DECEMBER 9, 2022
Buku

Buku "Seni Memahami" Karya Budi Hardiman: Menemukan Keheningan dalam Bisingnya Dunia

image

ORBITINDONESIA.COM - Bayangkan seseorang mencoba berbicara di tengah pasar yang ramai, suara-suara saling bertabrakan, dan tak ada yang benar-benar mendengarkan.

Mungkin begitulah kondisi kita hari ini—terhubung dengan banyak orang, tapi kehilangan kemampuan dasar untuk benar-benar memahami satu sama lain.

Di sinilah Seni Memahami karya Budi Hardiman mengambil peran penting: sebagai penuntun untuk menemukan kembali keheningan dalam dialog, dan mendalami makna dalam setiap perjumpaan antarmanusia.

Baca Juga: Denny JA Donasi Buku untuk Sekolah dan Rumah Baca Sumatra Barat

Bukan sekadar buku filsafat yang memaparkan teori hermeneutika, Seni Memahami adalah refleksi hidup tentang bagaimana kita membaca dunia dan orang lain secara lebih utuh.

Budi Hardiman mengajak pembaca menelusuri pemikiran tokoh-tokoh besar seperti Gadamer, Heidegger, hingga Paul Ricoeur, tetapi ia tidak mengajak kita tenggelam dalam abstraksi.

Sebaliknya, ia menyusun pemikiran mereka untuk menjawab pertanyaan sederhana namun penting: bagaimana cara manusia memahami manusia lain—dan mengapa itu penting?

Baca Juga: Buku “My Soul is a Woman” Karya Annemarie Schimmel: Feminitas dalam Jiwa Sufistik

Salah satu kekuatan buku ini terletak pada gagasan tentang “perjumpaan horizon”, sebuah istilah dari Gadamer yang dijelaskan Hardiman secara jenial.

Setiap orang hidup dalam cakrawala pemahamannya sendiri, dibentuk oleh pengalaman, bahasa, dan nilai-nilai.

Maka saat dua orang bertemu, mereka tak sekadar bertukar pendapat, tapi juga berusaha mempertemukan dua dunia batin yang berbeda.

Baca Juga: Resensi Buku Harus Bisa!: Membaca SBY, Mengupas Kekuasaan dengan Senyum dan Strategi

Dalam proses inilah, memahami menjadi sebuah seni—bukan ilmu pasti—karena membutuhkan kepekaan, kesabaran, dan kerendahan hati.

Lebih dari sekadar pemahaman terhadap teks, buku ini memperluas cakupan hermeneutika ke ranah sosial dan politik.

Hardiman menekankan bahwa memahami juga berarti memberi tempat bagi yang lain untuk menjadi dirinya sendiri.

Ia menyinggung pentingnya pluralisme, kritik terhadap relativisme ekstrem, dan bagaimana masyarakat demokratis hanya bisa bertahan jika warganya mampu berdialog, bukan saling membungkam.

Ini bukan teori kosong, tapi fondasi etis bagi kehidupan bersama di tengah keragaman.

Yang paling menarik, Hardiman berhasil menjembatani wacana filsafat Barat dengan realitas Indonesia.

Ia menyisipkan contoh-contoh lokal yang membuat filsafat terasa membumi, tidak lagi asing atau elitis. Seni Memahami bukan hanya dibaca untuk dipahami, tetapi juga untuk dipraktikkan—dalam ruang kelas, rumah ibadah, ruang kerja, dan media sosial.

Buku ini penting dibaca oleh siapa saja yang merasa lelah dengan debat kusir dan polarisasi, tapi masih menyimpan harapan pada pertemuan yang jujur dan saling dengar.

Di tengah dunia yang terburu-buru untuk menjawab, Seni Memahami mengajak kita untuk berhenti sejenak, mendengarkan, dan menghidupkan kembali kemampuan manusia yang paling langka saat ini: mengerti sebelum menghakimi.***

Halaman:

Berita Terkait