makna hidup yang lebih dalam?

Baca Juga: Catatan Denny JA: Wahai Para Esoteris, Berkumpulah

Faktanya, tidak perlu meninggalkan agama yang dianut. Setiap agama, jika diselami lebih dalam, menawarkan samudra spiritual yang kaya akan kebijaksanaan, kedamaian, dan pencerahan.

Tak perlu mencari di luar; cukup menyelam lebih dalam untuk menemukan makna sejati.

Penelitian dari berbagai sumber mendukung pentingnya spiritualitas dalam menjalani hidup yang bermakna.

Baca Juga: Catatan Denny JA: Hukum Pertama Hidup Bermakna, Hubungan Personal

Sebuah studi dari The Journal of Positive Psychology menunjukkan bahwa orang-orang yang merasa terhubung dengan spiritualitas lebih mungkin merasakan kebahagiaan yang mendalam dan memaknai hidup dengan optimisme.

Spiritualitas, baik yang berakar pada agama atau refleksi batin di luar agama formal, memberi landasan yang kokoh dalam menjalani kehidupan yang penuh tekanan.

Kata kunci untuk spiritualitas adalah koneksi diri kepada sesuatu yang lebih besar dari sekadar kepentingan pribadi, seperti kebajikan, kemanusiaan, keadilan, kekudusan, dan sebagainya.

Baca Juga: Catatan Denny JA: Hukum Kedua Hidup Bermakna, Positivity

Riset dari University of Pennsylvania mengungkapkan bahwa meditasi dan refleksi spiritual dalam agama membantu meningkatkan fokus mental dan kesehatan fisik.

Orang yang terlibat dalam praktik ini dilaporkan memiliki tingkat stres yang lebih rendah, serta peningkatan dalam kesehatan jantung dan sistem kekebalan tubuh.

Ini membuktikan bahwa spiritualitas bukan sekadar ritus, tetapi juga komponen kesehatan menyeluruh.

Baca Juga: Catatan Denny JA: Jokowi dan Prabowo, Hubungan Unik dalam Politik Indonesia

Bagi mereka yang tidak percaya pada agama formal, penelitian dari Harvard Medical School menemukan bahwa meditasi dan refleksi batin dapat memiliki dampak positif yang sama seperti spiritualitas religius.

Praktik-praktik ini berakar pada biologi manusia, khususnya di sistem saraf, yang membantu menciptakan kedamaian batin dan meningkatkan kesehatan mental.

Spiritualitas, dalam hal ini, bukanlah hak eksklusif agama, melainkan sesuatu yang universal dan dapat diakses siapa saja.

Baca Juga: Catatan Denny JA: Hukum Ketiga Hidup Bermakna, Passion

Apa Itu Samudra Spiritual dan Mengapa Penting?

Samudra spiritual dalam setiap agama adalah kedalaman batin yang membawa seseorang ke hubungan yang lebih erat dengan Tuhan, alam semesta, atau diri sejati.

Ini adalah pengalaman batin yang melampaui batas-batas formalitas agama, menjangkau ke inti kedamaian dan makna hidup.

Baca Juga: Catatan Denny JA: Air Mata Jurnalis Perang, Inspirasi dari Film Lee

Ia bukan sekadar ritual, tetapi sebuah perjalanan untuk menemukan apa yang tak terlihat oleh mata tetapi dirasakan dalam jiwa.

Pentingnya menyelam lebih dalam ke spiritualitas adalah untuk menemukan keseimbangan hidup, makna, dan ketenangan.

Dalam dunia yang terus bergerak cepat dan penuh ambisi material, spiritualitas menjadi jangkar yang membantu kita tetap tenang di tengah badai kehidupan.

Baca Juga: Catatan Denny JA: Hukum Keempat Hidup Bermakna, Small Winning

Ia memberi kita ruang untuk merenung, mengingat apa yang benar-benar penting dalam hidup, dan mengatasi tekanan dunia modern.

Kritik terhadap spiritualitas datang dari mereka yang merasa terkekang oleh dogma agama. Beberapa orang merasa perlu meninggalkan agama mereka untuk menemukan kebebasan spiritual.

Namun, ini sering kali hanya persepsi. Pada kenyataannya, setiap agama mengandung kedalaman spiritual yang sering terabaikan dalam ritus-ritus formal.

Baca Juga: Catatan Denny JA: Hukum Kelima Hidup Bermakna, Spiritualitas dan Wellness

Jika seseorang menyelam lebih dalam ke ajaran agama yang dianutnya, ia akan menemukan pencerahan dan kedamaian yang sama tanpa harus mencari di luar.

Kritik Terhadap Samudra Spiritual

Tidak sedikit yang mengkritik bahwa spiritualitas dalam agama bisa menjadi pelarian dari kenyataan.

Baca Juga: Catatan Denny JA: Renungan Sumpah Pemuda, Warna Nasionalisme di Era Algoritma

Orang yang menghadapi tantangan pribadi seperti depresi atau krisis hidup sering kali menggunakan jalur spiritual sebagai cara untuk menghindari tanggung jawab atau mencari penyelesaian yang mudah.

Ada juga kekhawatiran bahwa dalam beberapa kasus, spiritualitas bisa digunakan untuk menghindari perawatan medis yang seharusnya.

Namun, spiritualitas yang otentik tidak melarikan diri dari kenyataan. Sebaliknya, ia memberikan kekuatan untuk menghadapi dunia dengan pikiran yang lebih terbuka dan hati yang lebih kuat.

Baca Juga: Catatan Denny JA: Menambah Elemen Penghayatan bahkan untuk Hal-hal Kecil

Penelitian dari University of California, Berkeley menunjukkan bahwa mereka yang terlibat dalam praktik spiritual yang mendalam memiliki ketahanan emosional yang lebih tinggi dalam menghadapi tantangan hidup.

Mereka yang sungguh-sungguh menyelam ke dalam spiritualitas mereka menjadi lebih bijak, lebih tenang, dan lebih tangguh dalam menghadapi kesulitan hidup.

Ada juga kritik bahwa spiritualitas bisa dimanipulasi untuk tujuan kekuasaan. Sejarah mencatat banyak pemimpin yang menggunakan ajaran spiritual untuk menundukkan orang lain, menciptakan hierarki kekuasaan, atau bahkan untuk membenarkan diskriminasi.

Namun, spiritualitas sejati tidak memecah-belah, melainkan menyatukan. Ia melampaui batasan-batasan ras, suku, atau agama, dan mendorong kita untuk terhubung dengan cinta kasih yang universal.

-000-

Berikut adalah beberapa contoh tokoh dari berbagai latar belakang agama yang menemukan makna hidup dengan menyelam ke kedalaman batin dan spiritualitas mereka:

Mahatma Gandhi menemukan makna hidupnya melalui prinsip ahimsa (non-kekerasan) dan pencarian batin yang mendalam dalam tradisi Hindu.

Meditasi, doa, dan refleksi batin membantunya mengembangkan prinsip hidupnya dan memperjuangkan kemerdekaan India dengan cara damai.

Spiritualitas Gandhi memberinya kekuatan dan ketenangan dalam menghadapi tantangan hidup yang berat.

Saint Teresa of Ávila, seorang mistikus Katolik dari Spanyol, mengalami pengalaman batin yang dalam dalam pencariannya akan Tuhan.

Melalui doa dan kontemplasi, ia menemukan kedamaian batin dan makna hidup yang mendalam, yang kemudian dituangkan dalam karya-karya seperti The Interior Castle.

Ia percaya bahwa perjalanan menuju kedekatan dengan Tuhan adalah sebuah perjalanan batin yang membawa kedamaian dan pencerahan.

Jalaluddin Rumi, penyair dan sufi besar dari Persia, menemukan makna hidup melalui sufisme dan pencarian batin.

Dalam puisi-puisinya yang mendalam, ia menggambarkan cinta ilahi dan pencarian jiwa untuk bersatu dengan Sang Pencipta.

Rumi menekankan bahwa kebahagiaan sejati ditemukan melalui penyatuan dengan Tuhan, bukan dalam keinginan duniawi.

Thich Nhat Hanh, biksu Buddhis asal Vietnam, mengembangkan konsep mindfulness atau kesadaran penuh sebagai bentuk kedamaian batin.

Melalui meditasi dan praktik kesadaran, ia menemukan makna hidup yang berfokus pada cinta kasih dan perhatian terhadap diri sendiri dan orang lain.

Ajarannya telah diterima di seluruh dunia dan menjadi cara untuk mencapai kedamaian batin tanpa harus terikat pada agama formal.

Thomas Merton, seorang biarawan Trappist dan penulis terkenal, menemukan makna hidup dalam tradisi mistik Kristen melalui doa, meditasi, dan refleksi mendalam.

Dia percaya bahwa kedamaian batin dapat dicapai melalui hubungan yang dalam dengan Tuhan dan melalui pengenalan akan hakikat batin diri.

Buku-bukunya, seperti The Seven Storey Mountain, menginspirasi banyak orang dalam pencarian spiritual mereka.

Dalai Lama, sebagai pemimpin spiritual Buddhis, mengajarkan bahwa kedamaian batin dan kebahagiaan sejati datang dari belas kasih dan pengendalian diri.

Dalam pengasingan dari Tibet, ia menemukan makna hidup melalui meditasi dan nilai-nilai Buddhis, yang membantunya menginspirasi jutaan orang tentang pentingnya kasih sayang dan perdamaian.

Eckhart Tolle menemukan makna hidup di luar agama formal yang ada setelah ia mengalami pencerahan batin yang mendalam yang membawanya keluar dari depresi.

Karyanya, The Power of Now, mengajarkan pentingnya hidup di saat ini sebagai kunci untuk mencapai kebahagiaan dan kedamaian batin.

Meskipun tidak terikat pada agama tertentu, Tolle menggabungkan elemen-elemen dari berbagai tradisi spiritual dalam ajarannya.

Contoh-contoh ini menunjukkan bahwa perjalanan batin dapat membawa seseorang pada makna hidup yang lebih dalam, terlepas dari agama atau kepercayaan tertentu.

Mereka mengajarkan bahwa spiritualitas adalah tentang perjalanan menuju diri sejati dan hubungan dengan sesuatu yang lebih besar dari diri sendiri.

Spiritualitas itu samudra yang tak bertepi, dan setiap agama menyediakan kapal untuk menyeberanginya.

Tidak perlu meninggalkan agama atau mencari di luar; cukup menyelam lebih dalam untuk menemukan makna sejati yang ada di dalamnya.

Bagi mereka yang tidak terikat pada agama, spiritualitas tetap dapat ditemukan di dalam diri melalui refleksi dan kesadaran.

Pada akhirnya, spiritualitas bukan hanya tentang ritus atau doktrin. Ia adalah perjalanan menuju kedalaman diri, menuju kedamaian batin, dan menuju makna yang lebih besar.

Ketika kita merangkul spiritualitas, kita tidak hanya menemukan diri kita, tetapi juga dunia yang lebih bermakna dan damai.

Dengan menyelami samudra spiritual yang ada di dalam setiap agama, ataupun di luar agama, kita menemukan kebijaksanaan yang menenangkan hati, keberanian yang  menghadapi tantangan, dan kebahagiaan yang tidak tergantung pada lingkungan yang ada.

Dubai, 31 Oktober 2024 ***

Referensi:

Lisa Miller, The Spiritual Child: The New Science on Parenting for Health and Lifelong Thriving, St. Martin’s Press, 2015.

Andrew Newberg, How God Changes Your Brain, Ballantine Books, 2010.

Tara Brach, Radical Acceptance: Embracing Your Life with the Heart of a Buddha, Bantam, 2004.

Berita Terkait