Pemerintah Harus Penuhi Tanggung Jawabnya Sebelum Terapkan Zero ODOL
- Penulis : Satrio Arismunandar
- Selasa, 15 Juli 2025 18:20 WIB

ORBITINDONESIA.COM - Konfederasi Serikat Buruh Muslimin Indonesia (K-Sarbumusi) yang didirikan oleh Nahdlatul Ulama (NU) dalam upaya memberi perlindungan kepada kaum buruh, berharap pemerintah melakukan kajian mendalam sebelum mengimplementasikan kebijakan Zero Over Dimension Overloading (ODOL).
Hal itu disampaikan Irham Ali Saifuddin, Presiden K-Sarbumusi NU dalam acara diskusi Forum Keramat yang mengangkat tema “Zero ODOL Policy: Siapa yang Diuntungkan?” yang diselenggarakan di Gedung PBNU, Jakarta Pusat baru-baru ini.
Untuk itu, mewakili para supir logistik, dia mengingatkan pemerintah agar mempersiapkan data atau rencana teknokratik plan (pendekatan ilmiah dan analisis mendalam) terlebih dulu sebelum menerapkan kebijakan Zero ODOL.
Baca Juga: Segudang PR Pembenahan ODOL: Dari Hulu ke Hilir, Indonesia Butuh Roadmap yang Jelas
“Biarkan saja dulu apa yang sudah berjalan saat ini sembari memperbaiki apa yang bisa diperbaiki. Kita harus menggunakan pendekatan just transition atau transisi berkeadilan dan inklusif bagi semua pihak yang terlibat. Artinya, tidak lantas memukul, mematikan satu pihak ketika ini sudah kita jalankan. Sementara, pada sisi lain kita sebenarnya nggak siap menjalankannya,” ujarnya.
Jadi, lanjutnya, harus ada solusi terhadap dampak yang dimunculkan Zero ODOL itu nantinya. “Artinya, pemerintah harus menyiapkan atau memperbaiki dulu sistem transportasi yang ada saat ini. Begitu juga dari kesiapan masyarakatnya,” katanya.
Jadi, menurutnya, hal pertama yang harus dilakukan pemerintah sebelum menerapkan Zero ODOL ini adalah self-reflection terhadap apa yang menjadi tanggung jawab mereka. Termasuk misalnya, apakah pembangunan infrastruktur jalanan itu sudah dilakukan dengan benar atau tidak.
Baca Juga: Pakar Trubus Rahadiansyah: Roadmap Komprehensif Wajib Disusun Sebelum Terapkan Kebijakan Zero ODOL
“Sebab, kalau dilihat kondisi jalan tol kita saja masih banyak yang berlubang-lubang, bergelombang, dan segala macam. Apalagi di jalan-jalan yang non tol. Nah, ini menjadi tidak adil jika hanya menyalahkan truk-truk ODOL sebagai penyebabnya. Kalau kami melihatnya, justru jalan-jalan yang rusak itu menyebabkan kondisi kesehatan kendaraan itu cepat memburuk,” ucapnya.
Kemudian, dia juga mempertanyakan sistem KIR atau pengujian berkala kendaraan bermotor di Kementerian Perhubungan, apakah itu sudah dijalankan dengan benar atau tidak. Termasuk kajian makro ekonominya seperti apa, menurut dia, itu juga harus dilakukan kajian secara mendalam.
Sampai sekarang misalnya, dia menuturkan bahwa pemerintah tidak memiliki Truck Identification System, yaitu suatu sistem yang dirancang untuk mengidentifikasi dan mendata truk secara elektronik.
“Truk di Indonesia itu berapa banyak sih totalnya? Itu harus benar-benar didata dari plate numbernya. Itu kan bisa diakses di sistem pemerintah kapan pun. Berapa persen, jenis apa, dan seterusnya,” tukasnya.
Kemudian, lanjutnya, pemerintah juga harus me-maintenance pasar logistik di Indonesia itu seperti apa demandnya, stoknya seperti apa, petanya di mana saja. “Nah, kalau kita sudah memiliki semua datanya, itu kan menjadi lebih enak untuk memutuskan pendekatan apa yang perlu diubah. Makanya, truck identification system itu menjadi penting,” tandasnya.
Selanjutnya, hal yang kedua menurut dia yang tidak kalah penting yang harus dilakukan sebelum menerapkan kebijakan Zero ODOL itu adalah pemerintah harus melakukan semacam truck order system.
Baca Juga: Pakar Transportasi Djoko Setijowarno: Zero ODOL Tanpa Roadmap Bak Macan Ompong
“Jadi, kalau di pasar kerja itu kan ada labor market system. Artinya, semua kebutuhan segala macam itu juga ke depan seharusnya perlahan-lahan. Sehingga kemudian, kalau semuanya terintegrasi, itu nanti akan menjadi big data,” tuturnya.
Kalau sudah menjadi big data, dia mengatakan itu bisa sampai ke machine learning bahkan dan generate. Bahkan, menurutnya, ketika ada status perubahan dari bulan ke bulan, pendekatan pemerintah bisa lebih presisi.
“Jadi, bukan perubahannya dengan mengatakan Zero ODOL ini seharusnya sudah dilakukan dua tahun yang lalu, dan baru dilakukan hari ini. Jika itu yang menjadi dasarnya, apapun kebijakannya tidak bisa change up dengan situasi lapangan,” ujarnya.
Baca Juga: Penindakan Saja Tidak Cukup, Perlu Penanganan Holistik Selesaikan ODOL
Dia menyampaikan bahwa semua sopir truk logistik pasti sepakat bahwa Zero ODOL itu adalah kondisi yang sangat ideal yang sangat menguntung mereka. “Tapi, pertanyaannya adalah, kenapa gelombang penolakan itu sedemikian masifnya dilakukan para sopir ini terkait kebijakan tersebut,” ucapnya.
Dia menuturkan, para sopir itu bukan pegawai yang menerima upah berdasarkan gaji bulanan. Dia memperkirakan lebih dari 90 persen penghasilan para sopir itu berdasarkan pesanan dari pemilik barang atau based on order. Sementara, umumnya para pemilik barang itu jarang yang mau menggunakan mereka jika truknya tidak ODOL karena ingin efisiensi biaya transportasi.
“Jadi, jika dilarang beroperasi, mereka nggak ada pemasukan. Itulah alasannya kenapa terjadi gelombang penolakan dari para sopir terhadap wacana Zero ODOL yang sedemikian masif. Mereka mau capek-capek mengorbankan apapun yang tersisa yang mereka miliki untuk melakukan aksi penolakan Zero ODOL ini,” kata Irham.
Baca Juga: Karut Marut Infrastruktur Jalan Perlu Pembenahan Sebelum Terapkan Zero ODOL
Dia menambahkan, alasan lain yang menyebabkan penolakan para sopir truk logistik terhadap wacana Zero ODOL ini adalah karena adanya ketidakadilan persoalan struktural. Dikatakan, dia sangat mengapresiasi keinginan pemerintah untuk melakukan koreksi dengan mengubah kebijakan atau Undang-Undang serta peraturan di bawahnya untuk mewujudkan kebijakan Zero ODOL.
“Yang jadi masalah adalah kebijakan-kebijakan yang sedang dipersiapkan di pemerintahan itu berpotensi pula secara struktural akan menekan masyarakat lapisan yang paling bawah ini,” tuturnya.
Dia menegaskan para sopir truk logistik ini nyaris tidak pernah disentuh oleh negara. Selain itu, lanjutnya, para supir logistik itu juga tidak mengalami upgrading skill dari pemerintah. “Mereka semuanya berjalan sendiri seperti tidak punya negara,” ucapnya.
Baca Juga: Kakorlantas: Penegakan Hukum ODOL Belum Dilakukan Sebelum Regulasinya Siap dan Terintegrasi
Menurutnya, yang terkena pertama kali terhadap dampak Zero ODOL adalah masyarakat yang berada di lapisan paling bawah atau rakyat ultra mikro dengan pendapatan di bawah Rp 1 juta per bulan. Hal ini disebabkan Zero ODOL ini akan menimbulkan lonjakan-lonjakan kenaikan harga barang dan jasa. “Jadi, siap nggak pemerintah untuk menanggung ini?” tukasnya.***