Satrio Damarjati: Krisis Imperialisme
- Penulis : Dimas Anugerah Wicaksono
- Kamis, 25 Agustus 2022 08:03 WIB
ORBITINDONESIA - Selamat pagi untuk semuanya. Seburuk apapun mimpi semalam, kita harus tetap menyukurinya karena hari ini masih bisa menikmati cerahnya cahaya matahari. Beberapa orang ada yang kebablasan tidak bisa bangun lagi.
Menteri Luar Negeri Rusia menyatakan bahwa tidak akan ada rasa belas kasihan kepada pelaku dan pihak-pihak yang terlibat dalam pembunuhan seorang intelektual dan sekaligus jurnalis Rusia.
Jurnalis perempuan berusia sekitar 30-an yang tewas akibat mobil yang dikendarainya meledak beberapa hari lalu di kota Moskow tersebut bernama Daria Dugin.
Baca Juga: Cara Membuat Pacar Makin Sayang dan Takut Kehilangan Pasangan Sewaktu LDR
Mobilnya meledak setelah dipasang bom oleh agen rahasia Ukraina sebagaimana laporan hasil investigasi pihak Biro Keamanan Federal (FSB) Rusia.
Masih menurut FSB bahwa pelaku pemasang bom berjenis kelamin perempuan bernama Natalia Vosk Shaban yang merupakan anggota pasukan khusus Ukraina (Batalyon AZOV). Kini, perempuan tersebut berada di negara Estonia.
Bagi Natalia hanya ada dua pilihan, yakni menyerahkan diri dengan begitu dirinya masih hidup, atau dirinya akan hilang tanpa jejak sebagai bagian dari operasi Dinas Rahasia Rusia.
Nah, korbannya perempuan. Dan pelakunya juga perempuan. Artinya, anggapan dalam masyarakat patriakhi bahwa perempuan itu lemah lembut tidaklah benar. Perempuan juga bisa berperilaku sadis bahkan melebihi laki-laki.
Baca Juga: Perjalanan Ruh: Mengungkap Riwayat Pilihan tentang Mati, Kematian, Alam Kubur dan Akhirat
Kemarin, pemerintah Amerika Serikat melalui kedutaannya di Ukraina menyerukan kepada warga negara Amerika Serikat untuk secepat mungkin meninggalkan Ukraina. Menurut mereka bahwa pihak Rusia dalam beberapa hari mendatang akan melancarkan serangan besar-besaran ke Ukraina.
Amerika Serikat, memang harus melarikan diri dari Ukraina. Terakhir melarikan diri dilakukan pada tahun 2021 dari Afghanistan. Tentu, setelah sebelumnya melarikan diri dari Vietnam.
Amerika Serikat melalui sang presidennya, Joe Biden menyatakan bahwa Republik Rakyat Kongo (Afrika) TIDAK BERHAK melakukan hubungan kerjasama dengan Rusia. Kongo hanya berhak berhubungan dengan negara Amerika Serikat beserta pengikutnya.
Sungguh pernyataan yang tidak aneh lagi. Bukan rahasia umum. Dunia tahu bagaimana Amerika Serikat menancapkan pengaruhnya. Tidak melalui hubungan kerjasama yang saling menguntungkan melainkan menghisap dan menindas.
Baca Juga: Satupena Akan Diskusikan Kasus Salman Rushdie dan Polemik Kebebasan Berekspresi
Amerika Serikat adalah salah satu contoh NEGARA MODERN yang didirikan oleh Kaum Kolonialis dimana mereka datang dari Eropa dan tidak mau pulang lagi.
Contoh lain juga masih ada seperti Australia, Kanada dan Selandia Baru. Orang Rusia biasa menyebut mereka sebagai "KUMPULAN BAJAK LAUT".
Yang menarik adalah peristiwa yang terjadi dalam seminggu ini. Terjadi di negara Mali (Afrika) dimana Perancis secara resmi diusir dan dipaksa untuk keluar dari negara tersebut setelah menduduki Mali selama lebih dari 9 tahun.
Perancis diusir karena dinilai menjadi sponsor utama bagi tumbuh suburnya gerakan Islam Jihad di Mali. Sebagai penggantinya, pemerintahan Mali memanggil militer Rusia. Nasib serupa tidak hanya dialami oleh Perancis, tetapi juga Inggris dan Jerman.
Baca Juga: Faktor Penyebab dan Solusi Impotensi: Jangan Sungkan dan Malu Membaca Artikel Ini
Dalam peta GEOPOLITIK Internasional, benua Afrika menjadi rebutan. Setelah pihak Rusia dan China melakukan gerilya diplomatik ke beberapa negara di Afrika, seakan-akan tidak mau ketinggalan, maka Amerika Serikat, Perancis dan negara-negara Eropa lainnya juga melakukan hal yang serupa.
Kemarin, sebuah pesawat tak berawak (drone) milik Amerika Serikat ditembak jatuh di Libya (Afrika) oleh pasukan Libya yang dilatih oleh Rusia karena diduga melakukan aksi mata-mata.
Dan, dalam minggu ini tidak ada satupun media yang memberitakan mengenai INVASI militer Perancis di Yaman (Timur Tengah) dan juga invasi militer Amerika Serikat di Somalia (Afrika). Wajar. Media-media massa besar adalah milik mereka.
Kembali ke Ukraina, Presiden Zelensky menyatakan bahwa selama berlangsungnya operasi militer Rusia korban tewas pihak militer Ukraina mencapai 9.000 jiwa. Menanggapi pernyataan tersebut banyak ahli politik internasional yang tertawa.
Bagi para pengamat politik setiap menanggapi pernyataan Zelensky terkait dengan angka harus selalu dikalikan dengan angka 10.
Artinya, korban tewas yang pasti pihak militer Ukraina sudah lebih 100.000 jiwa. Para pengamat menggunakan data-data lapangan yang selalu di-update oleh pihak Rusia dan Inggris.
Sampai kapan perang di Ukraina berlangsung? Saya tidak tahu. Yang jelas sudah lebih dari 6 bulan. Yang jelas hingga hari ini, hampir sepertiga wilayah Ukraina telah dikuasai oleh Rusia.
Apapun hasil akhirnya, wilayah-wilayah yang dikuasai tidak akan dikembalikan lagi ke Ukraina. Sebagian bisa bergabung dengan Rusia dan sebagian lagi bisa berdiri sendiri menjadi negara-negara yang merdeka.
Baca Juga: PSM Makassar Takluk 5-2 Atas Kuala Lumpur City FC di Final Zona ASEAN AFC Cup 2022
Fakta sejarah berbicara, bahwa ketika negara-negara Eropa Barat (pada umumnya seluruh Eropa) terlibat konflik dengan Rusia selalu berakhir buruk bagi dirinya sendiri. Saat ini, Eropa sedang menjelang musim gugur dan tak lama lagi musim dingin (salju).
Masyarakat di Eropa akan menghadapi DINGINNYA alam sementara negara mereka tidak mampu menyediakan gas pemanas ruangan akibat sanksi ekonomi yang mereka lakukan terhadap Rusia.
Belum lagi ditambah dengan pemadaman listrik yang mulai sering terjadi, kenaikan harga kebutuhan pokok dan juga inflasi. Orang-orang Eropa harus mulai berpikir bahwa MUSUH mereka bukanlah Rusia melainkan elit politik, elit ekonomi dan pemerintahnya sendiri.
Bagaimana dengan Amerika Serikat sendiri?
Baca Juga: Rayhan Utina Dipanggil Shin Tae-Yong, Firman Utina: Berjuang Boy
Apa yang sedang terjadi di Amerika Serikat saat ini bukanlah karena presiden mereka yang sudah pikun. Apa yang terjadi saat ini merupakan KONTRADIKSI INTERNAL yang terjadi antara elit-elit ekonomi dan politiknya.
Bulan November mendatang, Amerika Serikat akan menggelar pemilihan umum awal. Menurut survei yang ada, berpeluang besar partai politik yang dipimpin oleh Donald Trump (Republik) akan keluar sebagai pemenang.
Sedangkan pihak Joe Biden (Demokrat) harus menerima takdir kekalahan. Meskipun begitu, siapapun yang menang maka tidak akan berdampak positif pada kehidupan global. Republik dan Demokrat adalah 11-12.
Di sisi lain, kawasan Amerika Latin, untuk pertama kalinya Kolombia dipimpin seorang presiden dari KIRI. Gebrakan awal yang dilakukan adalah kembali membuka hubungan diplomatik antara Kolombia dengan Venezuela.
Baca Juga: Hasil Liga 1: Persija Jakarta Kalahkan Persita Tangerang Lewat Gol Semata Wayang Yusuf Helal
Selama ini, kedua negara menutup masing-masing kantor kedutaan besarnya. Selain itu, Presiden Petro Gustavo ini juga melakukan perombakan besar-besaran pada jajaran kepemimpinan militer.
Kedua langkah tersebut, pasti membuat Amerika Serikat marah mengingat pemutusan hubungan diplomatik antara Kolombia dengan Venezuela merupakan program dan proyek Amerika Serikat.
Juga, restrukturisasi di tubuh militer Kolombia berkonsekuensi pada tersingkirnya pimpinan-pimpinan militer yang selama ini loyal pada Amerika Serikat.
Dari Asia, adik kandung Presiden Korea Utara, yakni Kim Yo-Jong menyatakan bahwa tidak ada yang bisa menggantikan program nuklirnya dengan KUE JAGUNG.
Baca Juga: Akui Motif Pembunuhan Brigadir J Belum Utuh, Kapolri Masih Ingin Periksa Putri Candrawathi
Pernyataan ini dia keluarkan beberapa waktu lalu saat menanggapi keinginan Presiden Korea Selatan yang intinya meminta pihak Korea Utara untuk menghentikan program nuklirnya dan sebagai imbalannya maka pihak Korea Selatan siap membantu Korea Utara melakukan pembangunan ekonomi.
Nah, pada akhirnya, Taiwan akan menjadi milik Cina. Di Asia, Amerika Serikat tidak memiliki sekutu yang setia dan kuat sebagaimana di Eropa.
Satu-satunya sekutunya hanyalah Australia. Meskipun begitu, (tidak bermaksud rasis) bahwa Australia adalah setitik kulit putih di tengah lautan kulit berwarna (hitam, coklat dan kuning).
*Satrio Damarjati, alumnus Udayana. ***