Berthold Damshäuser: Pilpres 2024, Pandangan Seorang Pengamat dari Jerman
- Penulis : Satrio Arismunandar
- Sabtu, 13 April 2024 04:26 WIB
ORBITINDONESIA.COM - Saya penggila ironi yang serius. Maka tulisan ini selain mengandung pendapat dan pandangan saya yang serius, juga mungkin akan ditaburi dengan unsur ironi di sana-sini. Saya berharap bahwa baik pembaca yang memahami ironi maupun yang mencarinya dengan sia-sia, tidak akan merasa tersinggung oleh tulisan ini.
Awal Maret 2024, dua pekan usai pemilihan presiden di Indonesia yang membawa kemenangan mutlak bagi pasangan Prabowo-Gibran, kekecewaan masih merajalela di kubu yang kalah.
Di antara yang kecewa, cukup banyak pribadi dari elite intelektual dan akademisi Indonesia, yang dengan tegas menolak pasangan Prabowo-Gibran serta Presiden Joko Widodo yang mendukung pasangan itu.
Suara-suara terkemuka dari kalangan intelektual-akademis itu memperingatkan bahwa demokrasi di Indonesia terancam, bahwa ada bahaya kembalinya “Orde Baru”, dan bahwa masa depan Indonesia mulai menggelap.
Suara-suara pesimis demikian telah terdengar jauh sebelum pilpres, disertai dengan rasa kecewa dan kesal terhadap presiden Jokowi, yang dianggap mencurangi demi membuka jalan untuk Prabowo dan putranya sendiri.
Keluhan-keluhan atas strategi dan tindakan Presiden juga telah disuarakan dengan penuh drama oleh seorang tokoh budaya Indonesia. Tokoh senior itu bahkan meneteskan air mata saat diwawancarai mengenai kekecewaannya.
Baca Juga: Mochamad Afifuddin: KPU Siapkan Strategi untuk Hadapi Gugatan Sengketa Pemilu di Mahkamah Konstitusi
Selama kampanye pilpres, terkadang tercipta kesan bahwa pemilihan itu adalah pertarungan antara kebaikan dan kejahatan, di mana pasangan Prabowo-Gibran dan Jokowi digambarkan sebagai yang jahat. Sementara pasangan lain, terutama pasangan Ganjar-Mahfud dianggap sebagai yang baik.
Saya teringat pada Pilpres 2019, di mana persepsi serupa terdapat di kalangan intelektual dan akademisi, tentu juga di kalangan mereka yang disebut sebagai “aktivis”. Pada saat itu, Jokowi dianggap sebagai wakil kebaikan, sementara Prabowo dianggap wakil kejahatan dan ancaman bagi masa depan Indonesia.
Saya sendiri terpengaruh oleh pandangan demikian, nyaris punya pendapat yang sama. Saya pun tiba-tiba cukup pesimis terhadap masa depan (demokrasi) Indonesia, seperti saya ungkapkan dalam sebuah wawancara di Deutsche Welle dengan mengatakan, bahwa “Indonesia is on the brink of disaster”.
Bayangkan, kejutan dan kekagetan saya ketika Jokowi (sang baik) memilih Prabowo (sang jahat) sebagai Menteri Pertahanan. Tak masuk akal. Tetapi, setelah saya merenungkan peristiwa itu secara mendalam, ia lambat laun memasuki juga akal saya.