DECEMBER 9, 2022
Kolom

Menghapus Prasejarah, Menghapus Disiplin Ilmu: Menggugat Judul "Sejarah Awal Peradaban Nusantara"

image
Ilustrasi - Prasejarah Indonesia (Foto: Youtube)

Menghapus Prasejarah, Menghapus Disiplin Ilmu : Menggugat Judul ‘ Sejarah Awal Peradaban Nusantara’
Catatan Atas Suara Prof. Harry Truman Simanjuntak

Oleh Mohammad Basyir Zubair*

ORBITINDONESIA.COM - Dalam webinar ilmiah tgl 12 Juli 2025 yang diselenggarakan IAAI, semestinya menjadi ruang sunyi untuk menyusun ulang napas sejarah bangsa, Prof. (Ris) Dr. Harry Truman Simanjuntak menyampaikan sesuatu yang tidak hanya berdasar ilmu, tapi juga berakar pada kesadaran: bahwa sejarah bukan benda mati yang boleh digeser seenaknya, apalagi disunting oleh tangan-tangan yang tak paham nadinya.

Baca Juga: Palestina dan Tanggung Jawab Sejarah: Hijrah Menuju Persatuan

Ia bukan menggugat, tapi mengingatkan. Ia tidak menolak pembaruan, tapi menolak pelupaan yang disamarkan sebagai penyempurnaan.

“Jika istilah prasejarah dihilangkan,” katanya tenang tapi tegas, “maka kita bukan sekadar menghapus satu kata, tapi kita sedang mengikis seluruh disiplin keilmuan yang berdiri kokoh di atasnya.”

Bagi Truman, prasejarah bukan sekadar sebutan teknis ia adalah nama dari satu dunia: dunia yang menyimpan denyut tertua manusia Nusantara, jejak langkah mereka di gua, di batu, di serpih alat serpih, sebelum aksara mengenal kita. Maka ketika kata itu dihapus dan diganti dengan Sejarah Awal Peradaban Nusantara, ia tidak hanya khawatir ia pesimis.

Baca Juga: Catatan Denny JA: Merekam Sejarah yang Luka Dalam Sastra

Baginya, judul itu menyesatkan secara epistemologis. Karena peradaban bukan sekadar keberadaan manusia atau alat-alat batu. Peradaban, kata Truman, baru dapat dikatakan ada ketika telah terbentuk kebudayaan kompleks, ketika sudah ada stratifikasi sosial, pranata sosial, sudah berkembang budaya bangunan, bahkan sebagian masyarakat sudah mengenal sistem tulisan, telah muncul embrio kota-kota, ada mobilitas penduduk, pertukaran dan perdagangan antarwilayah, serta sistem kepemimpinan tradisional di masyarakat adat.

Dengan definisi itu, budaya Homo erectus yang sudah ada sejak 1,5 juta tahun lalu belum bisa dikatakan peradaban. Itu, kata beliau, baru akar peradaban  seperti benih yang ditanam lama sebelum ia tumbuh menjadi hutan.

Maka menyebut seluruh masa prasejarah sebagai “awal peradaban” adalah kekeliruan. Sama seperti menyebut kilatan fajar sebagai tengah hari. Jelas terang itu penting, tapi belum bisa disebut siang. Begitu juga dengan masa awal prasejarah: ia penting, menentukan, tapi belum mencukupi untuk disebut sebagai peradaban.

Baca Juga: Sejarah Indonesia dan Dunia yang Berdenyut dalam Tujuh Puisi Esai Denny JA

Prof. Truman tidak menyoal semangat menulis ulang sejarah nasional, tapi ia menggarisbawahi bahwa: "Sejarah itu bukan untuk ditulis ulang dalam arti mengubah wajahnya, melainkan diperbaiki, ditambal, dilengkapi sebagaimana sejarawan bekerja: dengan bukti, bukan dengan pesan sponsor."

Ia gelisah bukan karena takut perubahan, tapi karena khawatir perubahan terjadi bukan atas dasar kebenaran ilmiah, melainkan kehendak sesaat. Ia menyebut bahwa kerangka besar penulisan buku sejarah nasional ini telah lebih dahulu disusun oleh tim inti dan ditawarkan pada para pakar sebagai draf jadi. Para arkeolog, sejarawan, dan ilmuwan lain diposisikan lebih sebagai pengisi kotak-kotak kosong, bukan pembentuk utama dari narasi kebangsaan.

Apalagi, ia mencermati upaya ini dilakukan terburu-buru: 7 bulan untuk menulis ulang sejarah bangsa. Ia membandingkan dengan penulisan Indonesia Dalam Arus Sejarah yang menelan waktu hampir satu dekade. “Mengapa kita tergesa?” tanyanya. Sejarah tidak berjalan cepat, mengapa kita menulisnya seperti mengejar deadline birokrasi?

Baca Juga: Pelapor khusus PBB Francesca Albanese: Israel Wujudkan Salah Satu Genosida Terkejam Dalam Sejarah

Kegelisahannya memuncak ketika melihat arah narasi yang cenderung glorifikatif menggambarkan bangsa ini hanya dalam sinar, tanpa bayang. Ia menolak sejarah yang hanya menjadi alat legitimasi kekuasaan. Baginya, sejarah harus mengandung ruang untuk luka, untuk kritik, untuk sisi gelap, karena di situlah kemanusiaan kita digenapkan.

Dan karena itu, dengan berbesar hati, ia menyatakan mundur dari tim penulisan sejarah nasional. Sebuah langkah sunyi yang tidak gegap gempita, tapi sarat makna. Bagi saya, ini bukan pengunduran diri, tapi bentuk paling luhur dari pertanggungjawaban ilmiah.

Seorang ilmuwan sejati tak sekadar meneliti, ia menjaga nilai. Ia tidak hanya mengumpulkan data, ia juga menyuarakan kebenaran meski sendirian. Seperti kata Prof. Truman: “Sejarah bukan milik penguasa. Sejarah adalah milik kejujuran.”

Baca Juga: Denny JA Merekam Luka Sejarah Dalam Tujuh Buku Puisi Esai

Penutup

Dalam pernyataan Prof. Harry Truman Simanjuntak, saya mendengar bukan hanya kritik seorang ilmuwan, tapi tangis halus dari bangsa yang sedang tergoda mengubah wajah masa lalunya sendiri. Dan saya, sebagai arkeolog yang pernah menapak jejak nenek moyang di antara batu, lumpur, dan patahan tulang, turut merasa perih bila keilmuan dijadikan korban dari ambisi yang tergesa.

Mari kita rawat sejarah bukan sebagai monumen beku, tapi sebagai naskah yang terus dibaca dengan jujur, dengan hati. Karena sejarah tidak hanya ditulis untuk dikenang tapi untuk membuat kita jujur pada diri sendiri..

Baca Juga: Seskab Teddy Indra Wijaya: Keikutsertaan Indonesia di KTT ke-17 BRICS Catat Sejarah Baru Diplomasi

Yogyakarta, 13 Juli 2025

Catatan:
*Mohammad Basyir Zubair adalah arkeolog lulusan Arkeologi UGM Angkatan 1974. ***

Halaman:

Berita Terkait