DECEMBER 9, 2022
Orbit Indonesia

Agama Memanusiakan Manusia: Tanggapan terhadap Pemikiran Denny JA tentang Agama Menjadi Warisan Kultural

image
Musdah Mulia

Ke depan, diharapkan semua umat beragama memiliki konsen untuk mendakwahkan tafsir atau pandangan keagamaan yang humanis dan inklusif.

Hal itu, perlu dilakukan, terutama oleh para pemuka agama demi menghindari berbagai konflik yang berisiko memecah umat dan bangsa.

Di antara tafsir inklusif adalah terkait paham keadilan dan kesetaraan gender yang dikembangkan oleh para feminis Islam.

Umumnya, tafsir inklusif tersebut berdasarkan konsep tauhid secara benar sehingga mengantarkan kepada prinsip kesetaraan, keadilan, dan kemerdekaan manusia.

Keyakinan bahwa tidak ada manusia yang setara dengan Tuhan, pada gilirannya melahirkan pandangan kesetaraan manusia sebagai sesama makhluk. Tidak ada manusia yang boleh dipertuhankan dalam arti dijadikan tujuan hidup dan tempat bergantung, ditakuti, disembah, dan seluruh tindakannya dianggap benar tanpa syarat.

Raja bukanlah tuhan bagi rakyat, suami bukanlah tuhan bagi istri, orang kaya bukanlah tuhan bagi orang miskin dan seterusnya. Ketakutan dan ketaatan tanpa syarat kepada raja, pemimpin, atasan atau suami yang melebihi ketaatan dan ketakutan kepada Tuhan merupakan pengingkaran terhadap prinsip tauhid.

Dengan demikian, tauhid tidak sekadar doktrin keagamaan yang statis. Ia adalah energi aktif yang membuat manusia mampu menempatkan Tuhan sebagai Tuhan, dan manusia sebagai manusia. Penjiwaan terhadap makna tauhid tidak saja membawa kepada keselamatan individual, melainkan juga melahirkan tatanan masyarakat yang egalitarian, adil dan berkeadaban.

Penafsiran keagamaan yang sering digugat para pemikir pembaru Islam, bukan saja diskriminatif terhadap perempuan, melainkan juga mengabaikan perasaan dan pengalaman perempuan, padahal pengalaman perempuan penting menjadi pertimbangan dalam penyusunan suatu tafsir.

Para perempuan merasa direndahkan karena pengalaman dan pengetahuan mereka diabaikan dalam refleksi teologis. Bentuk lain peminggiran pengalaman perempuan dalam penafsiran teologi, dilakukan dengan cara melarang perempuan aktif mempelajari dan mengajarkan tradisi teologis.

Sikap kritis terhadap tradisi dalam konteks pengalaman perempuan sangat penting, bukan sekadar menambahkan suatu sudut pandang baru kepada bangunan yang ada.

Halaman:
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

Berita Terkait