Penodaan/Penistaan Agama dan Kasus Holywings As Case Study
- Penulis : Dimas Anugerah Wicaksono
- Senin, 04 Juli 2022 10:37 WIB
Alas hak dapat lahir dari peraturan perundang-undangan, perjanjian, atau alas hukum yang lain.
Baca Juga: Piala AFF U19: Gagal kalahkan Vietnam, Indonesia di Peringkat 4 Klasemen
‘Tanpa hak’ juga mengandung makna menyalahgunakan atau melampaui wewenang yang diberikan. Perbuatan yang dilarang dalam Pasal 28 ayat (2) UU ITE ialah dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
Unsur Menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas Suku, Agama, Ras dan Antargolongan (SARA).
Yakni tindakan memasang atau memperlihatkan perilaku, tindakan, berita, kabar maupun kata-kata yang mengandung unsur kebencian terhadap suatu kelompok tertentu baik itu berdasarkan suku, agama, ras maupun antargolongan (SARA) yang kemudian karena tindakan tersebut memicu konflik, amarah maupun rasa tersinggung dari kelompok tertentu yang dituju itu sendiri.
Baca Juga: Presiden Jokowi Diminta Selamatkan Wilayah Wadas Karena Bekas Markas Pangeran Diponegoro
Di sisi lain, persoalan SARA adalah merupakan persoalan kebangsaan yang sangat rentan untuk menimbulkan konflik. Indonesia sebagai bangsa yang memiliki tingkat heterogenitas yang cukup tinggi telah menjadikan “SARA” sebagai salah satu produk konflik yang sangat mudah tersulut.
Kesimpulan
- Menurut hemat kami ada unsur kesengajaan (opzet) dalam promosi tersebut, karena mereka bisa mempergunakan nama-nama lain yang lazim tanpa menyinggung simbol agama-agama, dan pihak Holywings sering kali mempergunakan trik marketing yang sifatnya sensasional tetapi mereka terjerat dalam sensitivitas issue agama maupun simbol agama tertentu.
- Apalagi marketing tersebut dilakukan pada media sosial resmi Holywings. Persoalan agama merupakan persoalan yang bersifat sensitif dan sakral, apalagi Islam dan Kristen/Katolik mempunyai penganut yang paling banyak di dunia maupun di Indonesia, sehingga penyelidikan dan penyidikan kasus ini harus dilaksanakan sampai ke tingkat yang paling tinggi.
- Kasus ini tidak hanya menimbulkan implikasi agama, melainkan sosial dan kemasyarakatan.
- Penyelidikan dan penyidikan dilakukan tidak hanya berhenti pada karyawan, tapi sampai ke level top manajemen dan pemegang saham dari kalangan manapun baik, Pengusaha, Pejabat, Selebritas, Pengacara dan lainnya, karena pada prinsipnya semua orang sama di depan hukum (equalty before the law).
Baca Juga: Serangan Beruntun ke Ukraina, Pesan Khusus dari Putin untuk Negara Barat
- Bahkan Pakar hukum pidana Universitas Trisakti Azmi Syahputra dalam keterangannya sebagaimana dimuat hukum.rmol.id yang pada intinya menyatakan bahwa polisi harus mengadili pengendali perusahaan atau dalam bahasa hukum directing mind di balik promo minuman beralkohol yang memancing reaksi umat itu.
- Selain itu, Pakar Hukum Pidana Asep Iwan Iriawan sebagaimana dimuat dalam kompas.tv, pada intinya juga menyatakan bahwa, tanggung jawab tidak hanya bisa dibebankan secara personal kepada pegawai tertentu yang melakukan kelalaian, tetapi juga kepada manajemen Holywings (perusahaan).
- Dari pemaparan kami tersebut, pembuktian pelaku yang diduga melakukan penistaan/penodaan agama merupakan pembuktian yang sedehana yaitu dengan berdasarkan pada segala alat bukti baik itu Saksi, Ahli, Bukti Surat maupun Petunjuk diajukan dan diuji melalui suatu proses persidangan dan berdasarkan minimal 2 alat bukti disertai dengan keyakinan Hakim.
- Majelis Hakim yang akan memutuskan apakah Terdakwa dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 184 sampai dengan Pasal 189 KUHAP. ***