Dosen UPN Veteran Jakarta, Puri Bestari Mardani Ajak Warga Cek Kebenaran Informasi di Media Sosial
- Penulis : Satrio Arismunandar
- Sabtu, 09 Maret 2024 15:04 WIB
"Orang Indonesia sendiri mampu menghabiskan waktu selama 19,7 persen per hari di media sosial. Persentase ini merupakan urutan ketujuh di dunia," kata Puri.
Menurut Sekretaris Relawan Teknologi Informasi Komunikasi Sulawesi Barat, Shalahuddin, pengguna internet lebih mudah terpapar hoaks karena faktor seperti budaya berbagi, sentimen suku, agama, dan ras yang masih kuat, terjebak dalam budaya jiwa korsa yang keliru, belum dapat membedakan ranah privat dan publik, serta kepentingan komersialisasi konten.
"Paparan hoaks ini menjadi pintu masuk terjadinya polarisasi, ketidakpercayaan pada fakta, dan menggerus otoritas ilmu pengetahuan yang bergerak bersamaan dengan momentum politik," kata Shalahuddin.
Baca Juga: Pegiat Media Sosial Denny Siregar Ungkap Raja Marah Setelah Tahu Elektabilitas Jagoannya Mentok
Menurut Shalahuddin, penyebaran hoaks dapat ditangkal dengan kesepahaman komunal, bukan pada level individual.
Ia juga mengemukakan perlunya upaya pemberantasan penyebaran hoaks dari hulu ke hilir.
Upaya di hulu bisa meliputi edukasi literasi digital kepada masyarakat serta pelacakan hoaks oleh lembaga maupun komunitas yang kompeten. Sedangkan di hilir, bisa dilakukan penegakan hukum terhadap pihak yang secara aktif menyebarkan hoaks.
Baca Juga: KBRI Den Haag Manfaatkan Media Sosial untuk Sosialisasikan Pemilu
"Dari sisi penegakan hukum, bisa lewat pemblokiran akun oleh Kemenkominfo dan proses hukum oleh kepolisian," kata Shalahuddin.
Shalahuddin mengemukakan cara menghadapi hoaks yang beredar di media sosial maupun internet dengan 3M.
M yang pertama yakni mengenali informasi yang disebarkan di media sosial, dengan mengecek akun yang menyebarkan serta memastikan apakah konten bernada provokatif.
M yang kedua yakni mengelola informasi dengan cara mengecek alamat situs atau sumber berita serta membedakan opini dengan fakta.