Berkah Politik Dinasti, Ketangguhan Demokrasi Indonesia, dan Keterbatasan Demokrasi
- Penulis : Krista Riyanto
- Senin, 02 September 2024 09:22 WIB
Oleh Berthold Damshäuser*
ORBITINDONESIA.COM - Akhir Agustus tahun 2024: Indonesia berada dalam gejolak.
Masyarakat madani bangkit, menyuarakan protes terhadap "rezim yang berkuasa". Demonstrasi merebak, diiringi dengan gelombang petisi. Salah satunya adalah petisi yang disusun oleh lebih dari 200 anggota Perkumpulan Penulis Indonesia SATUPENA.
Mereka menyampaikan keprihatinan mendalam dan menyatakan bahwa kedaulatan yang [seharusnya] berada di tangan rakyat, dengan nyata sedang dilemahkan dan hanya dikuasai oleh segelintir pihak.
Mereka menuntut (antara lain) supaya dihilangkan "segala bentuk kebijakan dan tindakan yang menguntungkan kepentingan pribadi/pihak/golongan tertentu dan berdampak buruk bagi rakyat, misalnya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN)“ dan "menolak dengan tegas laku politik oligarki otoriter untuk melayani kekuasaan politik dan ekonomi golongan dan kelompok tertentu, yang mematikan proses demokrasi untuk mencapai tujuan keadilan dan kesejahteraan masyarakat.“
Tentu saja, bagian petisi seperti ini sangat layak mendapat dukungan penuh. 1 Yang menjadi pemicu final keadaan riuh pada akhir Agustus 2024 adalah upaya untuk membatalkan dua putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengatur pemilihan kepala daerah.
Namun, pemicu utama atau akar permasalahan yang sesungguhanya adalah apa yang disebut "politik dinasti" yang dianggap dijalankanan oleh Presiden Joko Widodo, atau—lebih gamblang—sosok Presiden Jokowi sendiri yang kini mulai dijuluki sebagai "Raja Jawa", yang berarti sosok yang haus kekuasaan dan enggan tunduk pada prinsip-prinsip demokrasi yang melarang kelanggengan kekuasaan.
Gambaran ini mungkin berlebihan, karena Jokowi pasti rela diganti oleh presiden baru dan tentu saja takkan ada dinasti keluarga, karena para pemimpin di Indonesia akan tetap ditentukan melalui pemilihan umum.
Namun, kesan bahwa Jokowi sedang melakukan berbagai manuver licik untuk tetap berkuasa sulit dihindari. Pada awal kariernya, hal semacam itu sama sekali tidak terbayangkan, sehingga kecewaan, kegeraman, bahkan kebencian terhadap Jokowi semakin menguat.
Bagi saya pribadi, perubahan sikap atau metamorfosis Jokowi ini cukup mengejutkan. Seolah-olah ia telah kehilangan naluri politiknya dan sedang mempertaruhkan nama baiknya dalam sejarah Indonesia. 1 Saya sendiri juga anggota SATUPENA dan merasa sangat dihormati telah diterima sebagai anggota walau saya bukan warga negara Indonesia melainkan warga negara Jerman.
Kiranya, saya dapat dianggap "penulis Indonesia“, karena memang banyak menulis dalam bahasa Indonesia dan cukup berjiwa Indonesia.
Petisi SATUPENA tidak saya tandatangani karena sebagai warga negara Jerman merasa kurang patut dan karena memang enggan menandatangani teks kolektif di mana selalu saja ada kalimat yang tidak bisa saya setujui dalam setiap detailnya. Namun, justru dari sepak terjang Jokowi inilah ("politik dinasti" dll.) lahir sebuah berkah tersembunyi, yakni kebangkitan masyarakat madani di Indonesia.
Dan, isu-isu yang kini semakin sering dibahas dan dikritik oleh semakin banyak kalangan tidak hanya menyangkut strategi "licik" Jokowi (yang tokh tak lama lagi akan kehilangan kekuasaannya setelah diganti presiden baru), tetapi juga menyentuh persoalan-persoalan fundamental seperti korupsi dan terutama perihal oligarki yang berkuasa di Indonesia. Oligarki (yang korup) tampaknya semakin menjadi kata kunci dalam diskursus kritis di Indonesia. Masih akan saya singgung lebih lanjut dalam esai ini, terutama dalam kaitannya dengan demokrasi dan juga keterbatasan demokrasi.
Namun, sebelumnya perlu disoroti narasi atau pendapat yang belakangan ini sering terdengar, yaitu bahwa "demokrasi Indonesia sudah hancur" atau—paling tidak—"demokrasi Indonesia berada di ambang kehancuran".
Saya yakin bahwa penilaian pesimistis semacam itu tidak berdasar. Bukan hanya karena demonstrasi-demonstrasi yang terjadi kemarin (yang langsung berhasil menggagalkan niat untuk menganulir putusan Mahkamah Konstitusi) telah membuktikan kekuatan masyarakat madani di Indonesia.
Dengan melihat kekuatan itu, saya yakin bahwa siapa pun takkan sanggup menghancurkan demokrasi di Indonesia, sedangkan upaya untuk untuk melemahkannya patut dan dapat dicegah, terutama dengan semakin kuatnya masyarakat madani. Selain itu, ada alasan lain untuk keyakinan saya: Kaum oligarki yang berkuasa di Indonesia sama sekali tidak memiliki alasan untuk mengubah sistem yang ada (demokrasi liberal). Mereka merasa nyaman dengan sistem itu, karena kepentingan mereka tidak terganggu, sehingga mereka dapat berkembang dengan subur, leluasa dan tanpa hambatan. Ini terdengar sinis, tapi itulah kenyataan …2 Kembali ke masalah Korupsi dan oligarki (atau: iligarki yang korup). Isu ini sebenarnya kisah lama, masalah lama. Praktik oligarki, di mana sekelompok elite mempengaruhi atau mengendalikan proses politik, antara lain melalui lobi-lobi dan pertalian antara penguasa dan konglomerat, sudah ada sejak era Orde Baru dan sama sekali tidak berhenti pada era reformasi. Demikian pula dengan praktik KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme). Salah satu semboyan utama saat lahirnya reformasi adalah "Hapuskan KKN".
Ironisnya, tuntutan tersebut hingga kini belum terpenuhi. Bahkan, ada yang berpendapat bahwa KKN di era reformasi justru lebih parah dibandingkan zaman Orde Baru!3 Kenyataan pahit ini memaksa kita untuk menarik kesimpulan yang tak kalah pahit: sistem demokrasi liberal yang diterapkan di Indonesia oleh gerakan reformasi 2 Ketangguhan demokrasi di Indonesia telah saya bicarakan dalam esai berjudul „Pilpres 2024: Pandangan Seorang Pengamat dari Jerman“, yang dimuat dalam buku „PILPRES 2024 – Kesaksian Para Penulis“, disunting Satrio Arismunandar, penerbit SATUPENA, 2024, hal. 8-16. Juga terbit di orbitindonesia.com, linknya: https://orbitindonesia.com/detail/23538/BertholdDamsh%C3%A4user-Pilpres-2024-Pandangan-Seorang-Pengamat-dari-Jerman 3 Lihat: https://fisip.ui.ac.id/transformasi-arena-pemberantasan-korupsi-di-indonesia-pasca-ordebaru/ gagal menyelesaikan masalah krusial seperti korupsi dan terganggunya kedaulatan rakyat oleh praktik oligarki.
Selain itu, sistem ini juga tidak berhasil mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Oleh karena itu, kita harus memahami bahwa demokrasi liberal sama sekali bukan jaminan keselamatan bagi sebuah bangsa.
Ini tidak hanya berlaku untuk Indonesia, tetapi bahkan untuk demokrasi yang paling lama berdiri di dunia, yaitu demokrasi di Amerika Serikat. Di sana, misalnya, hingga hari ini, masih belum ada asuransi kesehatan untuk semua warga negara.
Sebaliknya, ada negara yang tidak menerapkan demokrasi, tetapi berhasil memecahkan masalah besar. Misalnya, Republik Rakyat Cina yang cukup berhasil dalam memberantas korupsi dan meningkatkan kesejahteraan rakyatnya.
Tak dapat disangkal, demokrasi liberal memiliki keterbatasan di banyak bidang. Salah satu kelemahan besar mungkin adalah bahwa liberalitasnya terutama berlaku di pasar, sehingga para pendukung demokrasi sejati sering kali juga adalah para kapitalis, pemilik modal, dan konglomerat.
Namun, bagaimanapun juga, demokrasi tetap harus dianggap sebagai sistem pemerintahan yang terbaik. Bukan hanya karena rakyat berhak memilih dan menentukan pemimpinnya serta adanya pemisahan kekuasaan (trias politica), tetapi juga karena kebebasan berpendapat memungkinkan masyarakat madani untuk bangkit kapan saja guna mengoreksi atau menekan pemerintah. Masyarakat madani (yaitu kita semua sebagai warga) adalah satu-satunya faktor yang mampu mengatasi keterbatasan demokrasi.
Demokrasi perlu "diisi" setiap hari oleh kita semua. Bukan hanya dengan bangkit saat darurat, bukan hanya dengan mengkritik dan mengawasi, tetapi juga melalui kegiatan sosial, terutama di bidang pendidikan, khususnya dalam hal literasi, terutama literasi media. Ini penting agar di era berita palsu dan manipulasi melalui internet, jumlah mereka yang mampu berpikir mandiri dan faktual tetap memadai di masa depan. Jika upaya ini gagal, masyarakat sipil lambat laun akan sirna, dan keterbatasan demokrasi tak lagi dapat diimbangi.
Selain itu, pendidikan moral juga perlu dipentingkan, juga sebagai upaya memerangi korupsi, bukan hanya korupsi material (seperti suap-menyuap), tetapi juga korupsi batiniah yang merusak integritas. Namun, pesan luhur ini sejak dulu sudah menjadi bahan khotbah di hari Jumat dan Minggu … Apa lagi yang bisa diharapkan untuk memperbaiki demokrasi di Indonesia, khususnya demokrasi parlementer yang berbasis partai politik?
Saya melihat ada vakum ideologis di peta partai politik Indonesia, yang mungkin disebabkan oleh trauma masa-masa terakhir Orde Lama. Tidak ada partai besar di Indonesia yang berhaluan "kiri".
Partai kiri di sini bukan dalam arti komunis, tetapi seperti Sosial- Demokrat (SPD) di Jerman, misalnya. Partai yang kritis terhadap ekses-ekses kapitalisme, kitis terhadap konglomerat dan neoliberalisme, serta membela kepentingan kaum buruh, petani, dan semua wong cilik lainnya. Sebuah partai yang tujuan utamanya adalah keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dapat dipastikan bahwa oligarki tidak akan senang dengan partai berideologi seperti itu. Namun, memiliki ideologi yang luhur saja tidak cukup jika partai politik tidak setia kepadanya. Inilah yang mewarnai politik partai-partai di Indonesia.
Ideologi sering kali cepat dilupakan jika ada kesempatan untuk meraih keuntungan melalui kerja sama oportunistis dengan pihak yang sebenarnya musuh ideologis. Keuntungan tersebut berupa akses ke kekuasaan, alias akses ke sumber daya (fulus).
Kiranya, ini adalah salah satu dampak dari sistem di mana kekuasaan menentukan segalanya, sehingga tidak ada lagi tempat bagi prinsip dan integritas. Tulisan ini mengandung berbagai kritik tajam.
Mungkin timbul kesan seolah-olah saya kecewa dengan perkembangan di Indonesia dan pesimis mengenai masa depannya. Kesan tersebut tidak sesuai dengan penilaian saya terhadap perkembangan Indonesia yang saya ikuti selama kira-kira 40 tahun.
Saya melihat perkembangan ini sebagai kisah sukses. Setiap penilaian, positif atau negatif, selalu bersifat relatif, dan saya tidak menyangkal bahwa masih banyak masalah di Indonesia yang belum terpecahkan. Namun, jika saya membandingkan perkembangan Indonesia dengan perkembangan banyak negara lain di Selatan Global (khususnya di Afrika dan Amerika Selatan), saya yakin bahwa penilaian positif saya tidak keliru dan sah. Hal ini juga berlaku bagi kesejahteraan rakyat kecil di Indonesia, yang jelas mengalami kemajuan yang bisa dibuktikan melalui statistik pengentasan kemiskinan. Indonesia juga merupakan negara dengan stabilitas nasional yang tinggi, dan inilah syarat penting agar ramalan bahwa Indonesia akan menjadi negara dengan ekonomi terbesar keempat di dunia pada tahun 2045 bisa menjadi kenyataan.
Masa depan Indonesia tampak cukup cerah, meskipun tentu ada tantangan dan ancaman. Ancaman tersebut, menurut saya, terutama datang dari luar dan bisa berdampak fatal, misalnya perang di Asia Timur karena masalah Taiwan atau krisis sistem keuangan internasional.
Lepas dari itu, saya optimis mengenai masa depan Indonesia yang terus melangkah maju. Berbeda dengan negara saya sendiri (Jerman) yang sedang mengalami kemunduran di hampir semua bidang. Kembali ke keadaan aktual di Indonesia yang sedang menghadapi pergantian kekuasaan dari Jokowi ke Prabowo.
Sepertinya masa jabatan Jokowi berakhir dengan tragis. Banyak kalangan tidak lagi menghormatinya, bahkan ada rasa benci terhadapnya. Padahal, prestasinya tidak kalah dengan pendahulunya, misalnya di bidang infrastruktur.
Sangat disayangkan bahwa ia terlalu berusaha untuk tetap berkuasa, apalagi dengan cara yang tidak terpuji. Kini ia dihukum oleh masyarakat sipil, dan penghukuman tersebut layak disambut sebagai "prestasi demokratis". Ini juga merupakan semacam peringatan agar ia tidak mempersulit penerusnya, misalnya dengan menggunakan putranya yang akan menjadi Wakil Presiden.
Semoga Jokowi memiliki penasehat bijak yang mengajak dia untuk bertindak bijaksana. Di masa lalu, para mantan presiden telah membuktikan bahwa patriotisme mereka lebih besar daripada egoisme mereka. Selalu ada semacam kekompakan elite politik di Indonesia. Jika kekompakan itu hilang, situasinya bisa membahayakan stabilitas nasional, dan rakyat Indonesia akan menjadi korban utama.
Maka diharapkan agar masa jabatan presiden baru tidak terlalu terbebani oleh persaingan ganas di kalangan elite politik Indonesia. Bagaimanapun, ketangguhan demokrasi tidak saya ragukan. Tetapi, apakah keadilan sosial akan meningkat? Apakah kekuasaan oligarki akan dibatasi?
Wallahualam. ***
*Berthold Damshäuser, akrab dipanggil “Pak Trum“, lahir 1957 di Wanne-Eickel, Jerman. Dari tahun 1986 s/d tahun 2023 mengajar bahasa dan sastra Indonesia di Universitas Bonn. Koeditor Orientierungen, sebuah jurnal tentang kebudayaankebudayaan Asia. Penerjemah puisi Jerman ke bahasa Indonesia dan puisi-puisi Indonesia ke bahasa Jerman. Bersama Agus R. Sarjono menjadi editor Seri Puisi Jerman yang terbit sejak tahun 2003. Pada tahun 2010 ia dipilih Kementerian Luar Negeri RI menjadi Presidential Friend of Indonesia. Pada tahun 2014 dan 2015 menjadi anggota Komite Nasional Indonesia sebagai Tamu Kehormatan Pekan Raya Buku Frankfurt. Penulis esai dalam bahasa Indonesia yang terbit di Majalah Tempo, Jurnal Sajak, dan media lain. Bunga rampai tulisannya dalam bahasa Indonesia diterbitkan dalam buku Ini dan Itu Indonesia - Pandangan Seorang Jerman. Salah satu buku terbarunya berjudul „Mythos Pancasila“ dan terbit di Jerman pada tahun 2021. Anggota Satupena sejak tahun 2023, tinggal di Bonn/Jerman.
Website: https://www.ioa.unibonn.de/soa/de/pers/personenseiten/berthold-damshaeuser/bertholddamshaeuser ; Mail: damshaeuser@t-online.de