DECEMBER 9, 2022
Orbit Indonesia

Supriyanto Martosuwito: Orde Baru Membantai Muslim

image
Ilustrasi rezim Orde Baru di bawah Jenderal Soeharto.

ORBITINDONESIA.COM - Anak anak generasi milenial banyak yang tak paham bahwa rezim militer Orde Baru yang dipimpin Jenderal Soeharto juga berlumuran darah umat muslim, para ustadz dan ulama.

Anak anak di bawah 40 tahun, geng ustadz kadrun 212 - yang mondar mandir sowan ke keluarga Cendana kini  tidak tahu - atau  pura pura tidak tahu  -  lembaran hitam  kasus kasus banjir darah di Tanjung Priok, Jakarta Utara (1984) dengan korban ratusan tewas diberondong peluru tentara. 

Serta kerusuhan rasial di Tasikmalaya dan pembunuhan para ulama di Banyuwangi oleh pasukan "Ninja" di  kawasan tapal kuda Jawa Timur (1996 - 1998).

Baca Juga: Kronologi Ibu Kubur Anak Hasil Perselingkuhan di Jember, Takut Ketahuan Suami

Ribuan warga juga tewas dan teraniaya  semasa Orde Baru menerapan DOM - Daerah Operasi Militer - di Nanggroe Aceh Darusslam (NAD)  yang notabene warganya mayoritas muslim dan dijuluki Serambi Mekah.

Desa desa yang dicurigai menyembunyikan anggota GAM dibakar dan anggota keluarga tersangka militan diculik dan disiksa. Diperkirakan lebih dari 300 wanita dan anak di bawah umur mengalami perkosaan  dan antara 9.000-12.000 orang -  sebagian besar warga sipil tewas -  antara tahun 1989 dan 1998 dalam operasi TNI tersebut.

Operasi ini berakhir dengan penarikan hampir seluruh personel TNI yang terlibat atas perintah Presiden BJ Habibie pada 22 Agustus 1998 setelah berhentinya Soeharto dan berakhirnya era Orde Baru.

12 SEPTEMBER 1984.

Dalam kasus Tanjung Priok, 12 September 1984,  menurut catatan resmi "hanya" 24 korban tewas dan 54 terluka (termasuk militer). Akan tetapi dari cerita korban yang selamat melaporkan lebih dari seratus orang tewas.

Baca Juga: Diduga Ada Kampanye Terselubung Lewat Program Jember Berbagi, Bupati Hendy Siswanto Diperiksa Bawaslu

Masyarakat Tanjung Priok memperkirakan total 400 orang terbunuh atau hilang, sedangkan laporan lainnya memperkirakan hingga 700 korban.

Korban yang tewas diangkut truk dan  dikuburkan secara massal di Pondok Rangon - Jakarta Timur, dan kuburan itu masih ada samlai sekarang.

Februari 1989,  terjadi penyerbuan tentara ke kelompok Islam Radikal Warsidi di Lampung. Menurut data Komite Solidaritas Mahasiswa Lampung (Smalam), tim investigasi dan advokasi korban peristiwa Talangsari, setidaknya 246 penduduk sipil tewas dalam bentrokan tersebut.

Menurut buku "Talangsari 1989, Kesaksian Korban Pelanggaran HAM Lampung", korban berjumlah 300 orang. Ratusan anak buah dan pengikut Warsidi ditangkap.

Baca Juga: Karto Bugel: Jika Anies Bilang Belok Kiri, Berarti yang Benar Adalah Belok Kanan

Komnas HAM mencatat tragedi Talangsari menelan 130 orang terbunuh, 77 orang dipindahkan secara paksa, 53 orang dirampas haknya sewenang-wenang, dan 46 orang lainnya disiksa.

Tahun 1996 ketika Abdurrahman Wahid baru dinobatkan memegang tampuk pimpinan NU,  kepengurusannya tidak diakui pemerintah Orde Baru. Maka untuk mengacaukan kepemimpinan Gus Dur, rezim Orba menciptakan konflik dengan mendorong berdirinya NU tandingan yang dipimpin Abu Hasan.

Masa itu NU berhadapan dengan penguasa. Saat itu,  NU dipandang sebagai bagian dari “Islam ekstrim”, dan karena itu perlu dikikis.

Para ulama NU dituduh memfitnah satu persatu diperiksa aparat, diintimidasi, untuk meruntuhkan mental mereka.

Baca Juga: Elon Musk: Saya Sudah Temukan Seorang Wanita untuk Memimpin Twitter Sebagai CEO Baru

Ketika cara halus tidak bisa dipakai, maka cara yang lebih keras dilakukan, yaitu dengan melakukan tindakan militer.

Basis NU di daerah tapal kuda khususnya Banyuwangi mulai dijadikan target operasi. Kerusuhan massa pun dikobarkan.

Pada10 Oktober 1996, terjadi kerusuhan anti-Kristen dan anti-orang keturunan Tionghoa di Kabupaten Situbondo, Jawa Timur. Massa mengamuk,  sebanyak  56 gedung terbakar (24 di antaranya gereja) dan beberapa korban meninggal.

Sementara di Tasikmalaya Jawa Barat, kerusuhan meletus pada 26 Desember, yang berawal dari aksi pemukulan polisi terhadap KH. Mahmud Farid. Dari kerusuhan ini, tercatat 70 bangunan rusak serta 107 kendaraan terbakar dan empat korban meninggal dunia.

Baca Juga: Gay dan Pria Biseksual Dalam Hubungan Monogami Boleh Mendonorkan Darah di AS

Baik di Situbondo maupun di Tasikmalaya, kaum minoritas Tionghoa menjadi korbannya baik jiwa maupun harta benda. Dan semuanya untuk menyudutkan NU dan Gus Dur.

Munculnya "ninja-ninja" yang membantai guru ngaji, merupakan peristiwa kelam yang dikenang oleh sebagian besar warga nahdliyyin.

Tragedi pembantaian Banyuwangi pada 1998, menelan korban dengan catatan beragam versi. Ada perbedaan jumlah korban antara versi Pemkab Banyuwangi dan versi Tim Pencari Fakta (TPF).

Pemkab Banyuwangi (masa itu) merilis ada 115 korban jiwa yang tersebar di 20 kecamatan. Adapun versi TPF Nahdlatul Ulama ada korban meninggal dunia lebih banyak, yakni 147 jiwa.

Baca Juga: Top 10 Penulis Terkaya dan Jurang Digital

Menurut Gus Dur, operasi-operasi yang dilancarkan guna menyulut kerusuhan-kerusuhan itu dinamakan “Operasi Naga Hijau”.

Dalam konteks percaturan politik Indonesia, “hijau” bisa bermakna dua: ABRI (TNI) dan Islam. Bahkan dalam konteks “Operasi Naga Hijau”, istilah itu mungkin juga menunjuk pandangan pihak militer terhadap apa yang mereka anggap sebagai golongan ekstrem Islam (hijau).

23 Juli 1999. Di Beutong Ateuh, terjadi salah satu peristiwa paling mengerikan dan juga merupakan satu dari sekian banyak pembantaian selama operasi militer yang dilaksanakan di Aceh, yakni Peristiwa Beutong Ateuh atau juga dikenal sebagai Peristiwa Tengku Bantaqiah.

Tengku Bantaqiah adalah seorang alim ulama yang memimpin sebuah pesantren yang terletak di Beutong Ateuh bernama Pesantren "Babul Al Nurillah" yang dituduh oleh TNI sebagai tempat penyembunyian alat logistik GAM.

Baca Juga: Survei Indikator Politik: PDI Perjuangan Masih Raja di DKI Jakarta, Elektabilitasnya 23,9 Persen

Tuduhan ini tidak pernah terbukti, namun ekses dari tuduhan tersebut adalah pembantaian terhadap warga sipil yang merupakan jamaah pesantren dan juga Tengku Bantaqiah sendiri.

Ini dilakukan oleh personel TNI yang berada di bawah kendali operasi (BKO) Korem 011/Liliwangsa yang terdiri dari pasukan Yonif 131 dan 133 dengan didukung satu pleton pasukan dari Batalyon 328 Kostrad.

Dalam peristiwa tersebut tercatat 56 orang tewas dan hilang ditembaki tentara.  Selain itu, ratusan orang trauma atas perisitwa tersebut.

Bahkan setelah Suharto jatuh,  kerusuhan merebak di berbagai daerah setiap kali Suharto hendak  dipriksa atau diadili dan didemo mahasiswa atau rakyat.

Baca Juga: Lepas dari PSS Sleman Seto Nurdiyantoro Maju Jadi Caleg DPR RI

Di Ambon keributan antar preman dan sopir angkot merembet ke kerusuhan SARA dan menjadi perang antar agama yaitu Islam Kristen. Ulah provokator dari Jakarta dan pengerahan laskar jihad makin mengeruhkan suasana. Ribuan orang tewas dari dua kubu.

JELANG akhir kekuasaannya Suharto mendekati umat Islam. Bukan karena dia insyaf,  melainkan karena dia kehilangan dukungan dari ABRI terkait bisnis anak-anaknya yang makin merajalela.

Suharto mendirikan ICMI dan pergi haji bersama Ibu Tien. Dia memberhentikan LB Benny Moerdani yang Katolik dan mengangkat Feisal Tanjung yang diberi predikat jendral Islami.  Lalu wacana "ABRI Merah Putih" dan "ABRI Hijau"  marak. Dipertentangkan.

Baca Juga: Jadi 3 Parpol Terkuat di DKI Jakarta, Inilah Kantung Suara PDI Perjuangan, Gerindra, dan PKS

Modus Soeharto dan Keluarga Cendana tak berubah -  dari dulu hingga kini - yakni mengadu domba demi melanggengkan kekuasaannya.

Selain mengadu domba  pribumi dengan non pribumi khususnya Tionghoa - mengadu domba sesama ABRI -  juga sesama muslim.

Kini pun anak anak Cendana melakukan modus yang sama dengan merekrut muslim radikal 212 untuk melawan muslim NU dan warga nasionalis moderat.

(Oleh: Supriyanto Martosuwito) ***

Berita Terkait