DECEMBER 9, 2022
Ekonomi Bisnis

Aprindo: Pelarangan Truk Sumbu 3 Saat Hari Besar Keagamaan Perlu Mitigasi Lebih Dulu

image
Ketua Umum Aprindo, Roy Nicholas Mandey (Foto: Istimewa)

ORBITINDONESIA.COM - Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) meminta agar pemerintah terlebih dulu melakukan mitigasi sebelum mengeluarkan kebijakan pelarangan terhadap truk-truk sumbu tiga ke atas beroperasi pada saat Hari Besar Keagamaan Nasional (HBKN).

Jika tidak, yang terjadi malah akan menyebabkan ekonomi biaya tinggi karena adanya tambahan biaya logistik.

“Jadi, apapun yang namanya pelarangan itu perlu mitigasi. Ini yang seringkali terlewatkan, buat pelarangan tapi nggak ada mitigasinya. Kita setuju menghindari kemacetan, tapi apa mitigasinya?” ujar Ketua Umum Aprindo, Roy Nicholas Mandey kepada media baru-baru ini.

Baca Juga: GPEI Minta Larangan Truk Sumbu 3 di Hari-hari Besar Keagamaan Perhitungkan Kerugian Ekonomi

Dalam hal ini, menurut Roy, pemerintah perlu mendeskripsikan apa dampaknya jika barang-barang yang tadinya diangkut truk-truk sumbu tiga ke atas itu dialihkan ke truk-truk sumbu satu dan dua. “Itu pasti menimbulkan biaya yang lebih besar,” tukasnya.

Misalnya, lanjutnya, sumbu tiga itu bisa membawa 25 ton dengan satu biaya. Tapi, dengan dilarangnya truk sumbu tiga itu beroperasi, para pengusaha harus menggantikannya dengan truk-truk sumbu dua dan sumbu satu yang jumlahnya lebih banyak. “Itu kan berarti cost yang dikeluarkan juga akan lebih tinggi,” katanya.

Jadi, dalam mengeluarkan kebijakan pelarangan terhadap truk-truk sumbu tiga selama HBKN itu, pemerintah harus memperhitungkan penambahan biaya tersebut. “Nah, di situlah harus ada peran mitigasi dari pemerintah,” ucapnya.

Baca Juga: Libur Terlalu Banyak, Pengusaha Manufaktur Minta Kebijakan Pelarangan Truk Sumbu 3 Dikaji Ulang

Dengan adanya mitigasi, menurut Roy, pemerintah akan mengetahui dampak yang disebabkan kebijakan pelarangan itu. “Jadi, kalau beranggapan truk-truk sumbu tiga itu menyebabkan kemacetan saat HBKN, pemerintah juga harus bisa memberikan solusi terhadap penambahan biaya yang disebabkan kebijakan tersebut. Misalnya, memberikan subsidi terhadap biaya solarnya,” ujarnya.

Menurutnya, harus ada rangkaian seperti itu. Jadi, bukan hanya melarang sumbu tiga itu beroperasi saat HBKN. Karena, katanya, untuk memindahkan barang-barang dari truk-truk sumbu tiga ke sumbu dua dan sumbu satu itu pasti harus menambah biaya atau harga yang akhirnya berujung kepada masyarakat.

“Jadi, bagaimana supaya tidak ada perubahan harga yang ujung-ujungnya akan dibebankan kepada konsumen, itu harus ada mitigasi dari pemerintah,” tandasnya.

Baca Juga: Minta Dikaji Ulang, Pelarangan Truk Sumbu 3 di Saat Libur Besar Keagamaan Ganggu Proses Produksi Industri Kertas

Jadi, katanya, jangan hanya mengeluarkan kebijakan pelarangan saja, tapi harus ada mitigasi. Sebab, kalau dilakukan pelarangan kemudian menimbulkan biaya ekonomi tinggi, menurutnya, itu sama saja dengan memunculkan masalah baru terhadap perekonomian.

Aprindo juga menyarankan agar pemerintah memiliki  perangkat untuk memperhitungkan berapa potensi kendaraan yang akan berwisata atau akan mudik pada setiap hari-hari besar keagamaan itu.

“Jadi, tidak harus disamaratakan untuk semua hari-hari besar keagamaan itu. Kan jumlah pemudik saat Lebaran, Nataru, dan hari-hari besar lainnya itu tidak sama. Paling banyak itu biasanya saat Lebaran. Mungkin saat itu saja diberlakukan pelarangan, tapi itu juga waktunya jangan terlalu panjang. Tapi, kalau saat Nataru dan hari-hari besar lainnya sebaiknya tidak diberlakukan pelarangan itu,” tukasnya.

Baca Juga: Ahmad Heri Firdaus: Pelarangan Truk Sumbu 3 Saat HBKN Harus Perhitungkan Penurunan Daya Beli Masyarakat

Kata Roy, masyarakat harus tetap  memenuhi kebutuhan pokok dan sehari-harinya yang disuplai dari sarana logistik. Menurutnya, dari pabrik itu tidak mungkin sampai ke toko atau ke pusat-pusat distribusi tanpa lewat jalur logistik. “Itu jadi cara berpikirnya yang rasional yang kita harapkan,” katanya.

Dia mengatakan terkadang kebijakan itu dibuat, lupa siapa yang menjadi pelaksana kebijakan. Menurutnya, kebijakan regulasi dibuat bukan harus dilakukan oleh pemerintah, yang melakukan adalah masyarakat dan pelaku usaha.

“Apapun regulasinya kan yang melakukan bukan pembuat regulasi, yang melakukan kan kami pelaku usaha. Tapi, seringkali kami yang sebagai pelaku regulasinya, nggak diikutsertakan dalam pembuatannya seperti halnya kebijakan pelarangan ini. Karenanya, kami berharap ke depan praktek-praktek arogansi ini harus diluluhlantahkan," ujarnya.***

Berita Terkait