Puisi Denny JA: Kulihat Raksasa Itu Tumbang
- Penulis : Dody Bayu Prasetyo
- Minggu, 29 September 2024 08:39 WIB
"Kembalilah!" seru suara dari jauh.
Namun apa arti pulang,
jika rumah tak lagi ada?
Apa arti tanah air,
jika hanya penjara yang menunggu?
Uni Soviet,
raksasa yang dulu ia puja,
perlahan runtuh,
seperti istana pasir tersapu ombak.
Batu-batu besar jatuh satu per satu,
tubuh besar kehilangan nyawa.
Dan Mualim,
dulu pemuda penuh semangat,
kini hanya saksi.
Revolusi yang dulu membakar dada,
kini abu yang dihembus angin,
lenyap dalam dingin Moskow
yang tak peduli.
Baca Juga: Syaefudin Simon: Puisi Denny JA di Makamku
Revolusi hanya ilusi,
cermin retak yang memantulkan kosong.
Mualim,
sungai yang kehilangan hulu,
mengalir tanpa tujuan,
tak pernah tiba di laut.
Raksasa yang ia puja tumbang,
bukan dengan gemuruh,
tapi dengan sunyi yang menusuk,
seperti pohon besar kehilangan akar,
runtuh tanpa sisa,
meninggalkan debu yang beterbangan.
---
Baca Juga: Puisi dari Gunawan Trihantoro Tentang Lukisan Artificial Intelligence
Kini, Mualim tua,
tersesat dalam bayang-bayang,
berdiri di reruntuhan mimpi.
Revolusi yang ia puja,
hanya angin yang berhembus,
tanpa arah.
Tak ada yang tersisa untuk dirayakan,
hanya rindu yang tak padam.
Rindu pada tanah air,
pada masakan ibu di dapur,
pada wayang kulit hingga subuh,
pada keriangan masa kecil,
mandi di bawah pancuran hujan.
Walau tubuh tinggal di Moskow,
batinnya melayang,
menapak tilas perjalanan pulang,
hanya di angan-angan.
Baca Juga: Puisi Denny JA: Pesan yang Dibawa Seekor Burung yang Hinggap di Pundakku
Dan tiba-tiba ia sadar,
bahwa rindu yang selalu ia peluk
adalah satu-satunya yang tersisa:
tak ada revolusi, tak ada negara,
hanya rindu yang bertahan.