Yang Tercecer di Era Kemerdekaan (2): Rara Masih Mencari Sari
- Penulis : Krista Riyanto
- Sabtu, 04 Mei 2024 07:47 WIB
Oleh Denny JA
ORBITINDONESIA.COM - Di era pendudukan Jepang di Indonesia, 1943- 1945, ribuan gadis muda Indonesia dijadikan penghibur tentang Jepang. Sari salah satunya.
-000-
Rara terpana di sana.
Masih siang hari.
Tapi ia melihat kunang- kunang, terbang menyala di kamar hotelnya.
Usianya tak lagi muda.
Di tahun 2001, Rara sudah 81 tahun.
Tapi ia paksakan datang ke Den Haag, Belanda.
Rara ingin mendengar sendiri putusan pengadilan Internasional.
Rara menangis,
ketika palu diketuk untuk kejahatan perang.
Tanggal 4 Desember, 2001,
Kaisar Hirohito diputus bersalah.
Ia harus bertanggung jawab atas 200 ribu perempuan.
Mereka dijadikan budak seks tentara Jepang,
di era perang dunia kedua.
Perempuan itu dari Korea, Cina, termasuk Indonesia.
Salah satu dari 200 ribu orang itu adalah Sari, kakak kesayangan Rara.
Lebih dari 40 tahun, Rara mencari Sari.
Sejak Indonesia merdeka, di tahun 1945, Sari menghilang.
Tahun 1942, itu tahun terakhir Rara bertemu Sari.
Saat itu, Sari baru saja kehilangan suami,
mati sakit karena kerja rodi.
“Aku harus kerja, Rara.
Aku titip anakku, Sukma.
Usianya memang masih dua tahun.
Tapi ia akan tambah besar.
Aku perlu dana.”
Sari ke Kalimantan,
ke area Telawang.
Lurah yang memberi jalan.
Katanya, tentara Jepang, perlu gadis yang pinter masak.
Gajinya besar.
Sari bisa menabung, untuk sekolah Sukma.
Kami mengijinkannya.
Apalagi ia pergi bersama Mardiyem, sahabatnya yang gesit.
Sari menangis, memeluk sukma.
Itu seperti pelukan yang terakhir.
Bukan pula itu air mata biasa.
Air mata Sari berbau kembang kematian.
Tahun 1945, Indonesia merdeka.
Jepang sudah pergi.
Mardiyem sudah kembali.
Tapi Sari tak kunjung pulang.
Dengan isak tangis, Mardiyem cerita.
Kami semua dibohongi.
Tak ada yang jadi pemasak.
Tak ada yang jadi penyanyi.
Sari dan kami semua,
dipaksa menjadi gadis penghibur.
Setiap hari, 10-15 tentara Jepang harus dipuaskan.
Jika tidak, badan kami diinjak-injak.
Kami tak diberi makan.
Mardiyem menunjukkan jari kakinya yang rusak.
Diinjak- injak sepatu lars tentara Jepang.
Dua kali Sari hamil.
Dua kali pula ia dipaksa aborsi.
Pernah pula Sari hampir mati.
Ia terkena penyakit kelamin.
“Apakah benar gajinya tinggi?,” tanya Rara.
“Wah, itu bohong.
Uang kami ditahan.
Malah katanya kami masih hutang.
Hutang makan, hutang minum dan hutang tempat tidur.”
“Kami susah lahir batin.
Tapi Sari beda dengan saya,” kata Mardiyem.
Saya mah jagoan. Semua saya bawa enteng.
Tapi Sari makan hati.
Ia selalu rindu anaknya.
Ia penyedih.”
“Tahun 1945, pamong rumah kami, orang Jepang, umumkan.
Kami boleh pergi.
Jepang katanya kalah perang.”
Ujar Madiyem, ia beserta Sari dan lima orang lain,
pergi ke Banjarmasin.
Tiga hari tiga malam lewat hutan belantara.
Melewati jalan setapak.
Kami sempat tinggal di rumah orang dayak.
Di dekat sana, ada sungai deras.
Sari sering duduk melamun,
di tepi sungai deras.
Satu hari, Sari tak kembali.
Ada yang bilang, Sari melompat ke sungai deras.
Kami tak tahu pasti.
Kami kehilangan Sari.
Rara terguncang.
Sejak saat itu, Rara mencari Sari, Selalu.
Kemana- mana, selalu.
Rara pernah pergi ke Telawang, Kalimantan.
Juga ke Banjarmasin.
Rara juga napak tilas jalan kaki ke hutan belantara yang dilalui Sari.
Rara juga duduk di pinggir sungai deras itu, tempat Sari.
Tapi Sari tak pernah terdengar.
Di Den Haag, Belanda, orang- orang bersorak, penuh kemenangan.
Pengadilan internasional menjatuhi hukuman untuk perbudakan seks itu.
Tapi, Rara, di antara sorak itu, malah menangis pilu.
Dari dalam hati disebutnya nama itu berkali- kali: “Sari, Sari.
Dan kunang- kunang berputar-putar di ruang itu. ***
4 Mei 2024
(1) Kisah Sari diinspirasi oleh kisah perempuan Indonesia yang berjuang mencari keadilan bagi gadis yang dijadikan penghibur tentara Jepang: