DECEMBER 9, 2022
Kolom

Bali Punya Haluan, Indonesia Mana? Catatan Paradoks Wayan Suyadnya

image
Pura Besakih. (Antara)

ORBITINDONESIA.COM - Bali patut bersyukur. Daerah kecil di gugusan zamrud khatulistiwa ini telah memiliki haluan daerah: Peraturan Daerah (Perda) tentang Pembangunan Bali 100 Tahun ke Depan 2025-2125. 

Haluan ini bukan sekadar produk politik yang disahkan di ruang sidang DPRD, namun ia dipasupati—disucikan di Pura Besakih, jantung spiritual Pulau Dewata. 

Sebuah peristiwa langka di republik ini: hukum disahkan secara duniawi sekaligus dimeteraikan secara niskala, agar kekuatan, komitmen, tekad, lahir dan batin bersatu dalam menjaga arah pembangunan Bali.

Baca Juga: I Wayan Suyadnya: Di Masa Mendatang, Perlu Satupena Awards untuk Penulis di Tingkat Daerah

Tidak sekarang, bagi yang masih hidup,  juga nanti untuk yang bakal hidup; siapa pun kelak.

Seratus tahun bukan angka remeh. Ia melampaui usia jabatan, melewati batas pengaruh partai, meniadakan ego kekuasaan. 

Siapa pun kelak gubernurnya, siapa pun bupati atau walikotanya, harus tunduk pada satu haluan. Bali boleh berganti pemimpin, tapi arah tak boleh menyimpang. 

Baca Juga: Bali Tak Menyembah Patung: Catatan Paradoks Wayan Suyadnya

Ini bukan tentang membekukan gerak pembangunan, bukan pula menjadikan Bali beku tanpa inovasi. 

Justru sebaliknya, perubahan boleh terjadi, bahkan harus. Namun yang tak boleh berubah adalah jati diri Bali: taksu-nya, adat-nya, budaya-nya, dan keberlangsungan semangat Tri Hita Karana dalam setiap detak pembangunan.

Tampaknya, Bali tak ingin menjadi kota global yang kehilangan akar. Bali ingin menjadi taman dunia yang tak menanggalkan pura, puri, bale banjar, dan suara gamelan. 

Baca Juga: Tenget dan Surat Edaran Gubernur Bali 07/2025: Catatan Paradoks Wayan Suyadnya

Bali ingin tetap jadi tujuan wisata yang memikat, bukan karena imitasi, tapi karena orisinalitas. 

Oleh karena itu, Perda Seratus Tahun itu bukan sekadar hukum, tapi kebulatan tekad, komitmen bersama, pangeling-eling, agar kemajuan tidak menjadi arus yang menghanyutkan nilai.

Namun di sinilah paradoks itu menampar keras wajah bangsa. Ketika Bali punya, ketika yang kecil bisa menetapkan haluan 100 tahun ke depan, Indonesia mana? Negeri yang luas ini justru melayang tanpa arah. 

Baca Juga: Praktisi Hukum Gede Pasek Suardika: Surat Edaran Gubernur Wayan Koster Tak Bisa Dijadikan Acuan Hukum

Dulu ada yang disebut Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN)—penuntun bagi pembangunan nasional jangka panjang. 

Kini GBHN hanyalah sejarah, senyap dalam rak-rak dokumen kenegaraan, tak lagi terdengar dalam wacana kebangsaan.

Akibatnya? Arah pembangunan menjadi sebentar-sebentar berganti. Presiden berganti, visi berganti. Menteri berpindah, kurikulum pun ikut berubah. 

Baca Juga: Gubernur Wayan Koster tidak akan Biarkan Ormas Bekelakuan Preman di Bali

Pendidikan, ekonomi, hingga lingkungan terombang-ambing dalam arah yang pendek dan reaktif.

Beginikah nasib negeri besar ini? Apakah bangsa ini ingin terus membangun dari awal setiap lima tahun sekali? 

Jika begitu, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia yang dicita-citakan oleh pendiri bangsa akan tetap menjadi dongeng yang diperdengarkan sebelum tidur, bukan kenyataan yang dapat disentuh dalam kehidupan sehari-hari.

Baca Juga: Gubernur Bali Wayan Koster Minta Kepala Kesbangpol Baru Hadapi Ormas Preman

Bali telah mengajarkan kita bahwa arah yang tetap bukan berarti mematikan kreativitas, melainkan menyelamatkan identitas.

Bahwa perubahan yang sehat bukan yang membabi buta, tapi yang tetap berpijak pada nilai dan jati diri. 

Jika pulau kecil ini bisa memikirkan 100 tahun ke depan, mengapa bangsa sebesar ini malah terjebak dalam logika lima tahunan?

Baca Juga: Bali 100 Tahun Nanti, Catatan Paradoks Wayan Suyadnya

Beginilah dunia paradoks kita: Bali kecil berpikir panjang, sementara negara besar berjalan tanpa arah?***

Denpasar, 30 Juli 2025

Halaman:

Berita Terkait