DECEMBER 9, 2022
Orbit Indonesia

Jokowi dan Para Relawannya: Oportunisme vs Radikalisme Kelas Menengah

image
Relawan Budi Arie yang diangkat jadi menteri dan Jokowi.

Oleh: Hanief AdrianPengamat Politik IndeSo (Independent Society), mahasiswa S2 Ilmu Politik FISIP UI.

ORBITINDONESIA.COM - Dalam pelantikan Budi Arie Setiadi sebagai Menteri Kominfo oleh Presiden Jokowi pada 17 Juli 2023, komentar paling menarik menurut penulis berasal dari sosok aktivis senior Hendardi yang dikenal publik sebagai pengacara dan aktivis yang concern dengan isu Hak Asasi Manusia (HAM).

Ketua Setara Institute dan juga pendiri Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) tersebut dengan tajam menyebut bahwa ini adalah reshuffle terburuk di penghujung kekuasaan Jokowi.

Hendardi menyatakan Jokowi justru menunjuk sosok tidak punya kapasitas dan rekam jejak di bidang yang dibutuhkan Kemenkominfo.

Baca Juga: Nong Darol Mahmada: Saya Sudah Ingatkan Ade Armando, Cokro TV Tegak Lurus dengan Jokowi dan Dukung Ganjar

Menurut Hendardi, orang-orang yang ditunjuk Presiden untuk mengisi jabatan menteri dan beberapa wakil menteri di ujung pemerintahan tersebut adalah perpanjangan tangan dari kelompok Jokowi saja (CNNIndonesia.com, 18 Juli 2023).

Memang orang yang ditunjuk menjadi Menkominfo adalah Ketua Umum Relawan Pro Jokowi (Projo), dan Wakil Menkominfo adalah Nezar Patria yang sejak 2014 memang dikenal sebagai salah satu tokoh pemimpin relawan pendukung Jokowi.

Sebenarnya komentar Hendardi agak berlebihan, mengingat bagaimana Jokowi sejak pertama kali berkuasa memang memberikan jatah kekuasaan untuk para relawan, sebuah sebutan untuk para pendukung Jokowi yang bukan berasal dari partai politik dan juga tidak dikenal sebagai tokoh pengusaha atau profesional.

Para tokoh relawan ini umumnya berasal dari kelompok aktivis pro demokrasi dan hak asasi manusia, dan pada awalnya mereka mendapatkan jabatan komisaris BUMN, staf khusus Menteri, dan beberapa di antara mereka terkonsentrasi dalam suatu lembaga bernama Kantor Staf Presiden.

Baca Juga: Prediksi Skor Pekan Ke 7 BRI Liga 1, Persija Jakarta Melawan Borneo FC, Malam Ini Live di Indosiar

Satu dua orang tokoh relawan pendukung Jokowi ini bahkan mendapatkan jatah sebagai Menteri dan pejabat eselon, seperti misalnya Anies Baswedan yang pada 2014 memobilisasi relawan Indonesia Mengajar kemudian mendapatkan jabatan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.

Mantan Ketua Umum Senat Mahasiswa UGM tersebut hanya menjabat kurang dari tahun untuk kemudian digantikan oleh mantan Rektor Universitas Muhammadiyah Malang Prof. Muhadjir Effendy.

Anies kemudian menjadi lawan politik Jokowi dengan mencalonkan diri sebagai Gubernur DKI dalam Pilkada 2017, melawan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang didukung penuh Jokowi serta PDI Perjuangan.

Lucunya, setelah Anies turun dan mencalonkan diri sebagai Presiden untuk Pemilu 2024, Partai Nasdem yang dahulu mendukung Ahok dalam Pilkada sekarang justru mendukung penuh Anies Baswedan.

Baca Juga: Prediksi Skor Pertandingan Barito Putera Melawan Dewa United FC dalam Lanjutan Pekan ke 7 BRI Liga 1

Tokoh relawan lainnya yang mendapatkan posisi mengejutkan adalah Hilmar Farid, mantan Presidium Sekretariat Nasional (Seknas) Jokowi dan dikenal sebagai dosen, sejarawan dan aktivis kerap mendorong pelurusan sejarah 1965 bahwa PKI bukanlah pelaku Gerakan 30 September melainkan korban.

Disebut mengejutkan karena posisi yang diperoleh Hilmar Farid setelah diberi jabatan Komisaris PT Krakatau Steel adalah Dirjen Kebudayaan pada Desember 2015, sebuah jabatan karir bagi pegawai negeri sipil.

Lucunya, Hilmar yang dituduh banyak orang sebagai sejarawan pro komunis justru diangkat menjadi Dirjen oleh Mendikbud Anies Baswedan yang pada hari ini diusung oleh kelompok anti komunis garis keras.

Tuduhan Hendardi semakin tidak relevan jika menelisik kembali bagaimana aktivis-aktivis binaannya satu persatu mendapatkan jatah kekuasaan. Hendardi adalah aktivis senior ITB angkatan 1978 yang dikenal juga sebagai Ketua Komite Pembelaan Mahasiswa (KPM) ITB tahun 1980-1981.

Baca Juga: Tetap Pilih Vonis Mati Ferdy Sambo, Inilah Profil Lengkap Hakim Agung Jupriyadi

Mahasiswa jurusan Teknik Sipil ITB ini banting setir ke dunia hukum karena aktif menyusun pleidoi untuk para aktivis Dewan Mahasiswa ITB yang diadili karena peristiwa Buku Putih Perjuangan Mahasiswa 1978, selain juga kerap berhubungan dengan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) di Bandung.

Hendardi dalam memoarnya (2020) menyatakan bahwa dirinya menggelar pelatihan khusus untuk beberapa aktivis ITB angkatan 1982 seperti Pramono Anung, Ridwan Djamaluddin dan Irfan Setiaputra pada tahun 1984.

Kita tentu saja mengenal tiga nama ini sebagai Sekretaris Kabinet, Dirjen Mineral dan Batubara Kementerian ESDM, serta Direktur Utama PT Garuda Indonesia. Apakah Presiden Jokowi mengangkat ketiga kader Hendardi tersebut berdasarkan kapasitas dan rekam jejak?

Tentu saja tidak, karena kita memahami bahwa kader-kader Hendardi mendapatkan jatah kekuasaan karena mendukung Jokowi. Sama halnya dengan penyebab Budi Arie Setiadi diangkat menjadi menteri di penghujung kekuasaan Jokowi.

Baca Juga: Ini Profil Lengkap Desnayeti, Hakim Agung MA yang Pilih Tetap Vonis Mati Ferdy Sambo

Fenomena Relawan dan Kelas Menengah
Menurut Nur Iman Subono dalam kuliah yang saya ikuti di jurusan Ilmu Politik UI, fenomena relawan Jokowi adalah konsekuensi dari keberadaan kelas menengah Indonesia. Lalu siapakah kelas menengah Indonesia yang dimaksud?

Jika kelas sosial didefinisikan sebagai suatu kelompok sosial yang memiliki kesadaran yang sama, maka konsep kelas menengah adalah sesuatu tidak jelas asal-usulnya.

Marx misalkan mendefinisikan kelas sosial menjadi dua kelompok dengan kesadaran yang bersifat materialistis, yaitu kelas pemilik modal dan kelas pekerja serta tidak ada kelas menengah.

Kelas menengah dalam konteks Indonesia adalah konsep yang membingungkan, karena jika menilik pada sejarah maka kelas menengah lahir sebagai dampak economic boom era Orde Baru.

Orde Baru yang membangun ekonomi kapitalistik dengan perencanaan terpusat, menurut Yuswohady (2012) menghasilkan kelas menengah yang oportunistik, karena memang mereka lahir karena kedekatannya dengan penguasa Orde Baru.

Baca Juga: Mengerikan Dampak Polusi Udara Bisa Tingkatkan Serangan Jantung 4,5 Persen, Simak Penjelasan Menurut Profesor

Taufik (2012) dalam Rising Middle Class in Indonesia membagi fenomena kelas menengah pada era Orde Baru menjadi dua periode. Periode pertama adalah generasi 1980-an yang brengsek namun tidak berdaya karena jumlahnya sangat kecil, umumnya bersikap konservatif dan mendukung kekuasaan.

Sementara generasi 1990-an adalah kelas menengah radikal, memiliki vitalitas dan dinamika dalam ilmu, teknologi dan ekonomi serta berkomitmen pada isu agama dan solidaritas kemanusiaan.

Kita mengenal istilah Yuppies (young urban professional) dari Amerika untuk menyebut kelas menengah era 1980-an yang dikenal sebagai pendukung konservatisme dan pasar bebas era Presiden Reagan.

Sementara kelas menengah 1990-an Amerika dikenal sebagai kaum nihilis, anti kemapanan dan giat melancarkan budaya perlawanan (counter culture). Apapun itu, fenomenan kelas menengah lahir dari kapitalisme abad-20 yang mengutamakan konsumsi massal.

Baca Juga: Prediksi Skor Pertandingan RANS Nusantara FC vs Madura United di Pekan ke 7 BRI Liga 1

Dinamika kelas menengah era Orde Baru ini tentu saja berperan penting dalam melahirkan munculnya relawan-relawan pendukung Jokowi yang menampilkan citra anti partai, anti elit politik, serta anti segala sistem mapan yang mereka cap korup dan tidak lebih dari kelanjutan Orde Baru itu sendiri.

Maka tidak heran jika organisasi relawan pendukung Jokowi dipimpin oleh mereka yang pernah menjadi aktivis mahasiswa pada era Orde Baru pada era 1990-an seperti Budi Arie Setiadi, Hilmar Farid dan Anies Baswedan.

Hendardi dan para kadernya yaitu Pramono Anung cs juga mewakili kelompok aktivis era Orde Baru pada dekade 1980-an, umumnya adalah para alumni ITB yang pernah terlibat aksi 5 Agustus 1989.

Tokoh peristiwa penolakan Menteri Dalam Negeri Rudini dalam acara penyambutan mahasiswa baru ITB angkatan 1989 ini adalah Ammarsjah Purba dan Fadjroel Rachman.

Fadjroel Rachman sudah tentu mendapatkan jabatan Komisaris Utama Adhi Karya, BUMN yang membangun jembatan lengkung LRT di persimpangan jalan Rasuna Said-Gatot Subroto namun salah desain tersebut, kemudian Juru Bicara Presiden dan akhirnya Duta Besar RI untuk Kazakhstan dan Tajikistan pastilah karena politik.

Demikian juga dengan Ammarsjah Purba, Ketua KPM ITB terakhir pada saat Peristiwa 5 Agustus, mendapatkan jabatan Komisaris PT Petrokimia Gresik kemudian menggalang dukungan alumni kampus-kampus ternama untuk Jokowi melalui Komunitas Alumni Perguruan Tinggi (KAPT).

Tanpa perlu meneliti kapasitas dan rekam jejak mereka dalam posisi yang pernah mereka tempati, kita dapat menyimpulkan bahwa Budi Arie, Hilmar Farid, Jokowi, serta Hendardi dan kelompok alumni ITB pelaku peristiwa 5 Agustus mendukung Jokowi karena dianggap antitesa Orde Baru dan sistem politik yang korup.

Antara Oportunisme dan Radikalisme
Jika relawan pendukung Jokowi muncul sebagai kelanjutan dari fenomena kelas menengah Indonesia, tentu saja mereka tidak bisa melepaskan diri dari karakteristik kelas menengah yang menurut para akademisi bagaikan pisau bermata dua.

Di satu sisi, kelas menengah berkarakter oportunis karena mereka lahir dari kekuasaan negara yang kapitalistik, serta bergantung kepadanya untuk kepentingan jangka pendek.

Di sisi lain, kelas menengah Indonesia juga berkarakter radikal karena mereka akan selalu menjadi sumber gagasan pembaharuan sosial politik serta ekonomi, dan memiliki sikap kritis terhadap kelas elit penguasa Indonesia.

Menjelang Pemilu 2024, relawan pendukung Calon Presiden kembali bermunculan bak cendawan di musim hujan. Berdasarkan pola-pola sebelumnya, tentu saja relawan dibentuk aktivis dan bukan bagian dari partai politik. Dan tentu saja, karakter oportunis cum radikal ala kelas menengah akan melekat pada kelompok-kelompok relawan tersebut.

Mengapa demikian? Karena kita bisa menilai sendiri dengan jujur, apa yang dihasilkan para relawan pendukung Jokowi yang mendapatkan jatah kekuasaan.

Apakah ada perubahan radikal yang mereka cita-citakan terwujud dalam dua periode kekuasaan Jokowi, atau para relawan ini hanya memenuhi hasrat oportunisme ala kelas menengah Indonesia.

(source: kompasiana). ***

Berita Terkait