DECEMBER 9, 2022
Orbit Indonesia

Romo Franz Magnis Suseno Beri Analogi Posisi Bharada E saat Mendapat Perintah Ferdy Sambo

image
Romo Franz Magnis Suseno Beri Analogi Posisi Bharada E saat Mendapat Perintah Ferdy Sambo/Dok PMJnews

ORBITINDONESIA- Ahli filsafat moral, Romo Franz Magnis Suseno memberi beberapa poin analogi posisi Bharada E saat mendapat perintah dari Ferdy Sambo.

Dalam posisi Bharada E, yang terjebak dalam budaya tak bisa menolak perintah atasan, akhirnya menyanggupi mengeksekusi Brigadir J.

Romo Magnis Suseno, menyampaikan analogi posisi Bharada E dalam persidangan dengan terdakwa Bharada E di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan hari ini Senin 26 Desember 2022.

Baca Juga: Profil Singkat Orang Terkaya Baru di Indonesia, Low Tuck Kwong, Hartanya Mengejutkan Capai Rp 393,12 triliun

Romo Magnis menyebut keputusan suara hati yang singkat serta budaya ‘laksanakan’ mempengaruhi Richard saat menerima perintah menembak Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J.

Romo Magnis awalnya mengumpamakan ketika berada di sebuah tempat restoran dan melihat seseorang yang pergi.

Saat itu melihat dompet yang tertinggal dan muncul suara hati yang berlawanan.

Baca Juga: Aktris Bollywood Tunisha Sharma Bunuh Diri, Polisi Tangkap Sang Kekasih

“Nah dalam situasi konkrit, misalnya saya di restoran dan ada orang lain duduk lalu dia pergi, saya melihat ketinggalan dompetnya. Di situ suara hati akan mengatakan apa," katanya.

"‘puji Tuhan saya dapat duit’, atau dia merasa ‘wah ini bukan hak saya, mungkin saya masih bisa mengejar’, suara hati,” ujar Magnis.

Magnis kemudian mengalihkan topik ke peristiwa penembakan di mana saat itu sang penerima perintah menembak tidak memiliki waktu untuk mempertimbangkan perintah dari atasannya, serta budaya ‘laksanakan’ yang membuatnya sulit menolak perintah.

Baca Juga: Permainan Latto Ternyata Sudah Populer Bagi Generasi 90an, Kini Kembali Ramai, Anak Sekarang Lebih Jago

“Orang normal tahu membunuh orang lain tidak dapat dibenarkan. Itu di satu pihak. Di lain pihak, dia berhadapan dengan perintah tegas dalam budaya laksanakan." katanya.

"Maka suara hati itu, dan dia tidak punya waktu untuk duduk, apalagi untuk berunding dengan orang lain bagaimana sebaiknya di situ, (dia) tidak (mempunyai waktu),” papar Magnis.

“Tiga puluh detik, 1 menit, diputuskan langsung. Akibatnya mungkin mengancam dia juga. Di situ suara hati sering akan bingung. Bisa juga dia bertindak menurut suatu naluri. Misalnya naluri laksanakan perintah, itu ditanamkan di dalam dia tentu saja,” ujarnya.***

Berita Terkait