Jika Presiden Jokowi Berkampanye untuk Calon Presiden (Misalnya Prabowo Subianto), Bolehkah? Inilah Pandangan Denny JA
- Penulis : Krista Riyanto
- Kamis, 25 Januari 2024 11:26 WIB
ORBITINDONESIA.COM - Apa jadinya jika Presiden Jokowi ketika ia masih menjabat sebagai presiden secara resmi menyatakan dukungannya kepada Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka?
Lebih jauh lagi, Jokowi pun berkampanye untuk Prabowo dan Gibran?
Ini pertanyaan yang lahir begitu saja setelah membaca berita dan kontroversinya.
Baca Juga: Denny JA: Pasangan Capres dan Cawapres Terasosiasi Jokowi Paling Diuntungkan
Berita ini dimulai oleh Jokowi sendiri ketika ia mengatakan bahwa presiden boleh kampanye asal tak gunakan fasilitas negara.
Segera peryataan Jokowi ini melahirkan pro dan kontra. Saya kutip salah satunya dari TPN Ganjar-Mahfud.
Kubu Ganjar menyatakan tak persoalkan jika Presiden Jokowi ikut berkampanye.
Namun sebaliknya, dari Civil Society PERLUDEM. Kelompok ini meminta Jokowi mencabut pernyataannya agar presiden tak berpihak dan tak berkampanye.
Sebenarnya, bagaimanakah kita harus bersikap?
Bolehkah presiden ketika masih berkuasa menyatakan dukungannya kepada calon presiden selanjutnya?
Baca Juga: LSI Denny JA: Elektabilitas Prabowo -Gibran 46,6 Persen, Pilpres Cukup Satu Putaran?
Bolehkah presiden bahkan berkampanye untuk calon presiden selanjutnya?
Maka tiga hal sekaligus yang bisa kita jadikan variabel untuk analisis.
Pertama adalah studi perbandingan di negara demokrasi yang sudah matang.
Baca Juga: Sebulan Menuju Kemenangan Prabowo-Gibran Terbuka Lebar, Inilah Analisis Denny JA
Apakah di sana in action presidennya boleh berkampanye mendukung calon presiden yang akan datang.
Kedua, kita lihat juga pada aturan konstitusi UUD 45 di Indonesia dan undang-undang yang ada.
Apakah soal presiden berkampanye itu juga diatur, dibolehkan atau dilarang atau ada pembatasannya?
Baca Juga: Prabowo Subianto: Mas Gibran Tunjukkan Kapasitas di Debat Pilpres 2024, Saya Sangat Bangga
Dan ketiga yang lebih universal adalah prinsip demokrasi. Bagaimana prinsip demokrasi mengatur hal ini?
Kita mulai dari contoh di negara maju. Ini data yang bisa kita lacak di google. Di tahun 2016 Obama masih menjadi presiden. Ia masih berkuasa.
Tapi ketika itu Barack Obama berkampanye untuk Hillary Clinton, dengan begitu intensif. Kampanyenya begitu masif. Media setempat bahkan menyebutnya fenomenal. Historis!
Baca Juga: Pandangan Denny JA tentang Debat Cawapres 21 Januari 2024: Gibran dan Cak Imin yang Paling Tegas
Hillary yang dulu menjadi kompetitornya, ia kalahkan, lalu Obama menjadikan Hillary sebagai menteri luar negeri.
Di tahun 2016, Hillary maju sebagai calon presiden dan Obama sebagai presiden mendukungnya, mengendors-nya secara terbuka. Obama juga aktif berkampanye.
Tak hanya kasus Presiden Obama di tahun 2016. Ini terjadi pula ini di tahun 2008.
Waktu itu, George Bush masih menjadi presiden. Ia pun secara terbuka mendukung John McCain untuk maju sebagai calon presiden berikutnya.
George Bush pun berkampanye untuk John McCain ketika Bush masih menjadi presiden.
Kita lihat di sini betapa di Amerika Serikat, presiden yang masih berkuasa berkampanye untuk calon presiden lain sudah diterima sebagai hal yang lazim saja.
Baca Juga: Kaesang PSI Kampanye Terbuka di Kampung Halaman Kota Surakarta, Ajak Massa Dukung Prabowo-Gibran
Mengapa? Karena hal yang boleh- boleh saja jika presiden memiliki kepentingan agar legasinya, programnya, dilanjutkan oleh calon presiden yang ia merasa memiliki kesamaan visi, dan kemampuan.
Kedua, kita bisa melihat pada aturan konstitusi di Indonesia.
Konstitusi kita membolehkan presiden untuk maju kedua kalinya untuk kembali menjadi presiden.
Baca Juga: Prabowo Subianto: Kekerasan Akan Memecah Belah Bangsa dan Bukan Jalan Menuju Kekuasaan
Ini berarti tokoh yang sudah menjadi presiden pada periode pertama, ia boleh berkampanye ketika masih menjadi presiden (untuk dirinya sendiri) agar terpilih kembali sebagai presiden untuk periode kedua.
Megawati berkampanye ketika ia masih menjadi presiden di tahun 2004 bagi calon presiden berikutnya (dirinya sendiri).
Hal yang sama terjadi pada SBY di tahun 2009. Hal serupa juga berulang pada Jokowi tahun 2019.
Ketiganya masih menjadi presiden, dan mereka berkampanye untuk calon presiden berikutnya (dirinya sendiri).
Jika mereka boleh berkampanye untuk calon presiden berikutnya (dirinya sendiri) walau masih menjadi presiden, bolehkah mereka juga berkampanye untuk calon presiden berikutnya, yang bukan dirinya sendiri?
Hadir Undang-undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017. Dalam undang-undang itu dinyatakan secara jelas dan tegas. Presiden dan wakil presiden boleh berkampanye dengan catatan. Presiden tidak menggunakan fasilitas negara kecuali pengamanan yang melekat padanya. Presiden juga dalam kondisi cuti.
Pakar tata negara Prof Yusril Ihsa Mahendra juga menyatakan. Memang presiden dan wakil presiden dibolehkan undang-undang untuk berkampanye.
Ketiga kita pun bisa melihat dari prinsip demokrasi. Setiap warga negara dibolehkan menyatakan sikap politiknya, pilihan politiknya, kecuali yang oleh kondisi khusus dilarang oleh hukum setempat.
Bagaimana juga, presiden tidak hanya pemimpin pemerintahan. Ia juga seorang pemimpin politik.
Sebagai pemimpin politik, presiden boleh menyatakan sikap politiknya, pilihan politiknya, termasuk juga siapa calon presiden yang didukungnya pada periode selanjutnya.
Kebolehan ini tak dilarang oleh hukum di Indonesia, tapi hanya dibatasi oleh syarat tak menggunakan fasilitas negara, kecuali pengamanan yang melekat, dan dalam kondisi presiden sedang cuti. ***