Mayjen TNI (Purn) Dr. Saurip Kadi: Prabowo–Gibran Sebagai Solusi Kebangsaan Kekinian
- Penulis : Satrio Arismunandar
- Senin, 29 Januari 2024 16:20 WIB
ORBITINDONESIA.COM - Tanpa memahami latar belakang mengapa Presiden Joko Widodo (JKW) memilih Prabowo Subiyanto (PS) bersama putra sulungnya Gibran Rakabuming Raka (GRR) sebagai Pasangan Capres-Wapres, wajar saja kalau sebagian pendukungnya menjadi kecewa, patah hati, marah dan bahkan berbalik membencinya.
Bagaimana tidak, kalau JKW yang menjadi tumpuan harapan dengan karya nyatanya telah membangun pondasi NKRI sebagai wadah dan alat bersama bagi segenap anak bangsa secara setara dengan konsep nation state, ternyata diujung masa jabatannya sebagai Presiden mendadak tampil bak tokoh yang haus kekuasaan dan malah melanjutkan praktek nepotisme yang selama ini subur di negeri ini.
Sementara PS yang dipilihnya adalah tokoh yang secara umum dipahami sebagai bagian masalah masa lalu.
Baca Juga: Seratusan Perempuan Buruh Tani di Situbondo Jawa Timur Deklarasi Dukung Prabowo-Gibran
Ambyarnya Strategi Politik Belah Bambu.
Bukanlah kebetulan, kalau selama lebih dari 9 tahun sejak awal JKW berkuasa, mereka yang terancam kepentingannya melalui dan atau bersama mitra politiknya, mengembangkan politik “belah bambu” dengan thema “KADRUN vs CEBONG”.
Apapun yang dikerjakan JKW salah dan membahayakan negara. Dari sanalah maka penyebaran hoax, fitnah, adu domba dan ujaran kebencian begitu masifnya.
Di sisi lain, dalam riil politik pasca Pemilu 2019 secara sistematik dimunculkan dua kutub calon presiden yaitu Anies Baswedan (AB) mewakili kubu Islam dan Ganjar Pranowo (GP) dari kubu Nasionalis.
Dalam praktiknya, strategi politik “belah bambu” termaksud kemudian mendadak “AMBYAR” yaitu ketika JKW menjagokan PS dan “gong” nya ketika GRR dipasangkan dengan PS.
Pilihan strategi tersebut sendiri tidak bisa lepas dari perkembang politik di Indonesia pasca bangkrutnya komunisme, di mana upaya destabilisasi politik dan keamanan hanya mungkin berhasil manakala membenturkan antara “Islam” dan “Nasionalis”.
Baca Juga: Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo Mutasi Ratusan Pati dan Pamen, Inilah Nama-nama di Antaranya
Pilihan untuk menjadikan AB sebagai Presiden bagi mereka menjadi sangat mendasar, dalam rangka membesarkan politik aliran atau identitas (Islam).
Karena, mustahil AB sebagai seorang demokrat sejati akan menegasikan hak warga negara, dengan mengisolasi tumbuhnya politik identitas yang berbasis agama sekalipun.
Memang betul dalam negara demokrasi, kehendak untuk mengembangkan politik identitas dengan berbasis agama apapun adalah sah-sah saja, sepanjang dilakukan dengan tidak melanggar hukum.
Tapi bagi yang paham realita tentang apa dan bagaimana sesungguhnya bangunan NKRI, berkembangannya politik identitas apapun terlebih yang berbasis agama (dalam hal ini Islam), sungguh sangat merisaukan dan wajar saja kalau diposisikan sebagai sebagai “ancaman” atau minimal “tantangan” atas keutuhan dan eksistensi NKRI ke depan.
Di sinilah pentingnya bangsa kita terlebih elitnya memahami bahwa konsep “nation state” yang bercirikan negara berdiri di atas sebuah bangsa, bagi NKRI justru terbalik.
Karena saat proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945 sesungguhnya keberadaan bangsa Indonesia belum ada. Saat itu adanya bangsa Jawa, Sunda, Batak, Ambon, Madura, Timor, Aceh, Dayak, Bugis, Papua dan lain-lainnya.
Baca Juga: Ketua Umum PSI Kaesang Pangarep: Saya Yakin Hati dan Jiwa Raga Presiden Jokowi Ada di PSI
Bahkan kalau kita merujuk bahwa pengertian nasionalisme sebagai “ Imagined Community” versi Ben Anderson (2001), sesungguhnya sebagai bangsa Indonesia hingga saat ini pun masih dalam proses (“in the making”).
Sementara rasa kebangsaan kita sendiri, terlebih sejak Orde Baru justru negara ikut merusaknya.
Bagaimana tidak, kalau sebelum NKRI sudah ada Masyarakat Adat seperti Baduy, Samin, Tengger, Dayak, dan lain-lainnya, dalam prakteknya mereka tidak bisa ber KTP kecuali berbohong dalam kolom agama.
Belum lagi soal kawin campur khususnya untuk Wanita yang beragama Islam dengan Pria Non Muslim, negara tidak mau melayani pencatatan perkawinan mereka.
Di negeri ini juga sempat terjadi pendholiman negara terhadap sebagian warga negara namun sah menurut hukum, dengan stigma politik EKKA, EKKI dan EKLA.
Dosa turunan anak keluarga miskin harus miskin juga terus berlanjut. Dan kesemuanya itu baru dicoba untuk diakhiri sejak pemerintahan JKW, melalui sejumlah kebijakan “pro-rakyat”.
Baca Juga: Relawan Prabowo Subianto Solo Raya Migrasi Dukung Anies Baswedan
PS Telah Selesai Dengan Dirinya dan Niscaya Bakal Bikin Sejarah
Kebenaran resep warisan leluhur dalam urusan dapur bahwa untuk “mencuci ikan asin kering hanya akan efektif manakala dengan air garam” telah dibuktikan sendiri oleh JKW.
Dirinya yang bukan bagian masalah masa lalu dan juga bukan konglomerat kroni penguasa terdahulu, ternyata belum berhasil menghentikan praktek Oligarki, Mafia dan KKN di negeri ini.
Baca Juga: Prabowo Subianto: Kami Adalah Jembatan, Lewati Kami Menuju Indonesia Emas 2045!
Contoh tak terbantahkan dalam program penertiban tata kelola Rumuh Susun. JKW lah yang sewaktu sebagai Gubernur DKI Jakarta yang pertama kali memulai penataan pengelolaan sebagaimana ketentuan UU.
Dalam praktiknya sampai hampir selesai 2 kali masa jabatan sebagai presiden, kasus tersebut terus diterlantarkan begitu saja, bahkan tak peduli bahwa kebijakan yang dirintisnya telah membuat sejumlah warga Rusun tak berdosa dikriminalisasi sekalipun, dan yang mengenaskan hingga saat ini belum ada tanda-tanda akan diselesaikannya.
Belenggu realitas berupa aturan main kenegaraan yang amburadul, dan besarnya residu masa lalu termasuk praktek oligarki sebagaimana dijelaskan di atas, serta bobroknya etika moral sebagian besar elit bangsa yang memilih menjadi penyembah berhala (materi, pangkat dan jabatan) mustahil bisa diselesaikan dengan cara-cara biasa dan atau normatif, apalagi model intelektual di perguruan tinggi.
Di situlah kejujuran dan kejelian seorang JKW dalam memilih PS, karena PS yang telah selesai dengan dirinya dan karena “beban” masa lalunya, dengan kesempatan menjadi presiden niscaya sisa hidupnya akan diabdikan untuk “menebus dosa” dengan membikin sejarah Indonesia ke depan yang indah.
Penulis yang kebetulan mengenal PS karena 1 Angkatan di AKABRI, meyakini kalau karakter model PS lah yang cocok untuk menghentikan carut marut bangsa yang sudah terlanjur akut.
Sangat mustahil kalau PS akan membiarkan kebobrokan praktik kekuasaan kenegaraan yang ada, bahkan sebaliknya dengan tegas dan “garang” PS akan mengakhiri semua itu.
Bukanlah hal yang sulit bagi PS untuk menerapkan Hukum Pembuktian Terbalik sekaligus Perampasan Kekayaan Hasil Korupsi. Yang pasti PS dengan akan mengajak bangsa ini melakukan rekonsiliasi nasional guna mengakhiri dendam masa lalu.
Di sisi lain, kehidupannya yang sudah mendunia, niscaya kebijakannya akan selaras dengan tuntutan perubahan peradaban manusia di tingkat global.
Dan karenanya, PS niscaya dengan mudah akan mengajak bangsa ini “hijrah” dari wilayah “Sodom dan Gomora” dengan mengantar bangsa ini membuat UUD yang ber “DNA” Pancasila sekaligus yang sistemik dan konstitutif.
PS tahu persis bahwa sumber masalah yang fundamental sekaligus sebagai belenggu realitas bangsa ada pada hulunya yaitu UUD-1945 yang tanpa kejelasan jenis kelaminnya.
Dan bukankah kalau kita mau jujur, sesungguhnya pendiri republik sendiri belum pernah merumuskan UUD yang sepenuhnya mendasarkan pada nilai-nilai luhur Pancasila secara utuh dan apalagi merujuk pada norma-norma dasar demokrasi yang berlaku secara universal, sistemik dan konstitutif.
Sementara itu kehadiran GRR sebagai Cawapres, disamping menjadi magnit perekat sejumlah Partai untuk bersama Gerindra sebagai pengusung, juga telah mengubah perkubuan partai-partai di negeri ini.
Salah satunya bergabungnya PKB dan PKS dalam 1 kubu sebagai berkah tersendiri bagi bangsa kita, karena perbedaan fundamental dalam berpolitik otomatis menjadi tereliminasi.
Dari umurnya yang masih muda dan pedidikan yang pernah di luar negeri, serta pengalamannya sebagai Walikota, GRR sebagai wakilnya PS yang bervisi global otomatis akan mampu membuat bangsa ini segera siap menyongsong perubahan jaman dengan “silent revolution” akibat loncatan kemajuan Teknologi Informatika.
Dan tanpa kehadiran anak muda yang akbrab dengan IT, bagaimana mungkin ke depan kita bisa mendapat berkah dari perubahan zaman yang terus berproses sebagai sebuah keniscayaan.
Di sinilah pentingnya dalam Pemilu mendatang kita memilih pasangan capres-wapres yang valid akan mampu mengatasi keamburadulan sistem kenegaraan yang ada dan mampu mengubah kendala berupa menjadi peluang untuk menjaga keutuhan NKRI dan keberkahan bersama tanpa kecuali.
*Penulis Mayjen TNI (Purn) Dr. Saurip Kadi, mantan Anggota DPR-RI dan Aster Kasad ABRI, meraih gelar Doktor (Theologi) di IAKN Kupang tahun 2023 ***