Bali Punya Haluan, Indonesia Mana? Catatan Paradoks Wayan Suyadnya
- Penulis : Krista Riyanto
- Rabu, 30 Juli 2025 06:53 WIB

Oleh karena itu, Perda Seratus Tahun itu bukan sekadar hukum, tapi kebulatan tekad, komitmen bersama, pangeling-eling, agar kemajuan tidak menjadi arus yang menghanyutkan nilai.
Namun di sinilah paradoks itu menampar keras wajah bangsa. Ketika Bali punya, ketika yang kecil bisa menetapkan haluan 100 tahun ke depan, Indonesia mana? Negeri yang luas ini justru melayang tanpa arah.
Dulu ada yang disebut Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN)—penuntun bagi pembangunan nasional jangka panjang.
Baca Juga: I Wayan Suyadnya: Di Masa Mendatang, Perlu Satupena Awards untuk Penulis di Tingkat Daerah
Kini GBHN hanyalah sejarah, senyap dalam rak-rak dokumen kenegaraan, tak lagi terdengar dalam wacana kebangsaan.
Akibatnya? Arah pembangunan menjadi sebentar-sebentar berganti. Presiden berganti, visi berganti. Menteri berpindah, kurikulum pun ikut berubah.
Pendidikan, ekonomi, hingga lingkungan terombang-ambing dalam arah yang pendek dan reaktif.
Baca Juga: Bali Tak Menyembah Patung: Catatan Paradoks Wayan Suyadnya
Beginikah nasib negeri besar ini? Apakah bangsa ini ingin terus membangun dari awal setiap lima tahun sekali?
Jika begitu, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia yang dicita-citakan oleh pendiri bangsa akan tetap menjadi dongeng yang diperdengarkan sebelum tidur, bukan kenyataan yang dapat disentuh dalam kehidupan sehari-hari.
Bali telah mengajarkan kita bahwa arah yang tetap bukan berarti mematikan kreativitas, melainkan menyelamatkan identitas.
Baca Juga: Tenget dan Surat Edaran Gubernur Bali 07/2025: Catatan Paradoks Wayan Suyadnya
Bahwa perubahan yang sehat bukan yang membabi buta, tapi yang tetap berpijak pada nilai dan jati diri.