Denny JA: Serangan Sebagian Kalangan Terpelajar ke Prabowo-Gibran yang Kian Kencang itu Bagai Topan di Dalam Toples
- Penulis : Krista Riyanto
- Rabu, 24 Januari 2024 09:50 WIB
ORBITINDONESIA.COM - Kritik kalangan intelektual, evaluasi kaum terpelajar itu penting untuk menjaga demokrasi yang sehat.
Tapi mengapa ketika kritik kaum intelektual dan kemarahan kaum terpelajar kepada Jokowi, kepada Gibran, kepada Prabowo semakin intens, elektabilitas Prabowo-Gibran justru semakin tinggi?
Sebelum kita menjawab pertanyaan itu, kita mulai dulu dengan berita. Ini kabar dari tengah Januari 2024, dan era sebelumnya yang semakin hot.
Baca Juga: Denny JA: Ilusi Melengserkan Jokowi, Hanya Untuk Diskusi yang Tak Bersambung dengan Realitas Politik
Yang mutakhir adalah berita, lebih tepatnya gosip karena belum terkonfirmasi.
Sebagian menteri didesas-desuskan akan mundur dari jabatannya. Itu terjadi untuk menunjukkan bahwa banyak menteri pun tak puas pada Jokowi yang dianggap cenderung kepada calon presiden dan calon wakil presiden tertentu.
Itulah isu yang kini disebarkan dan ditiup- tiupkan. Namun sejauh ini belum ada satupun menteri yang membenarkannnya.
Baca Juga: Quotes Politik Denny JA: Menang Pilpres Harus Paham Kultur Politik Indonesia
Sebelumnya, luas diberitakan terjadi tuntutan dan aksi pemakzulan, pelengseran Jokowi.
Tokoh dibelakang isu ini tak hanya politisi dan jenderal purnawirawan, tapi juga intelektual dari lembaga survei.
Sebelumnya, aneka tokoh, termasuk majalah sebesar TEMPO kuat sekali memberitakan Gibran sebagai anak haram konstitusi.
Baca Juga: Denny JA: Pasangan Capres dan Cawapres Terasosiasi Jokowi Paling Diuntungkan
Diisukan betapa telah terjadi orkestrasi terhadap putusan Mahkamah Kontitusi untuk menggoalkan Gibran sebagai calon wakil presiden, dengan cara mengangkangi konstitusi.
Mereka menyarankan seharusnya Gibran mundur sebagai calon wakil presiden.
Sebelumnya lagi, keras juga terdengar bahkan Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri, menyatakan pemerintahan sekarang ini menghadirkan kembali Orde Baru. Neo Orde Baru!
Semakin Intens sekali kritik kepada Jokowi, kepada Gibran dan kepada Prabowo. Tapi yang terjadi, aneka lembaga survei yang kredibel, di bulan Januari 2024, justru mengabarkan, elektabilitas Prabowo-Gibran menaik ke angka yang tak pernah setinggi itu.
Banyak lembaga survei menyatakan kemenangan Prabowo-Gibran semakin telak.
LSI Denny JA sendiri menunjukkan angkanya. Aneka lembaga survei lain berujung pada angka yang mirip.
Baca Juga: LSI Denny JA: Elektabilitas Prabowo -Gibran 46,6 Persen, Pilpres Cukup Satu Putaran?
Bahwa di tengah Januari 2024, elektabilitas Prabowo-Gibran bahkan di angka 46,6 persen. Itu artinya hanya butuh 4 persen lagi untuk mereka menang satu putaran saja (50 persen + 1).
Tak pernah sebelumnya elektabilitas Prabowo-Gibran berkibar sejauh itu!
Jarak elektabilitas Prabowo-Gibran dengan Ganjar Pranowo-Mahfud MD dan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar pun melebar di atas 20 persen.
Baca Juga: Sebulan Menuju Kemenangan Prabowo-Gibran Terbuka Lebar, Inilah Analisis Denny JA
Bagaimana kita menjelaskan dua fakta seperti anomali ini?
Mengapa kemarahan sebagian kalangan terpelajar yang begitu meluas, tapi efeknya tak terasa menurunkan elektabilitas Prabowo-Gibran?
Kemarahan sebagian kalangan terpelajar itu seolah-olah hanya menjadi Angin Topan di Dalam Toples. Ada lima penjelasannya.
Baca Juga: PILPRES 2024 dalam Lukisan Artificial Intelligence Karya Denny JA
Pertama, harus kita pahami bahwa kalangan terpelajar yang marah ini, jumlah mereka hanya di bawah 10 persen dari total pemilih Indonesia.
Yang kita definisikan sebagai kalangan terpelajar adalah mahasiswa, mereka yang sudah S1, S2, S3. Termasuk juga lulusan D1, D3 dan selanjutnya.
Kemarahan di sebagian kalangan ini pun efeknya berputar di situ- situ saja. Seolah-olah hanya terjadi di dalam toples sebesar 10 persen.
Baca Juga: Pandangan Denny JA tentang Debat Cawapres 21 Januari 2024: Gibran dan Cak Imin yang Paling Tegas
Kedua, harus juga kita pahami kepuasan publik kepada Jokowi, approval rating Jokowi, sejak bulan Juni 2023 hingga Januari 2024 tinggi sekali. Angkanya sekitar 75 persen hingga 82 persen.
Kemarahan sebagian intelektual itu dengan sendirinya tidak bersambung dengan public mood masyarakat banyak yang justru suka dan puas kepada Jokowi.
Sebab ketiga, dan ini juga penting. Mayoritas rakyat Indonesia, sebagian besar pemilih Indonesia, menganggap masalah ekonomi di sini, soal politik, perkara hukum dan budaya, semua itu baik-baik saja.
Lebih dari 60 persen mereka menganggap situasi sekarang ini sedang-sedang saja dan bahkan lebih baik.
Yang menyatakan sekarang ini buruk dan jauh lebih buruk itu di bawah 30 persen.
Dengan sendirinya, stabilitas nasional di berbagai dimensi kehidupan terjaga. Tak terasa hadir kegelisahan yang berdenyut meluas hingga ke kalangan rakyat bawah.
Baca Juga: Kaesang PSI Kampanye Terbuka di Kampung Halaman Kota Surakarta, Ajak Massa Dukung Prabowo-Gibran
Keempat, umumnya kalangan terpelajar dalam struktur voters di Indonesia tidak memiliki kaki dan tangan untuk mempengaruhi wong cilik, pemilik suara mayoritas negeri ini.
Terputus itu hubungan antara lapisan terpelajar dan wong cilik.
Bahkan para begawan pemikir dan intelektual kita tak memiliki kaki dan tangan ke kalangan wong cilik. Manuver mereka terbatas “di dalam toples saja.”
Kelima, apa yang membedakan situasi sekarang dengan kondisi di tahun 1998, yang berhasil menggerakkan reformasi?
Di tahun 1998, kemarahan kalangan terpelajar itu bergaung seirama dengan krisis ekonomi yang besar. Akibatnya kegelisahan kaum terpelajar juga menjadi kegelisahan wong cilik.
Sementara sekarang di tahun 2024 ini, ekonomi baik-baik saja. Tak ada kegelisan ekonomi misalnya yang berdenyut keras.
Itulah sebabnya mengapa terjadi dua fakta yang unik itu. Kemarahan sebagian kaum terpelajar kepada Jokowi, Gibran dan Prabowo memang semakin Intens.
Tapi di momentum yang sama, elektabilitas Prabowo-Gibran justru semakin tinggi.
Terjadi semacam ketidak-sambungan, link yang terputus antara sebagian kalangan terpelajar itu dan psikologi publik luas. ***