Mereview Pemikiran Denny JA tentang Agama Menjadi Warisan Kultural Milik Bersama
- Penulis : Dimas Anugerah Wicaksono
- Sabtu, 15 April 2023 08:36 WIB
Selain itu ada juga pendapat dari Henry Steele Olcolt (1832-1907) yang mengungkapkan, “Buddhist is in reconciliation with science. Like science: “That all beings are alike subject to universal law.”
Tentu saja, kita juga tidak menutup mata terhadap kehidupan beragama di kalangan Buddhis yang juga masih jauh dari sikap-sikap saintifik cerminan tahap positivisme.
Kekuatan pemikiran agama Denny JA yang berdasarkan pada riset hasil-hasil ilmu pengetahuan mengingatkan kita pada pemikiran Filsuf Auguste Comte (1798-1857) yang mengemukakan tiga tahap perkembangan akal budi yang bergerak secara evolutif linier.
Berawal dari tahap teologis yang mengandung animisme, dinamisme, politeisme, monoteisme, berlanjut ke tahap metafisis yang bercirikan ideologis dalam konsep abstrak dan mencari hakikat atau esensi sesuatu, ide-ide, serta tahap positivisme di mana gejala dan kejadian diobservasi secara empiris untuk menemukan hukum-hukumnya yang sumbernya diperoleh secara langsung dan dapat dialami setiap orang. (Zainal Abidin, Filsafat Manusia).
Pemikiran agama Denny JA yang menekankan keterbukaan terhadap ilmu pengetahuan, pada iman berbasis hasil riset ilmu pengetahuan mencerminkan pandangan keagamaannya yang terbuka pada kebebasan berpikir dan saintifik.
Hal ini juga ditekankan di dalam Buddhadharma, yakni adanya keterbukaan bagi kebebasan berpikir dan sikap inquiry (inquiry attitude) untuk menemukan hukum kesunyataan.
Keyakinan atau sraddha juga harus dihadapkan kepada sikap kritis dalam menyikapi kebenaran agama. Buddha menekankan bahwa suatu kebenaran itu hendaknya dapat dibuktikan terlebih dahulu, artinya dialami (empiris) dan tidak hanya dipercayai begitu saja.
Ujar Buddha, “Jangan begitu saja mengikuti apa yang telah diperoleh karena berulang kali didengar (anussava), atau yang berdasarkan tradisi (parampara), berdasarkan desas desus (itikara), atau yang ada di kitab suci (pitaka sampadana), yang berdasarkan dugaan (takka hetu), berdasarkan aksioma (naya hetu), yang berdasarkan ke arah dugaan yang telah dipertimbangkan berulang kali (ditthi-nijjah-akkh-anitiya), atau yang kelihatannya berdasarkan kemampuan seseorang (bhabbarupataya), atau yang berdasarkan bhikkhu itu adalah guru kita (samano no guru)” (Kalama Sutta, Anguttara Nikaya).
Kalimat Buddha dalam Kalama Sutta menegaskan jangan percaya begitu saja pada kitab suci memperlihatkan keberadaan kitab suci pun harus terbuka untuk dimaknai dengan kebebasan menyelidiki dan verifikasi sebagaimana dikerjakan sains.
David L McMahan yang menggeluti tentang Buddhisme dan Modernisasi mengungkapkan: