Lewat Sebuah Diskusi Berdua: Inilah Alasan Denny JA Memilih Berdiri di Samping Presiden Jokowi
- Penulis : Krista Riyanto
- Jumat, 23 Februari 2024 09:03 WIB
ORBITINDONESIA.COM - Ketika begitu banyak aktivis, intelektual yang menyerang Jokowi, bahkan ingin melengserkannya, mengapa saya memilih justru berdiri di samping Presiden Jokowi?
Saya mulai dengan buku yang saya karang sendiri: Membangun Legacy.
Ini buku renungan dua puluh tahun saya malang melintangg dalam Pemilu presiden (Pilpres), membantu seorang calon presiden terpilih.
Tujuan tertinggi seorang pemimpin adalah membangun legacy. Itu hanya mungkin terjadi jika pemimpin itu memajukan masyarakatnya. Misalnya, ia meninggalkan satu warisan, satu kondisi yang memberi warna masyarakatnya untuk kemajuan.
Saya diundang Pak Jokowi akhir Juli 2023. Kami berdua saja bercakap-cakap sekitar 30 sampai 40 menit. Saya katakan pada Pak Jokowi, "Yang istimewa, karena Pak Jokowi bisa keluar dari tradisi sedih Presiden Indonesia.”
Kita sudah punya enam presiden sebelum Jokowi. Semua presiden itu berakhir dengan kisah sedih. Bung Karno dijatuhkan, Pak Harto dijatuhkan, Habibie ditolak pertanggungjawabannya oleh MPR, Gus Dur juga dijatuhkan.
Memang Megawati dan SBY selamat. Tapi dua presiden ini di ujung kekuasaannya, partainya dalam Pemilu, turun drastis sekali.
Tapi Jokowi sekarang ini berpotensi keluar dari tradisi itu karena kepuasan publik kepada Jokowi tinggi sekali.
Respon Jokowi: “Padahal kita ini tiga tahun mengalami musibah Covid-19.
“Karena itu Pak,” saya katakan, “Bagus sekali jika seorang presiden memiliki legacy. Yaitu jejak gagasan yang kukuh, yang nantinya itu mengharumkan masyarakat.”
Lima puluh tahun dari sekarang, sejarahwan akan menilai siapa presiden Indonesia yang legacy-nya, mengharumkan rakyatnya secara begitu kental.
Di Amerika Serikat, tiga presiden yang selalu dipilih, yang dianggap berkontribusi kepada kemajuan bangsa paling tinggi, adalah Abraham Lincoln, George Washington, dan FD Roosevelt.
Lincoln dipilih nomor satu karena di eranya ia menghapuskan secara berani sekali perbudakan kulit hitam. Keputusan itu ikut mengobarkan perang saudara di Amerika Serikat selama 12 tahun.
Ketika Lincoln menjadi presiden, Amerika Serikat bagian selatan itu wilayah perkebunan sebagai penghasilan utamanya. Zona ini sangat bergantung pada perbudakan.
Ketika perbudakan itu dihapuskan, ekonomi mereka lumpuh. Mereka pun berontak.
“Hal yang biasa saja, Pak,” saya katakan, “Bahwa ketika berkuasa, kita acap kali harus membuat satu kebijakan yang saat itu tidak populer.
“Tapi ujungnya nanti, kebijakan itu justru memberi efek baik yang besar sekali bagi masyarakat.”
Pak Jokowi sekarang ini memiliki tiga hal yang penting yang bisa memperkukuh legacy-nya. Pertama adalah IKN, memindahkan ibukota dari Jakarta ke Kalimantan.
Sejak Bung Karno, Presiden Indonesia sudah mencoba melakukan ini, tapi tak satu pun yang benar-benar berhasil memindahkan ibu kota.
Pak Jokowi sekarang ini dengan tingkat popularitas tinggi itu bisa mencoba sekuat mungkin agar pindah ibu kota berhasil.
Kedua, juga ini penting: hilirisasi, yang di dalamnya ada industrialisasi. Ketiga, digitalisasi pemerintahan. Digitalisasi itu nanti bisa mengurangi korupsi di negara kita secara besar-besaran.
Tapi untuk membangun legacy seperti itu membutuhkan waktu panjang sekali, 15- 25 tahun. Itu periode waktu yang melampaui jabatan presiden yang hanya 5-10 tahun.
“Karena itu, Pak, memang kita harus peduli kepada siapa yang akan menjadi the next president Indonesia berikutnya.”
Pak Jokowi juga bercerita begitu banyak pemimpin dunia mengatakan kepadanya. Di tahun 2045 nanti, Indonesia akan menjadi negara nomor empat terbesar secara ekonomi di dunia.
Tapi tentu saja leadership, soal pemimpin nasional, sangat memegang kunci berhasil atau tidak. Siapa yang menjadi presiden Indonesia sekarang ini sampai 20 tahun mendatang begitu menentukan.
Kami pun berdiskusi mengenai siapa the next president yang bisa meneruskan legacy ini, ketika berjumpa di bulan Juli 2023.
Pak Jokowi diketahui selama ini ia sangat ingin sekali Ganjar dan Prabowo itu berpasangan. Entah Prabowo sebagai calon presidennya atau Ganjar sebagai calon presidennya. Tapi pasangan Prabowo-Ganjar ini tak pernah terjadi.
Sehingga akhirnya, Jokowi harus memilih Ganjar atau Prabowo. Saya katakan juga, ketika Pak Jokowi harus memilih antara Ganjar dan Prabowo, pastikan tiga hal.
“Pertama, pastikan siapa yang lebih mungkin meneruskan dan punya kemampuan menjalankan gagasan besar itu, mulai dari Ibu Kota Negara Nusantara sampai hilirisasi.”
“Kedua juga, siapa di antara dua tokoh ini yang paling memberikan ruang kepada Bapak untuk ikut berperan.”
“Dan yang ketiga, siapa yang paling mungkin menang: Ganjar atau Prabowo.”
Dari tiga kriteria ini, saya katakan, “Prabowo lah yang paling mungkin memenuhi ketiganya. Ganjar itu bagus, tapi dibanding Prabowo, kemungkinan menangnya dan juga keberaniannya untuk hilirisasi, misalnya, itu jauh lebih kuat ada pada Prabowo.”
Itulah diskusi kami. Kekuasaan itu untuk gagasan. Yang menjadi komando itu gagasan. Kekuasaan dimuliakan jika ia menjadi sarana mencapai sebuah gagasan.
Jokowi tentu saja seorang presiden yang mandiri. Saya hanya salah satu saja sumber yang ia ajak diskusi.
Saya meyakini Jokowi memang digerakkan oleh gagasan yang besar. Itu pula mengharuskannya terlibat dalam pertarungan presiden berikutnya.
Saya justru meyakini, presiden harus cawe-cawe untuk sebuah gagasan besar, sejauh ia masih berada dalam koridor yang dibolehkan oleh hukum nasional.
Itu sebabnya, dalam Pilpres 2024, saya memilih berdiri di samping Jokowi, ketika sebagian intelektual lain justru ingin melengserkannya. ***