Ketika Orang Pintar Pun Jadi Jongos: Menyambut Pertunjukan Teater di Yogyakarta
- Penulis : Krista Riyanto
- Minggu, 21 Juli 2024 08:33 WIB
Lagu "Pergi Tanpa Pesan" yang dinyanyikan oleh Busril membuka cerita. Lagu itu bersuasana muram, menggambarkan ketidakadilan yang mereka alami.
Dialog antara Busril dan Kotto mencerminkan ketidakpuasan mereka terhadap sistem yang ada. Mereka berbicara tentang keadilan yang tidak pernah datang dan bagaimana mereka hanya menjadi alat bagi para penguasa.
Ketegangan meningkat ketika Tuan Hakim menunjukkan ketidakpuasannya. Hidupnya penuh tekanan dan godaan korupsi.
Baca Juga: Orasi Denny JA: Menangnya Gerakan “Katakan Tidak kepada Keharusan Berjilbab"
Prof Dr Pras Jikmo datang menekan. Kekuasaan harus dipertahankan dengan segala cara. Tak apa, meskipun itu mengorbankan integritas.
Klimaks cerita terjadi ketika Tuan Hakim menerima hadiah-hadiah dari oligarki. Hakim merasakan beban moral dan dosa. Itu hadiah atas keputusan-keputusannya yang tidak adil.
Tuan Hakim akhirnya meledakkan dirinya sendiri. Itu simbol kehancuran moral yang ditimbulkan oleh sistem korup.
Baca Juga: Menangnya Gerakan Katakan tidak kepada Keharusan Berjilbab: Inilah Pandangan Denny JA
Busil dan Kotto mendiskusikan nasib mereka setelah kematian tuan mereka sang hakim. Apakah mereka memilih tunduk atau menolak oligarki?
Beranikah mereka tak menjadi The Jongos bagi oligarki, meskipun berarti mereka harus hidup sebagai gelandangan?
Karakter-karakter dalam skenario ini, terutama Tuan Hakim, ditampilkan dengan kompleksitas moral. Terjadi pergulatan batin antara integritas dan korupsi.
Baca Juga: 4 Lukisan Artificial Intelligence Denny JA: Paus Fransiskus Mencuci Kaki Rakyat Kecil Indonesia
Dialog yang tajam dan lucu, juga pemakaian simbolisme memperkuat pesan moral yang disampaikan.