Dr Abdul Aziz: Pilpres 2024 dalam Diskursus Kode Etik dan Hukum
- Penulis : Satrio Arismunandar
- Minggu, 11 Februari 2024 10:48 WIB
Sebelumnya, hukuman kode etik keras juga dijatuhkan kepada Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Anwar Usman. Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) yang dipimpin Prof. Dr. Jimly As-Shiddiqie menjatuhkan sanksi teguran keras kepada Ketua MK Anwar Usman dan hakim terlapor lainnya pada Selasa, 7 November 2023.
Pelanggaran utamanya adalah Keputusan MK nomor 90/PUU-XXI/2023 terkait uji materi perkara batas usia calon presiden/wakil presiden.
Dalam putusan tersebut, MK menyatakan seseorang yang belum berusia 40 tahun, tetapi pernah atau sedang menjabat sebagai kepala daerah, bisa maju sebagai capres atau cawapres.
Baca Juga: KPU DKI Jakarta Temukan Ratusan Surat Suara DPR dan DPRD Rusak
Akibat keputusan tersebut, putra Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka yang usianya 36 tahun (belum genap 40 tahun) bisa mencalonkan diri sebagai wakil presiden pada Pilpres 2024.
Itulah pelanggaran etik berat Ketua MK Anwar Usman yang nota bene paman Gibran dan hakim terlapor lainnya. MKMK memberikan hukuman kepada Anwar Usman: Menjatuhkan sanksi pemberhentian dari jabatan Ketua Mahkamah Konstitusi.
Yang menarik, meski Anwar Usman mendapat sanksi etik berat berupa pemberhentian dari jabatannya sebagai Ketua MK, tapi Keputusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 tetap berlaku. Gibran Rakabuming Raka tetap bisa melenggang untuk mencalonkan diri sebagai cawapres pada Pilpres 2024.
Baca Juga: KPU Susun Rancangan Jadwal Pilpres 2024 Putaran Kedua: Pemungutan Suara 26 Juni!
Keputusan MKMK Nomor 02/MKMK/L/11/2023 itu sendiri – anehnya -- tidak bisa membatalkan Keputusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023. Dalam hukum pidana, misal kasus pencurian, malingnya ditangkap dan diberi peringatan, tapi harta yang dicuri tetap milik maling.
Itulah SOP hukum di MK yang sungguh “sulit dimengerti” orang awam. Juga SOP di DKPP. Sulit dimengerti orang awam. Bahkan sulit dimengerti oleh sebagian ahli hukum tata negara.
Guru Besar Hukum Tata Negara UGM, Prof. Dr. Denny Indrayana, misalnya, mempertanyakan kenapa sanksi yang diberikan kepada hakim konstitusi yang melanggar etika berat hanya bersifat teguran. Bukan hukuman.
Baca Juga: Daftar 63 Lembaga Survei untuk Pemilu 2024 yang Telah Tercatat di KPU
Padahal pelanggarannya sangat berat. Yaitu memberikan celah hukum untuk penyelenggaraan politik dinasti dalam sistem ketatanegaraan; atau memperbolehkan nepotisme, yang jelas-jelas dilarang undang-undang (lihat Pasal 22 UU 28/199).