DECEMBER 9, 2022
Orbit Indonesia

Kinerja Penurunan Kemiskinan di Jawa Tengah Sebagai Modal Ganjar Pranowo Menjadi Calon Presiden 2024

image
Fadhil Hasan, ekonom.

Baca Juga: Tenaga Ahli Kominfo Walbertus Natalius Wisang Ditangkap Lalu Jadi Tersangka Kasus Korupsi Johnny G Plate

Dengan demikian selama dua periode pemerintahannya 2013—2022, secara rata-rata, GP mampu menurunkan tingkat kemiskinan sebesar 3,63 titik persen atau rata-rata 0,44 titik persen per tahun. Capaian ini masih lebih rendah dari DIY yang menurun 4,09 titik persen dalam periode yang sama.

Penyebab Kemiskinan di Jawa Tengah

Secara umum, terdapat beberapa faktor yang berkelindan dengan masalah kemiskinan, di antaranya adalah sebagai berikut:

  1. Ketimpangan ekonomi. Ketimpangan ekonomi dapat menjadi ganjalan bagi upaya pengentasan kemiskinan; semakin tinggi ketimpangan, semakin lemah kemampuan pertumbuhan ekonomi dalam mengurangi kemiskinan[5]. Dengan distribusi tingkat pendapatan antarmasyarakat yang timpang, pertumbuhan ekonomi hanya disokong dan dinikmati oleh segelintir orang. Dalam hal ini, selama periode pemerintahan GP (2013—2022) ketimpangan di Jateng, ditunjukkan dengan Indeks Gini, mengalami sedikit penurunan. Penurunan ketimpangan di Jateng masih lebih rendah dibandingkan rata-rata nasional, yaitu 0,013 dibandingkan 0,029. Meskipun pada 2019 tingkat ketimpangan Jateng berada pada titik terendahnya, yaitu 0,361, angka ini kemudian beranjak naik seiring dengan terjadinya pandemi Covid-19 hingga mencapai 0,374 pada 2022. Namun, Jateng bukan satu-satunya provinsi di Jawa yang mengalami peningkatan ketimpangan sejak pandemi menyerang. DKI Jakarta mengalami peningkatan ketimpangan paling tajam, yaitu sebesar 0,029. Ketimpangan di Jabar juga meningkat selama pandemi dan lebih besar dibandingkan peningkatan di Jateng, yaitu  0,015 dibandingkan 0,013. Sementara itu, 3 provinsi lainnya (DIY, Jatim, dan Banten) sempat mengalami peningkatan ketimpangan selama 2019—2021 namun berhasil menurunkannya kembali pada 2022. Dengan demikian, secara umum Pemerintah Jateng di bawah komando GP berhasil menjaga kestabilan tingkat ketimpangan di Jateng, meskipun tidak mampu menurunkannya secara signifikan.
  2. Inklusifitas pembangunan. Untuk memastikan pertumbuhan ekonomi dapat dinikmati oleh kelompok rentan di masyarakat, diperlukan pembangunan ekonomi yang inklusif. Dalam hal ini, Indeks Pembangunan Ekonomi Inklusif (IPEI)  dapat menjadi acuan untuk menilai capaian Pemerintah Jateng untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. IPEI terdiri dari 3 pilar, yakni (i) Pilar Pertumbuhan dan Perkembangan Perekonomian, (ii) Pemerataan Pendapatan dan Pengurangan Kemiskinan, dan (iii) Perluasan Akses dan Kesempatan. Selama periode pemerintahan GP, setidaknya sampai sebelum pandemi, capaian IPEI Jateng selalu meningkat dan berada di atas capaian IPEI nasional. Pada konteks pandemi  periode 2019—2021, pola perubahan capaian IPEI di Jateng juga sesuai dengan pola yang terjadi secara nasional.  Jika dibandingkan dengan provinsi lainnya di Jawa, capaian IPEI Jateng masih berada jauh di bawah DKI. Namun, Jateng mulai mengejar ketertinggalan dengan DIY yang tampak dari semakin mengecilnya gap antara kedua provinsi ini. Jika merujuk pada nilai IPEI pada 2021, Jateng dan DIY masuk pada kategori memuaskan, sementara capaian DKI Jakarta tergolong sangat memuaskan. Meskipun bukan menjadi yang terbaik, semakin mengecilnya gap antara DIY dan Jateng menunjukkan upaya keras GP untuk memastikan pembangunan ekonomi di Jateng dapat memberikan kesempatan yang sama kepada semua lapisan masyarakat Jateng.  

Baca Juga: Wow! Venezuela Bekerja Sama dengan China Kirim Astronot Mereka ke Bulan

  1. Ketersediaan lapangan pekerjaan. Keterbatasan lapangan pekerjaan dapat meningkatkan pengangguran dan memperparah kemiskinan. Sampai 2019 sebelum terjadi pandemi Covid-19, hanya terjadi sekali penurunan signifikan pada tingkat pengangguran di Jateng, yaitu pada 2015—2016, dengan penurunan sebesar 1,11 titik persen (4). Di tahun-tahun lain, tingkat pengangguran di Jateng relatif stagnan. Pada awal periode pemerintahan GP, tingkat pengangguran di Jateng selalu di bawah rata-rata nasional. Namun, ketika pandemi Covid-19 mulai melumpuhkan sektor formal di Indonesia pada 2020—2021, tingkat pengangguran Jateng menanjak naik  dan hampir menyamai tingkat pengangguran rata-rata nasional. Meskipun mulai menurun pada 2022, tingkat pengangguran di Jateng masih setinggi tingkat nasional dan tidak kembali pada tingkat awal sebelum pandemi. Dibandingkan lima provinsi lain di Jawa, tingkat pengangguran di Jateng berada di posisi tengah, yaitu masih di atas Jatim dan DIY namun di bawah Jabar, Banten, dan DKI Jakarta. Posisi Jateng yang berada di tengah di antara enam provinsi di Jawa ini dapat mencerminkan secara relatif atas kinerja pemerintahan GP pada aspek ketenagakerjaan masyarakat.
  2. Kualitas Sumber Daya Manusia (SDM). Kualitas SDM dapat menentukan akses masyarakat terhadap lapangan pekerjaan dan meningkatkan penghasilannya sehingga dapat keluar dari kemiskinan. Salah satu indikator dalam menilai kualitas SDM adalah Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Selama periode 2013—2022 masyarakat Jateng mengalami peningkatan IPM, sebagaimana juga dialami oleh masyarakat di lima provinsi lain di Jawa (5). Meskipun masih jauh tertinggal dari DKI Jakarta dan DIY, tingkat IPM Jateng dan tren peningkatannya relatif sama dengan rata-rata nasional dan dengan IPM Jabar. Sementara itu, IPM Banten yang pada awal periode berada di atas Jateng atau IPM Jatim yang berada di bawahnya, sampai pada 2022 ketiga provinsi ini memiliki tingkat IPM yang relatif sama, yaitu dalam kisaran antara 72,8 sampai 73,3.
  3. Ketersediaan dan akses terhadap infrastruktur dasar. Kurangnya ketersediaan infrastruktur yang memadai atau rendahnya akses masyarakat terhadap infrastruktur dasar, seperti jalan, transportasi, air bersih, komunikasi, dan listrik, dapat membatasi peluang masyarakat untuk membangun kualitas SDM dan meningkatkan produktivitas ekonominya. Salah satu infrastruktur bidang komunikasi yang penting bagi masyarakat terutama setelah pandemi Covid-19 adalah internet. Akses masyarakat terhadap internet dapat menjadi strategi masyarakat untuk beradaptasi atas berkurangnya kesempatan kerja akibat pembatasan sosial. Berdasarkan data Survei Sosial-Ekonomi Nasional (Susenas) 2019, sebanyak 47,8 persen masyarakat Jateng sudah mengakses internet. Angka serupa juga ditunjukkan di Jatim, yaitu 47,1 persen. Sementara itu, masyarakat di 4 provinsi lainnya memiliki akses internet yang lebih baik: di Jabar sebesar 53,9 persen, di Banten sebesar 56,3 persen, di DIY sebesar 61,7 persen,  dan yang tertinggi adalah DKI Jakarta, yaitu sebesar 73,5 persen. Seperti juga dialami oleh Jatim dan Jabar, Jateng menghadapi tantangan akan luasnya wilayah dan besarnya jumlah penduduk, sehingga menyulitkannya untuk memperluas akses internet masyarakat.

Terkait dengan berbagai faktor penyebab kemiskinan tersebut, yang perlu disadari adalah kemiskinan merupakan masalah yang bersifat multidimensi, demikian pula dengan faktor penyebabnya. Oleh karena itu, untuk menilai dinamika kemiskinan di suatu wilayah, sangat sulit mengisolasi suatu faktor penyebabnya tanpa mengaitkannya dengan faktor lainnya, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Terkait dengan hal tersebut, faktor penyebab kemiskinan akan menentukan upaya untuk mengatasinya. Di antara upaya tersebut adalah yang terkait dengan dimensi ekonomi, SDM, sosial kemasyarakatan, layanan  dasar, tata kelola penyelenggaraan pemerintahan, dan sumber daya alam.

Program Pengentasan Kemiskinan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah di Jawa Tengah

Pengentasan kemiskinan merupakan salah satu program prioritas Presiden Jokowi. Untuk itu Pemerintah Pusat telah mengalokasikan anggaran cukup besar untuk mencapainya.

Anggaran ini antara lain untuk mengurangi beban pengeluaran penduduk miskin, peningkatan pendapatan melalui pemberdayaan ekonomi, dan penyediaan layanan dasar yang lebih merata.

Halaman:
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13

Berita Terkait