DECEMBER 9, 2022
Kolom

Berkah Politik Dinasti, Ketangguhan Demokrasi Indonesia, dan Keterbatasan Demokrasi

image
Ilustrasi. (depokpos.com)

Tak dapat disangkal, demokrasi liberal memiliki keterbatasan di banyak bidang. Salah satu kelemahan besar mungkin adalah bahwa liberalitasnya terutama berlaku di pasar, sehingga para pendukung demokrasi sejati sering kali juga adalah para kapitalis, pemilik modal, dan konglomerat.

Namun, bagaimanapun juga, demokrasi tetap harus dianggap sebagai sistem pemerintahan yang terbaik. Bukan hanya karena rakyat berhak memilih dan menentukan pemimpinnya serta adanya pemisahan kekuasaan (trias politica), tetapi juga karena kebebasan berpendapat memungkinkan masyarakat madani untuk bangkit kapan saja guna mengoreksi atau menekan pemerintah. Masyarakat madani (yaitu kita semua sebagai warga) adalah satu-satunya faktor yang mampu mengatasi keterbatasan demokrasi.

Demokrasi perlu "diisi" setiap hari oleh kita semua. Bukan hanya dengan bangkit saat darurat, bukan hanya dengan mengkritik dan mengawasi, tetapi juga melalui kegiatan sosial, terutama di bidang pendidikan, khususnya dalam hal literasi, terutama literasi media. Ini penting agar di era berita palsu dan manipulasi melalui internet, jumlah mereka yang mampu berpikir mandiri dan faktual tetap memadai di masa depan. Jika upaya ini gagal, masyarakat sipil lambat laun akan sirna, dan keterbatasan demokrasi tak lagi dapat diimbangi.

Baca Juga: Media Asing Soroti Dinasti Politik Indonesia, Gibran Rakabuming dan Kepanjangan Tangan Kekuasaan Jokowi

Selain itu, pendidikan moral juga perlu dipentingkan, juga sebagai upaya memerangi korupsi, bukan hanya korupsi material (seperti suap-menyuap), tetapi juga korupsi batiniah yang merusak integritas. Namun, pesan luhur ini sejak dulu sudah menjadi bahan khotbah di hari Jumat dan Minggu … Apa lagi yang bisa diharapkan untuk memperbaiki demokrasi di Indonesia, khususnya demokrasi parlementer yang berbasis partai politik?

Saya melihat ada vakum ideologis di peta partai politik Indonesia, yang mungkin disebabkan oleh trauma masa-masa terakhir Orde Lama. Tidak ada partai besar di Indonesia yang berhaluan "kiri".

Partai kiri di sini bukan dalam arti komunis, tetapi seperti Sosial- Demokrat (SPD) di Jerman, misalnya. Partai yang kritis terhadap ekses-ekses kapitalisme, kitis terhadap konglomerat dan neoliberalisme, serta membela kepentingan kaum buruh, petani, dan semua wong cilik lainnya. Sebuah partai yang tujuan utamanya adalah keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Baca Juga: Perkumpulan Penulis Satupena Akan Diskusikan Demokrasi dan Potensi Ancaman Dinasti Politik, Pembicara Fachry Ali

Dapat dipastikan bahwa oligarki tidak akan senang dengan partai berideologi seperti itu. Namun, memiliki ideologi yang luhur saja tidak cukup jika partai politik tidak setia kepadanya. Inilah yang mewarnai politik partai-partai di Indonesia.

Ideologi sering kali cepat dilupakan jika ada kesempatan untuk meraih keuntungan melalui kerja sama oportunistis dengan pihak yang sebenarnya musuh ideologis. Keuntungan tersebut berupa akses ke kekuasaan, alias akses ke sumber daya (fulus).

Kiranya, ini adalah salah satu dampak dari sistem di mana kekuasaan menentukan segalanya, sehingga tidak ada lagi tempat bagi prinsip dan integritas. Tulisan ini mengandung berbagai kritik tajam.

Baca Juga: Diskusi Satupena, Satrio Arismunandar: Dinasti Politik Dikhawatirkan Memusatkan Kekuasaan Pada Keluarga Tertentu

Mungkin timbul kesan seolah-olah saya kecewa dengan perkembangan di Indonesia dan pesimis mengenai masa depannya. Kesan tersebut tidak sesuai dengan penilaian saya terhadap perkembangan Indonesia yang saya ikuti selama kira-kira 40 tahun.

Halaman:
1
2
3
4

Berita Terkait