In Memoriam: Salim Said dan 4 Generasi Film Indonesia
- Penulis : Krista Riyanto
- Minggu, 19 Mei 2024 13:25 WIB
Oleh Denny JA
ORBITINDONESIA.COM - “Pada generasi keempat, film Indonesia diperhitungkan dan menang Oscar. Tapi saya tak akan mengalaminya.”
Itulah perkataannya yang melintas, dalam pertemuan kami yang terakhir, ketika saya membaca berita duka meninggalnya Salim Said, 18 Mei 2024.
Baca Juga: In Memoriam: KH Zamroni Irfan, Santri Modern yang Liberal
Saya dan Salim Said sama-sama lulusan Ph.D Ohio State University, Political Science, Amerika Serikat.
Tapi lulusan kami berjarak 15 tahun. Ia tamat tahun 1985, saya selesai tahun 2000. Usia kami juga terpaut 20 tahun.
Kami sama-sama intens di sekolah ilmu sosial yang didirikan Sjahrir di tahun 1990-an. Ada Ignes Kleden, Daniel Dhakidae, dan Rocky Gerung di sana. Bedanya, saya mahasiswa, Salim Said dosennya.
Baca Juga: Syaefudin Simon: In Memoriam Nirwan Ahmad Arsuka, Nabi yang Membuka Jendela Semesta
Ketika syukuran 40 hari anak saya yang kedua, Salim Said datang, menyemprotkan minyak wangi, sebagai bagian dari ritus.
Tapi jika kami jumpa, sedikit saja bicara tentang politik. Lebih banyak kami berdiskusi tentang film. Salim Said tak hanya penulis film majalah Tempo pada zamannya. Ia juga aktivis dan pengurus organisasi film.
Dari satu festival ke festival internasional lain, Salim menjajakan film Indonesia. Ia menulis beberapa buku tentang film. Ia juga bergaul dengan seniman, bintang film, dan produsernya.
Baca Juga: In Memoriam Abdul Hadi WM: Penulis Besar Selalu Hidup Melalui Karyanya
Pengetahuan Salim Said tentang film melampaui pengetahuannya tentang politik dan militer.
Salim Said juga juga bahwa saya pernah punya koleksi film yang saya kumpulkan selama lima tahun. Saya miliki hampir semua film nominasi festival film Oscar, Cannes dan Berlin sejak awal. Saya juga punya film pemecah Box Office 10 tahun terakhir.
Dengan OTT seperti Netflix, Apple, Disney, Amazon, HBO, dan banyak lagi lainnya, hampir setiap hari saya menonton film.
Baca Juga: IN MEMORIAM: Sehari Dalam Kehidupan Ignas Kleden
Kami sama sama militan tentang film.
-000-
Setahun lalu, Salim Said bertandang ke kantor saya. Ia waktu itu baru mendengar pidato saya lewat youtube untuk International Minangkabau Literacy Festival, 2023.
Baca Juga: In Memoriam Ignes Kleden: Ikhtiar Mengintegrasikan Puisi ke Dalam Gerakan Sosial
Dalam pidato itu saya katakana bahwa potensi budaya Indonesia tak kalah dengan Korea Selatan. Tapi lihatlah, budaya Korea Selatan sudah mendunia. Film Korsel sudah menang Oscar (Parasite, 2020). Musiknya, seperti, BTS (Bangstan Boys) dianggap The Beatles masa kini.
Apa yang membuat beda? Di Korea Selatan, diplomasi budaya dijadikan bagian integral dari diplomasi nasional. Dan pemerintah di Korsel menyisihkan secara khusus dana APBN untuk membangkitkan budaya.
Pemerintah Indonesia perlu mempertimbangkan itu. Sisihkan dana 1 persen dari APBN per tahun untuk membangkitkan budaya: film, musik, dan sastra. Nilai 1 persen APBN itu sekitar Rp30 triliun per tahun. (1)
Baca Juga: MotoGP: Usai Seri Portugal, Jorge Martin Memimpin Klasemen Sementara
“Saya setuju gagasan anda. Tapi itu hanya mungkin jika menteri kebudayaanya bisa meyakinkan presiden,” ujar Salim Said.
Kami lalu bicara ngolor-ngidul tentang film. Di antara percakapan itu, Salim Said memprediksi film Indonesia akan menang Oscar.
Salim mulai dengan empat generasi film Indonesia. Pertama, era sebelum merdeka sampai hadirnya Usmar Ismail tahun 1950. Ini generasi pedagang. Mereka melihat film sebagai barang dagangan saja, mulai dari film bisu sampai teknologi film bicara.
Baca Juga: In Memoriam: Kisah Yahudi yang Ingin Beterima Kasih, Keberagaman Agama dan Trisno Sutanto
Lalu datang Usmar Ismail. Ia the game changer. Filmnya mulai dari Darah dan Doa, Lewat Jam Malam, dan Tiga Dara, mulai memasukkan gagasan ke dalam film.
Pentingnya sosok Usmar Ismail, terlihat dari respon pemerintah Indonesia. Hari pertama Usmar merekam film pertamanya dijadikan hari film nasional.
Usmar Ismail dilanjutkan Syuman Jaya hingga Teguh Karya. Film bermutu di Indonesia mulai bermunculan.
“Pada Generasi ketiga,” ujar Salim Said, “datang Garin Nugroho dan kawan- kawannya yang sekolah film, seperti di IKJ. Generasi ini memang lebih mengerti film secara akademis. Mereka juga punya kesadaran ikut aneka festival film internasional.
Mereka mulai membuat film bergaya seni. Tak semua film generasi ini diputar komersial di bioskop Indonesia. Sebagian memang dibuat untuk ikut festival film international. Banyak juga yang mendapat dana internasional.
Ujar Salim Said, “Saya kira baru generasi keempat nanti, film Indonesia diperhitungkan dalam festival sekelas Oscar. Dugaan saya, itu 10-20 tahun mendatang. Saya tak akan mengalaminya.”
Cukup hangat percakapan kami. Saya juga menceritakan perkembangan artificial intelligence (AI). Betapa sekarang, AI dapat digunakan untuk menyeleksi naskah film untuk tahu apakah ini film akan laku, dilihat dari topik, plot cerita, karakterisasi tokoh, dan dialognya.
Saya sempat cerita, beberapa puisi esai saya difilmkan oleh Hanung Bramantyo, untuk topik diskriminasi. Tapi ini film pendek durasi 40 menit saja. Ini bukan film bioskop.
Satu lagi puisi esai saya sedang difilmkan bekerja sama dengan PFN. Itu mengenai aksi kamisan para keluarga yang kehilangan anak dan orang tersayang, karena isu politik.
Tapi kisah politik puisi esai itu diganti. Bukan melawan pemerintah atau istana, tapi melawan perusahaan multi nasional. PFN mustahil membuat film yang protes kepada pemerintah.
Salim Said tertawa. Ia meminta saya mengajaknya mereview ketika film itu selesai.
Saya mendengar film itu hampir selesai. Tapi Salim Said tak lagi di sini. Ia tak lagi bisa diajak mereviewnya. ***
Jakarta, 19 Mei 2024
CATATAN:
(1) Denny JA: Satu persen dana APBN seharusnya untuk membangkitkan budaya: