Mengapa Mengurung Pikiranmu di Sangkar: Pengantar Buku ke-5 Lukisan Artificial Intelligence
- Penulis : Dody Bayu Prasetyo
- Selasa, 02 Juli 2024 07:53 WIB
Untuk buku lukisan kelima, ia terdiri dari 7 bab:
1. Mengapa Hidup dalam Sangkar? (5 lukisan)
2. Jangan Menangis Jakarta (4 lukisan)
3. Harmony of Religions (15 lukisan)
4. Great Pretender (4 lukisan)
5. Jakarta Tempo Dulu (5 lukisan)
6. Covid-19 (20 lukisan)
7. Pilpres 2024 (15 lukisan)
Total lukisan dalam buku ini sekitar 68 buah. Berbeda-beda lukisan di buku ini bukan hanya soal topik. Gaya melukis juga tak sama.
Baca Juga: Iwan Partiwa: Denny JA dan Kreasi Lukisannya yang Berbasis Artificial Intelligence
Hadir dalam buku ini, gaya lukisan yang bernada dokumentasi (lukisan Covid-19 dan Pilpres). Namun juga tersedia lukisan bergaya surealisme.
-000-
Karena Artificial Intelligence menjadi asisten saya dalam melukis, timbul dua pertanyaan. Apakah sah jika saya mengklaim lukisan ini karya saya pribadi? Dapatkah lukisan dengan asisten AI ini disebut seni?
Baca Juga: Isti Nugroho: Kebermaknaan Lukisan AI Karya Denny JA
Dalam era teknologi yang semakin maju, peran AI dalam berbagai aspek kehidupan manusia menjadi semakin dominan. Salah satu bidang yang mengalami transformasi signifikan adalah seni visual.
Penggunaan AI dalam proses kreatif menimbulkan perdebatan tentang apakah karya yang dihasilkan masih dapat diklaim sebagai karya pribadi sang seniman. Untuk memahami lebih jauh, kita perlu menganalisis dari sudut pandang filosofis dan empiris.
Secara filosofis, seni telah lama dipandang sebagai ekspresi pikiran dan visi seniman. Immanuel Kant, dalam "Critique of Judgment," menyatakan seni adalah manifestasi dari gagasan dan imajinasi manusia.
Baca Juga: KBRI Addis Ababa dan Uni Harambee Bekerja Sama Terbitkan Buku Pariwisata dan Media
Dalam konteks ini, AI hanya berfungsi sebagai alat yang membantu mengekspresikan visi tersebut. Meskipun AI berperan dalam proses produksi, ide, konsep, dan arahan artistik tetap berasal dari seniman. Dengan demikian, AI dapat dianggap sebagai ekstensi dari kreativitas manusia, bukan sebagai entitas kreatif independen.