Mengawetkan Agama, Tanggapan Akademisi dan Tokoh pada Pemikiran Denny JA tentang Agama Warisan Kultural
- Penulis : Dimas Anugerah Wicaksono
- Selasa, 09 Mei 2023 07:50 WIB
Bahkan Amerika Serikat—yang telah lama dikutip sebagai bukti bahwa masyarakat yang maju secara ekonomi bisa menjadi sangat religius—kini telah bergabung dengan negara-negara kaya lainnya untuk menjauh dari agama. (Inglehart, “Giving up on God: The Global Decline of Religion,” 2021).
Dan Denny JA menangkap pasang surut agama ini dengan berbagai analisisnya yang juga sangat kaya dan berbasis data akademik, yang oleh Ahmad Gaus disebutnya sebagai “iman berbasis riset.”
Denny berpandangan bahwa agama pun tunduk pada hukum perubahan. Agama-agama akan bertahan kalau mereka mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan.
Begitu juga iman. Ia harus berbasis pada riset, jika hendak bertahan.
Orang beriman saat ini dapat mengecek sistem keimanan mereka dengan temuan-temuan terbaru di dunia ilmu pengetahuan dan teknologi.
Jika sistem keimanan itu masih memadai dan dapat dipertanggungjawabkan secara keilmuan maka ia akan dipertahankan. Tapi jika tidak, maka ia akan ditinggalkan.
Riset-riset mutakhir memang menunjukkan kecenderungan semakin melemahnya peran dan pengaruh agama dalam kehidupan manusia modern.
Menurut Denny, di negara yang indeks kebahagiaannya tinggi (World Happiness Index), umumnya level beragama masyarakatnya rendah.
Negara yang paling mampu membuat warganya bahagia, sebagaimana diukur oleh World Happines Index, populasi di negara itu cenderung menganggap agama tak lagi penting dalam kehidupan mereka (diukur dari religiosity index).
Kabar buruk juga terlihat dari hubungan agama dengan tingkat korupsi. Di negara yang tingkat beragamanya tinggi (Religiosity Index), pemerintahannya cenderung korup.