Denny JA: Partai Golkar dan Gerindra Memimpin Koalisi Semi Permanen untuk Kesinambungan Kepemimpinan 20 Tahun ke Depan
- Penulis : Krista Riyanto
- Kamis, 07 Maret 2024 12:10 WIB
ORBITINDONESIA.COM - Ini yang terlihat. Persentase partai pemenang pemilu sejak tahun 1999 sampai sekarang semakin mengecil dukungannya.
Dalam Pemilu legislatif di tahun 1999, PDIP memperoleh kemenangan dengan dukungan 33,74 persen. Di tahun itu masih ada partai yang menang di atas 30 persen.
Lalu di tahun 2004, Golkar yang menang. Di Pemilu 2009, Demokrat yang menang. Namun angka kemenangannya sudah menurun di bawah 30 persen, bahkan di bawah 22 persen saja.
Baca Juga: Ikuti Analisis LSI Denny JA tentang Hasil Pilpres 2024 Hari Ini Pukul 15.00 WIB di Zoom Meeting
Tahun 2004, Golkar juara tapi menang di persentase 21,58 persen. Tahun 2009, Demokrat menangnya turun lagi di posisi 20,85 persen.
Semakin mengecilnya partai pemenang Pemilu berlanjut. Di pemilu 2014, pemenangnya turun lagi di bawah 20 persen. PDIP menangnya di 2014 ini hanya 18,95 persen. Lalu PDIP lagi di 2019 pada angka 19,33 persen.
Sekarang di tahun 2024, di quick count LSI Denny JA, PDIP masih menang tapi sudah di bawah 17 persen.
Apa yang terjadi dengan pertumbuhan partai politik di negara kita?
Mengapa partai pemenang pemilu bertambah kecil?
Apakah ini gambaran dari semakin susahnya orang percaya kepada partai?
Era orang susah setia kepada partai politik kah ini?
Dalam terminologi ilmu politik, ada yang disebut party ID, party identification.
Di Amerika Serikat, dari 100 persen pemilih itu, 60 persen warga setia kepada partainya.
Sejak lama, dia pilih Demokrat dan terus pilih Demokrat. Bahkan juga mendukung calon presiden Demokrat.
Hal yang sama berlaku untuk Partai Republik. Hanya 40 persen yang mengambang.
Tapi kita sini, di Indonesia, rata-rata Party ID-nya hanya 30 persen. Sebanyak 70 persen pemilih mengambang bisa ke mana saja.
Apa efek rendahnya Party ID?
Akibat pertamanya adalah stabilitas koalisi di DPR. Bagaimanapun, siapapun presiden yang terpilih, dari partai manapun, ia memerlukan dukungan mayoritas DPR.
Tanpa dukungan mayoritas DPR, kebijakan presiden lumpuh.
Jika mayoritas DPR beroposisi, undang-undang yang diajukan presiden, dan APBN yang dikehendaki akan berlarut.
Untuk memperoleh dukungan mayoritas DPR di tahun 1999, itu cukup memerlukan gabungan dua partai politik tertinggi saja. Jika PDIP itu (di atas 33 persen) dan Golkar (di atas 22 persen) bergabung, mereka sudah menjadi koalisi yang menguasai mayaritas kursi DPR.
Tapi di tahun 2024 ini, karena partai politik yang paling tinggi hanya memperoleh 17 persen , bahkan tiga partai politik menggabungkan suaranya, dukungannya masih kurang dari 50 persen.
Akibatnya, kebijakan publik lebih diwarnai oleh negosiasi kasuistik di parlemen. Satu kerangka besar public policy, apalagi satu legacy program yang perlu dukungan di atas lima tahun, itu akan susah untuk dibangun.
Negosiasi kebijakan publik tidak lagi kepada ideologi, tak lagi pada platform, tapi pada hal-hal yang bersifat sangat pragmatis saja.
Partai politik menghilangkan warnanya, ikut saja kebijakan presiden. Yang celaka jika presiden tak memiliki core philosopy jangka panjang yang konsisten.
Karena semakin mengecilnya partai pemenang Pemilu, perlu kita memunculkan satu inovasi baru, satu gagasan baru.
Hal ini sudah saya sampaikan kepada Presiden Jokowi dalam pertemuan empat mata, sebelum hari pencoblosan.
Juga saya sampaikan kepada Prabowo dalam percakapan berdua.
Legacy seorang presiden atas sebuah gagasan besar memerlukan waktu 20 sampai 25 tahun agar gagasan itu kukuh dieksekusi sampai tuntas.
Artinya, sebuah gagasan besar hanya mungkin mengejawantah jika didukung oleh beberapa presiden tanpa diinterupsi, tanpa dioposisi.
Contohnya Ibu Kota Negara Nuantara di Kalimantan Timur.
Agar proyek Ibu Kota Negara itu benar-benar bisa tuntas berdiri di sana, dan semua instrumen pemerintahan bekerja di sana, tumbuh dan kemudian juga sehat, itu tak selesai dalam waktu lima tahun.
Ibu Kota Negara memerlukan waktu 20 sampai 25 tahun agar terkonsolidasi.
Apalah jadinya jika di tengah jalan, Ibu Kota Negara ditentang karena presiden baru yang tak memiliki komitmen memindahkan Ibu Kota, bahkan berupaya membatalkan undang-undang yang mendasarinya.
Jika di tahun 2024, Anies Baswedan yang terpilih, bukankah Anies sudah mengatakan ia tidak setuju dengan Ibu Kota Negara yang baru?
Maka segala pembangunan yang dimulai Jokowi di Ibu Kota negara segera mangkrak.
Tak akan pernah ada program besar yang berkelanjutan dapat tumbuh konsisten jika setiap ganti presiden juga berarti ganti kebijakan.
Lalu apa solusinya?
Kita harus coba memulai membuat semacam barisan nasional seperti di Malaysia, koalisi semi permanen, setidaknya untuk kerja sama selama 20 tahun.
Mengapa minimal 20 tahun?
Itu karena tahun 2045 tinggal 20 tahun lagi. Setelah Prabowo Subianto terpilih di tahun 2024-2029, kita memerlukan tambahan lima belas tahun, tiga pemilu presiden lagi.
Di tahun 2045, Indonesia diprediksi menjadi negara terbesar keempat secara ekonomi. Kita memerlukan kesenimbungan leadership supaya 20 tahun ini mereka semua berada pada kerangka makro legacy yang sama.
Berarti selama 20 tahun itu, kita memerlukan konsistensi kekuasaan yang bersetuju mencapai satu gagasan besar bersama, yang terus dirawat.
Pada titik inilah koalisi semi permanen untuk mengawal pemerintahan sampai tahun 2045 menjadi terpenting.
Salah satu tugas koalisi ini termasuk membantu siapa yang akan menjadi the next presiden sampai 2045, yang memiliki visi sama.
Karena sekarang ini Gerindra dan Golkar yang menjadi partai terbesar di pemerintahan, dua partai ini bisa memimpin koalisi semi permanen sampai 2045.
Siapa ketua umum Gerindra dan ketua umum Partai Golkar sampai 2045 menjadi krusial.
Partai lainnya yang sekarang ikut dalam Koalisi Indonesia Maju di bawah Prabowo-Gibran, seperti PAN dan Demokrat menjadi pilihan sekutu yang pertama.
Sebagian dari partai di luar koalisi pemenang Pilpres, seperti PKB, Nasdem, PPP, bahkan PDIP dan PKS, bisa mempertimbangkan diri untuk bergabung.
Tentu saja penting pula menyisakan partai politik untuk tetap berada di luar pemerintahan.
Oposisi politik tetap diperlukan. ***