Denny JA: Mesin Politik PSI Kurang Kuat Memanfaatkan Efek Jokowi di Pemilu 2024, Hasilnya pun Tak Signifikan
- Penulis : Krista Riyanto
- Selasa, 05 Maret 2024 07:56 WIB
ORBITINDONESIA.COM - Kita harus membedakan efek Jokowi pada calon presiden (Capres) dan pada partai. Mengapa?
Pada Capres, efek Jokowi ini akhirnya hanya dimonopoli oleh Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.
Penambahan suara Prabowo-Gibran sebagian adalah migrasi dan eksodus pemilih Jokowi dari Ganjar Pranowo menyusul blunder fatal kubu Ganjar sendiri.
Baca Juga: Di Tengah Harga Cabai Mahal, Iriana Jokowi Pimpin Gerakan Tanam Cabai Serentak se-Indonesia di Bogor
Jokowi's effect ini berbeda di partai dalam Pemilu legislatif. Untuka partai yang berkompetisi ada Gerindra, Golkar, PAN, dan PSI. Semua partai ini memainkan efek Jokowi.
Golkar misalnya membuat iklan yang besar dan massif tentang asosiasi Golkar-Jokowi dan Jokowi-Golkar. Iklan ini diulang-ulang menjelang hari pemilihan 14 Februari 2024. Hasilnya, efek Jokowi kepada Golkar naiknya sangat terasa.
Hal yang sama juga dengan PAN. Partai ini juga mengasosiasikan diri kuat sekali dengan Jokowi. Bahkan ketika bagi-bagi bantuan sosial (bansos) pun, dinyatakan: "Ini Bansos dari Jokowi, ya? Jangan lupa.”
PSI sendiri suaranya juga naik jika dibandingkan Pemilu 2019. Tapi naiknya dukungan kepada PSI tidak signifikan ke angka melampaui ambang batas parlemen 4 persen.
Mengapa PSI tak memperoleh manfaat yang jauh lebih besar dari Jokowi?
Bukankah Ketua Umum PSI juga putra Jokowi?
Ketika semua berebut efek Jokowi, penentunya kemudian adalah efektivitas mesin politik partai.
Ketika banyak partai mengasosiasikan diri dengan Jokowi, mesin Golkar dan mesin PAN jauh lebih kuat, jauh lebih besar, jauh lebih berpengalaman, dan jauh lebih lihai dibanding mesin PSI.
Akibatnya, PSI memperoleh porsi efek kecil saja dari Jokowi itu. Golkar dan PAN jauh lebih besar meraihnya. Untuk di partai, Golkar yang paling memperoleh buah termanis dari efek Jokowi.
Sebutkan The TOP 3 pemenang Pemilu 2024?
Ini jawabannya, tegas dan tanpa keraguan. Pemenang pertama adalah Prabowo dan Gibran. Pasangan terpilih telak sekali, menang satu putaran saja.
Pemenang kedua adalah Jokowi. Itu karena legacy Jokowi diteruskan oleh pasangan Capres dan Cawapres pilihannya, yang menang Pilpres 2024.
Pemenang ketiga adalah Partai Golkar!
Memang dukungan kepada PDIP lebih tinggi dibandingkan Golkar pada Pileg 2024. Tapi dukungan kepada PDIP jika dibandingkan dengan Pileg 2019, justru menurun.
Sebaliknya, walau di Pemilu 2024 Golkar masih di bawah PDIP, tapi dibanding Pemilu 2019, naiknya dukungan kepada Golkar paling tinggi dibanding semua partai lainnya.
Bahkan naiknya dukungan kepada Golkar lebih tinggi dibanding naiknya Gerindra. Ini sebuah kenyataan yang juga tak biasa.
Mengapa Partai Gerindra tak banyak memperoleh efek dari Prabowo?
Bukankah Prabowo itu sangat berjaya, dan Gerindra adalah partainya Prabowo sendiri?
Jawabannya: manuver calon anggota legislatif (Caleg) di tingkat nasional.
Seminggu terakhir sebelum hari pencoblosan 14 Februari 2024, permainan Caleg Golkar itu jauh lebih yahud, lebih canggih, lebih efektif. Itu karena mereka lebih berpengalaman.
Akibatnya efek Jokowi ini jauh lebih banyak diperoleh oleh Golkar melampaui efek Prabowo yang diperoleh oleh Gerindra.
Mengapa sebuah partai politik dipilih oleh warga?
Apa motif warga memilih partai itu? Ada dua penyebab.
Pertama adalah identitas partai dalam kaitannya dengan pengalaman pribadi warga. Baik Golkar, Gerindra, PDIP sudah memiliki komunitas militannya sendiri.
Hadir Party's ID (party identification). Sejak lama warga itu memilih partai yang sama.
Tapi temuan survei LSI Denny JA, 30 persen dukungan kepada partai itu disumbangkan oleh para Caleg-nya. Warga memilih partai bukan hanya karena daya tarik partai.
Sebagian juga itu karena hadirnya Caleg yang kuat pesonanya, kuat geraknya, kuat manuver dan mobilisasinya.
Sering terjadi dalam survei, untuk pertanyaan partai mana yang dipilih? Acapkali Gerindra melampaui Golkar. Tapi hasil akhirnya Golkar justru melampaui Gerindra.
Mengapa? Ini karena peran Caleg. Umumnya Caleg Golkar ini ternyata lebih lihai, lebih berpengalaman, dan memiliki jam terbang lebih tinggi untuk merebut dukungan pemilih.
Jika waktu itu Kaesang dipilih sebagai Ketua Umum PSI lebih awal, mungkin lebih banyak Caleg yang datang ke PSI yang lebih memiliki jam terbang. Sehingga para Caleg ini akan jauh lebih menyumbangkan suara kepada PSI.
Sekarang sumbangan suara PSI datang dari Kaesang karena bekerjanya efek Jokowi. Tapi itu tak maksimal. Para Caleg PSI dikalahkan oleh Caleg Golkar dalam memainkan efek Jokowi. ***