DECEMBER 9, 2022
Kolom

Berkah Politik Dinasti, Ketangguhan Demokrasi Indonesia, dan Keterbatasan Demokrasi

image
Ilustrasi. (depokpos.com)

Kiranya, saya dapat dianggap "penulis Indonesia“, karena memang banyak menulis dalam bahasa Indonesia dan cukup berjiwa Indonesia.

Petisi SATUPENA tidak saya tandatangani karena sebagai warga negara Jerman merasa kurang patut dan karena memang enggan menandatangani teks kolektif di mana selalu saja ada kalimat yang tidak bisa saya setujui dalam setiap detailnya. Namun, justru dari sepak terjang Jokowi inilah ("politik dinasti" dll.) lahir sebuah berkah tersembunyi, yakni kebangkitan masyarakat madani di Indonesia.

Dan, isu-isu yang kini semakin sering dibahas dan dikritik oleh semakin banyak kalangan tidak hanya menyangkut strategi "licik" Jokowi (yang tokh tak lama lagi akan kehilangan kekuasaannya setelah diganti presiden baru), tetapi juga menyentuh persoalan-persoalan fundamental seperti korupsi dan terutama perihal oligarki yang berkuasa di Indonesia. Oligarki (yang korup) tampaknya semakin menjadi kata kunci dalam diskursus kritis di Indonesia. Masih akan saya singgung lebih lanjut dalam esai ini, terutama dalam kaitannya dengan demokrasi dan juga keterbatasan demokrasi.

Baca Juga: Media Asing Soroti Dinasti Politik Indonesia, Gibran Rakabuming dan Kepanjangan Tangan Kekuasaan Jokowi

Namun, sebelumnya perlu disoroti narasi atau pendapat yang belakangan ini sering terdengar, yaitu bahwa "demokrasi Indonesia sudah hancur" atau—paling tidak—"demokrasi Indonesia berada di ambang kehancuran".

Saya yakin bahwa penilaian pesimistis semacam itu tidak berdasar. Bukan hanya karena demonstrasi-demonstrasi yang terjadi kemarin (yang langsung berhasil menggagalkan niat untuk menganulir putusan Mahkamah Konstitusi) telah membuktikan kekuatan masyarakat madani di Indonesia.

Dengan melihat kekuatan itu, saya yakin bahwa siapa pun takkan sanggup menghancurkan demokrasi di Indonesia, sedangkan upaya untuk untuk melemahkannya patut dan dapat dicegah, terutama dengan semakin kuatnya masyarakat madani. Selain itu, ada alasan lain untuk keyakinan saya: Kaum oligarki yang berkuasa di Indonesia sama sekali tidak memiliki alasan untuk mengubah sistem yang ada (demokrasi liberal). Mereka merasa nyaman dengan sistem itu, karena kepentingan mereka tidak terganggu, sehingga mereka dapat berkembang dengan subur, leluasa dan tanpa hambatan. Ini terdengar sinis, tapi itulah kenyataan …2 Kembali ke masalah Korupsi dan oligarki (atau: iligarki yang korup). Isu ini sebenarnya kisah lama, masalah lama. Praktik oligarki, di mana sekelompok elite mempengaruhi atau mengendalikan proses politik, antara lain melalui lobi-lobi dan pertalian antara penguasa dan konglomerat, sudah ada sejak era Orde Baru dan sama sekali tidak berhenti pada era reformasi. Demikian pula dengan praktik KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme). Salah satu semboyan utama saat lahirnya reformasi adalah "Hapuskan KKN".

Baca Juga: Perkumpulan Penulis Satupena Akan Diskusikan Demokrasi dan Potensi Ancaman Dinasti Politik, Pembicara Fachry Ali

Ironisnya, tuntutan tersebut hingga kini belum terpenuhi. Bahkan, ada yang berpendapat bahwa KKN di era reformasi justru lebih parah dibandingkan zaman Orde Baru!3 Kenyataan pahit ini memaksa kita untuk menarik kesimpulan yang tak kalah pahit: sistem demokrasi liberal yang diterapkan di Indonesia oleh gerakan reformasi 2 Ketangguhan demokrasi di Indonesia telah saya bicarakan dalam esai berjudul „Pilpres 2024: Pandangan Seorang Pengamat dari Jerman“, yang dimuat dalam buku „PILPRES 2024 – Kesaksian Para Penulis“, disunting Satrio Arismunandar, penerbit SATUPENA, 2024, hal. 8-16. Juga terbit di orbitindonesia.com, linknya: https://orbitindonesia.com/detail/23538/BertholdDamsh%C3%A4user-Pilpres-2024-Pandangan-Seorang-Pengamat-dari-Jerman 3 Lihat: https://fisip.ui.ac.id/transformasi-arena-pemberantasan-korupsi-di-indonesia-pasca-ordebaru/ gagal menyelesaikan masalah krusial seperti korupsi dan terganggunya kedaulatan rakyat oleh praktik oligarki.

Selain itu, sistem ini juga tidak berhasil mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Oleh karena itu, kita harus memahami bahwa demokrasi liberal sama sekali bukan jaminan keselamatan bagi sebuah bangsa.

Ini tidak hanya berlaku untuk Indonesia, tetapi bahkan untuk demokrasi yang paling lama berdiri di dunia, yaitu demokrasi di Amerika Serikat. Di sana, misalnya, hingga hari ini, masih belum ada asuransi kesehatan untuk semua warga negara.

Baca Juga: Diskusi Satupena, Satrio Arismunandar: Dinasti Politik Dikhawatirkan Memusatkan Kekuasaan Pada Keluarga Tertentu

Sebaliknya, ada negara yang tidak menerapkan demokrasi, tetapi berhasil memecahkan masalah besar. Misalnya, Republik Rakyat Cina yang cukup berhasil dalam memberantas korupsi dan meningkatkan kesejahteraan rakyatnya.

Halaman:
1
2
3
4

Berita Terkait