DECEMBER 9, 2022
Kolom

Indonesia Menari di Irama Baru Perdagangan Global, AS Ketinggalan?

image
Prabowo menelepon Trump dan bernegosiasi (Foto: Youtube)

Alih-alih membalas dengan cara yang sama atau sekadar menyerap guncangan ekonomi, berbagai negara justru saling membantu memperkuat hubungan perdagangan regional dan antarkawasan yang menandakan penyeimbangan kembali kontur perdagangan global.

China, yang selama ini menjadi target utama tarif Trump, merespons dengan mempercepat strategi "sirkulasi ganda" dan mendorong ratifikasi Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional (RCEP) pada tahun 2020, yang mencakup 15 negara Asia-Pasifik termasuk Jepang, Korea Selatan, dan kawasan ASEAN dalam rangka menciptakan blok perdagangan terbesar di dunia, tanpa keterlibatan AS.

Selain itu, Jepang dan Uni Eropa menyelesaikan Perjanjian Kemitraan Ekonomi (EPA) bilateral mereka sendiri, menghapus tarif atas 99 persen barang yang diperdagangkan di antara mereka, sekaligus menunjukkan komitmen kuat untuk membuka pasar di tengah proteksionisme AS.

Baca Juga: Presiden AS Donald Trump Ancam Negara Pendukung BRICS dengan Tarif Ekstra 10 Persen

Uni Eropa juga menghidupkan kembali perjanjian perdagangan dengan Mercosur (Amerika Selatan), menandatangani kesepakatan dengan Vietnam, dan memutakhirkan hubungan dengan Meksiko dan Kanada.

Sementara negara-negara Afrika meluncurkan Kawasan Perdagangan Bebas Benua Afrika (AfCFTA) untuk meningkatkan perdagangan intra-Afrika dengan menghapus tarif pada 90 persen barang secara bertahap.

Dengan demikian, negara-negara telah menafsirkan kenaikan tarif AS bukan sebagai seruan untuk menyelaraskan kembali dengan keinginan Washington, melainkan sebagai isyarat untuk memperkuat alternatif dalam membangun tatanan perdagangan global yang lebih multipolar.

Baca Juga: Presiden AS Donald Trump: Tak Ada Perpanjangan Tanggal Penerapan Tarif 1 Agustus

Sungguh sebuah ironi, tarif Trump dimaksudkan untuk melindungi industri AS dan menegaskan kembali dominasi perdagangan. Namun yang terjadi adalah tarif tersebut mendorong sekutu dan pesaing untuk mempererat hubungan dalam rangka mempercepat pergeseran global dari perdagangan yang berpusat pada AS.

Apa yang dimaksudkan untuk mengisolasi China atau mendapatkan pengaruh global justru mendorong dunia yang lebih terhubung tanpa AS sebagai pusatnya.

Hikmah dari ini semua adalah pemaksaan kebijakan ekonomi dapat mencetuskan inovasi yang melahirkan kemandirian strategis, seperti yang dilakukan negara-negara seperti Indonesia untuk mendiversifikasi peta ekspor mereka, berinvestasi dalam integrasi regional, serta mengurangi kebergantungan hanya kepada satu mitra.

Baca Juga: Kembali Kritik Trump, Elon Musk Sebut Kejahatan Seksual Jeffrey Epstein Jadi Prioritas Partainya

Ini juga pelajaran yang harus diambil dalam menavigasi kebijakan geopolitik abad ke-21, bahwa saat ini bukan waktunya hegemoni, tetapi membangun opsi multipolar, yang pada gilirannya juga akan membuat perdagangan global bukannya melemah, tetapi justru menjadi lebih kuat dari sebelumnya.

Halaman:

Berita Terkait