DECEMBER 9, 2022
Kolom

Menghapus Prasejarah, Menghapus Disiplin Ilmu: Menggugat Judul "Sejarah Awal Peradaban Nusantara"

image
Ilustrasi - Prasejarah Indonesia (Foto: Youtube)

Ia gelisah bukan karena takut perubahan, tapi karena khawatir perubahan terjadi bukan atas dasar kebenaran ilmiah, melainkan kehendak sesaat. Ia menyebut bahwa kerangka besar penulisan buku sejarah nasional ini telah lebih dahulu disusun oleh tim inti dan ditawarkan pada para pakar sebagai draf jadi. Para arkeolog, sejarawan, dan ilmuwan lain diposisikan lebih sebagai pengisi kotak-kotak kosong, bukan pembentuk utama dari narasi kebangsaan.

Apalagi, ia mencermati upaya ini dilakukan terburu-buru: 7 bulan untuk menulis ulang sejarah bangsa. Ia membandingkan dengan penulisan Indonesia Dalam Arus Sejarah yang menelan waktu hampir satu dekade. “Mengapa kita tergesa?” tanyanya. Sejarah tidak berjalan cepat, mengapa kita menulisnya seperti mengejar deadline birokrasi?

Kegelisahannya memuncak ketika melihat arah narasi yang cenderung glorifikatif menggambarkan bangsa ini hanya dalam sinar, tanpa bayang. Ia menolak sejarah yang hanya menjadi alat legitimasi kekuasaan. Baginya, sejarah harus mengandung ruang untuk luka, untuk kritik, untuk sisi gelap, karena di situlah kemanusiaan kita digenapkan.

Baca Juga: Palestina dan Tanggung Jawab Sejarah: Hijrah Menuju Persatuan

Dan karena itu, dengan berbesar hati, ia menyatakan mundur dari tim penulisan sejarah nasional. Sebuah langkah sunyi yang tidak gegap gempita, tapi sarat makna. Bagi saya, ini bukan pengunduran diri, tapi bentuk paling luhur dari pertanggungjawaban ilmiah.

Seorang ilmuwan sejati tak sekadar meneliti, ia menjaga nilai. Ia tidak hanya mengumpulkan data, ia juga menyuarakan kebenaran meski sendirian. Seperti kata Prof. Truman: “Sejarah bukan milik penguasa. Sejarah adalah milik kejujuran.”

Penutup

Baca Juga: Catatan Denny JA: Merekam Sejarah yang Luka Dalam Sastra

Dalam pernyataan Prof. Harry Truman Simanjuntak, saya mendengar bukan hanya kritik seorang ilmuwan, tapi tangis halus dari bangsa yang sedang tergoda mengubah wajah masa lalunya sendiri. Dan saya, sebagai arkeolog yang pernah menapak jejak nenek moyang di antara batu, lumpur, dan patahan tulang, turut merasa perih bila keilmuan dijadikan korban dari ambisi yang tergesa.

Mari kita rawat sejarah bukan sebagai monumen beku, tapi sebagai naskah yang terus dibaca dengan jujur, dengan hati. Karena sejarah tidak hanya ditulis untuk dikenang tapi untuk membuat kita jujur pada diri sendiri..

Yogyakarta, 13 Juli 2025

Baca Juga: Sejarah Indonesia dan Dunia yang Berdenyut dalam Tujuh Puisi Esai Denny JA

Catatan:
*Mohammad Basyir Zubair adalah arkeolog lulusan Arkeologi UGM Angkatan 1974. ***

Halaman:

Berita Terkait