DECEMBER 9, 2022
Orbit Indonesia

Ancam Kebebasan Pers, AJI Indonesia Desak Permenkominfo PSE Lingkup Privat Dicabut

image
Ancam Kebebasan Pers, AJI Indonesia Desak Permenkominfo PSE Lingkup Privat Dicabut.

ORBITINDONESIA - Sanksi blokir yang diberlakukan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) kepada Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) Lingkup Privat yang tidak mendaftar, menimbulkan polemik.

AJI Indonesia mendesak Kemenkominfo membatalkan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika (Permenkominfo) 5/2020 tentang PSE Lingkup Privat.

AJI menilai aturan yang menyasar PSE tersebut menjadi ancaman baru bagi kebebasan pers dan kebebasan berekspresi di Indonesia.

Sejak regulasi tersebut terbit pada 2020, Koalisi Advokasi Permenkominfo 5/2020 telah meminta agar Kominfo membatalkan aturan tersebut. Pada 21 Mei 2021 misalnya, 25 organisasi masyarakat sipil dari sejumlah negara, termasuk Indonesia, mengirim surat terbuka agar Menteri Komunikasi dan Informatika Johny G. Plate mencabut beleid itu.

Baca Juga: Dinilai Cacat Hukum, Tiga Ketua Dewan Kadin Sumatra Barat Tolak Hadiri Musyawarah di Bukittinggi

“Tapi ternyata Kominfo tidak mau mendengarkan aspirasi publik. Padahal Permenkominfo 5/2020 akan berdampak luas pada publik, termasuk komunitas pers,” kata Ketua Umum AJI Indonesia, Sasmito, Kamis, 21 Juli 2022.

Sebelumnya, Kominfo memberi batas waktu pada seluruh PSE agar mendaftar paling lambat 20 Juli 2022. Jika tidak, Kominfo mengancam akan memberikan sanksi administratif hingga pemutusan akses atau pemblokiran terhadap platform maupun situs.

Menurut Sasmito, Ketentuan PSE tersebut tidak hanya untuk platform media sosial besar seperti Google, Meta Group, Tiktok, tapi juga berlaku untuk situs-situs berita.

Baca Juga: Motor dan Mobil Dilarang Masuk ke Area Stadion Sewaktu PSIS Semarang Melawan RANS Nusantara FC

AJI menilai beleid tersebut tidak hanya persoalan administratif semata, melainkan sebagai upaya agar PSE tunduk pada ketentuan Permenkominfo 5/2020.

“Penundukan ini artinya memberikan pintu bagi Kominfo dan institusi pemerintah lainnya untuk mengawasi dan menyensor,” kata Sasmito.

Dia menuturkan, AJI Indonesia mengidentifikasi empat pasal krusial di dalam Permenkominfo 5/2020 yang berisiko mengancam kebebasan pers secara langsung di Indonesia.

Pertama, Pasal 9 ayat (3) dan (4) yang memuat ketentuan PSE swasta tidak memuat informasi yang dilarang.

Baca Juga: Bergabung ke Bayern Munchen, Matthijs De Ligt Bersuka Ria Bersama Pacarnya yang Kece

Kriteria informasi dilarang tersebut meliputi yang melanggar undang-undang, meresahkan masyarakat, dan mengganggu ketertiban umum.

Kriteria “meresahkan masyarakat” dan “mengganggu ketertiban umum” tersebut, lanjutnya, cukup lentur atau karet karena membuka ruang perdebatan, terlebih lagi jika menyangkut konten yang mengkritik lembaga negara atau penegak hukum.

"Apalagi di dalam Permenkominfo tersebut tidak diatur klausul yang ketat mengenai standar, tidak melibatkan pihak independen yang berwenang untuk menilai konten, dan tidak memuat klausul soal mekanisme keberatan dari publik," ujarnya.

Baca Juga: Ketahui Tanda-Tanda Ini agar Kamu Sadar jika Masih Terjebak Masa Lalu dan Tidak Bisa Bergerak Maju

Dampaknya, sambung Sasmito, bisa jadi berita dan konten yang mengungkap soal isu pelanggaran HAM seperti di Papua, pada kelompok LGBTQ atau liputan investigasi yang membongkar kejahatan, bisa dianggap meresahkan, mengganggu, atau dinilai hoaks oleh pihak-pihak tertentu, bahkan oleh pemerintah dan lembaga penegak hukum.

"Pengaturan yang karet/lentur dalam Permenkominfo 5/2020 justru menjadi pintu masuk penyalahgunaan kekuasaan atau kesewenang-wenangan," tuturnya.

Kedua, Pasal 14 mengatur permohonan pemutusan akses atau blokir terhadap informasi yang meresahkan atau mengganggu ketertiban umum bisa dilakukan oleh masyarakat, kementerian/lembaga, aparat penegak hukum dan lembaga peradilan.

Baca Juga: Kim Garam Dipecat dari LE SSERAFIM, Buntut Kasus Perundungan Semasa Sekolah

Dia menjelaskan, ketentuan ini berisiko membuka pintu bagi siapa saja, termasuk mereka yang memiliki agenda politik, dapat mengajukan blokir terhadap konten/berita yang sebenarnya memuat kepentingan publik, tapi dinilai sepihak meresahkan publik atau mengganggu ketertiban umum.

Ketiga, Pasal 21 dan Pasal 36 memuat ketentuan PSE wajib memberikan akses sistem elektronik dan data elektronik ke kementerian/lembaga untuk pengawasan dan ke APH untuk penegakan hukum. .

AJI menilai ketentuan ini berisiko menjadi pintu bagi pemerintah untuk mengawasi kerja media.

Baca Juga: Kandung Etilen Oksida Berlebih, BPOM Tarik Es Krim Haagen Dazs Rasa Vanila dari Pasaran

"Pemerintah dan aparat dengan mudah bisa mengakses data pribadi dan membuka ruang pelanggaran hak privasi, termasuk pada jurnalis-jurnalis yang menjadi target," ujarnya.

Ketua Bidang Internet AJI Indonesia, Adi Marsiela mendesak agar Dewan Pers menolak beleid ini karena meningkatkan risiko serius pada jurnalis dan media.

“Dewan Pers harus ikut turun tangan meminta Kominfo membatalkan Permenkominfo 5/2020,” kata dia.

Baca Juga: Shandy Purnamasari Umumkan Perpisahan dengan Juragan 99: Ini adalah Keputusan Sudah Lama

Selain itu, Adi mengimbau jurnalis mulai meningkatan kesadaran terkait privasi dan keamanan digital.

Salah satunya dengan mempelajari kerentanan penggunaan platform atau aplikasi sejak awal.

Karena sebelum Permenkominfo 5/2020 berlaku, kerentanan dan risiko itu sudah ada.

"Risiko tersebut semakin besar saat ini, karena Permenkominfo tersebut mewajibkan seluruh PSE memberikan akses ke lembaga dan kementerian untuk pengawasan," imbuhnya.***

Berita Terkait