Seberapa Besar Efek Elektoral dari Aksi Protes di Kampus Terhadap Calon Presiden? Inilah Analisis Denny JA
- Penulis : Krista Riyanto
- Selasa, 06 Februari 2024 13:04 WIB
Aksi protes itu memang bisa membuat demokrasi kita semakin tumbuh dan bertransformasi, dari suasana “transisi demokrasi” menuju “konsolidasi demokrasi.”
Tapi dari si politik elektoral, pengaruh gerakan kampus ini tidaklah banyak. Mengapa? Ini datanya.
Kepuasan kepada Jokowi sekarang ini memang sedang tinggi sekali. Hampir 10 tahun Jokowi menjadi presiden dan menyentuh hati masyarakat luas.
Di akhir Januari 2024, sekitar 80,8 persen publik puas kepada kinerja Jokowi. Itu approval rating kepada presiden yang tinggi sekali. Tidak hanya tinggi untuk ukuran Indonesia, tapi juga untuk ukuran dunia.
Di kalangan terpelajar, bahkan yang puas pada Jokowi itu 77,9 persen. Yang tak puas kepada Jokowi 21,8 persen. Bisa dikatakan, di kalangan terpelajar, yang didefinisikan dalam kelompok mahasiswa, D1, D3, S1, S2, S3, dan para profesor, rata-rata dari 10 orang warga kampus ada dua orang yang tak puas kepada Jokowi.
Tapi ada tujuh dari sepuluh warga kampus yang puas pada Jokowi. Dan satu orang dari 10 warga kampus itu yang tidak memberikan suara. Bisa kita katakan, berapa pun jumlah profesor, dosen yang mengritik Jokowi di sana, maka ada jauh lebih banyak yang puas pada kinerja Jokowi.
Katakanlah ada 20 warga kampus yang tak puas dengan Jokowi. Secara statistik, itu berarti ada sekitar 70 warga dari kampus itu yang tak bersuara, tapi mereka puas kepada Jokowi. Perbandingannya 7 : 2 untuk pro Jokowi.
Mengapa terjadi dan terbelah seperti ini di kalangan terpelajar Itu karena memang di kalangan manapun, bisa saja terjadi perbedaan persepsi mengenai realitas politik.
Apa yang penting dan krusial bagi seseorang, bagi satu guru besar, itu hal yang biasa- biasa saja bagi guru besar lain. Apa yang tak bisa diterima bagi satu pihak, itu bisa ditoleransi, bisa dipahami oleh pihak lain.
Kepentingan, cara berpikir, prioritas dan pemihakan warga kampus terhadap apapun, siapapun, tak pernah tunggal. Dan spektrum persepsi ini juga terjadi di kalangan pemilih manapun. Tinggallah statistik yang memetakan, posisi apa yang kini mayoritas dan minoritas.